meja dari jati tua menghidangkan secangkir pekat
emak duduk di atas kesedihan yang menambal sulam
bapak jadi benang yang mengikat
mata emak melamun padaku, "jikalau kami sewaktu-waktu pergi, kamana kau akan menjadi?"
bulan mengetuk jendela, wajahnya serupa kumis saja, silap
bapak membuka kemeja, menyilakan emak mengukir kaligrafi dengan koin tua
"mau gambar apa pak? malam atau kolam?"
bapak terpejam, "gambarkan aku ladang dan sapi, biar kuwariskan pada Savitri."
"tapi ia putri semata wayang, yang hanya sanggup merias tampang, tak bisa mengubah tanah menjadi padi."
kala mereka ditimang-timang mimpi, aku mengungsi bersama bulan yang seperti laki-laki
Savitri itu bukan putri, teriakku pada kegelapan
ia adalah perlawanan