Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Presiden Tak Perlu Pindah ke Istana

17 Juli 2010   12:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 1167 0
[caption id="attachment_196889" align="alignright" width="298" caption="Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas.com)"][/caption] Surat pembaca Hendra NS yang dimuat di Kompas, Jumat (16/7), soal rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bikin macet jalur tol Cibubur memang ada benarnya. Apalagi saat ini Jakarta sedang didera sakit berkepanjangan, yakni macet. Menurut saya, yang patut disalahkan dalam surat Hendra adalah si petugas Patroli dan Pengawalan (Patwal) Presiden. Sebagai abdi negara dia tidak seharusnya berkata seperti itu, apalagi sampai mengancam akan membedil Hendra. Intimidasi-intimidasi seperti ini yang seharusnya perlu kita hilang. Jangan lagi ada intimidasi kekuasaan yang ujung-ujungnya membuat rakyat menderita. Cukuplah power absolute berkibar semasa orde baru, sekarang ini bukan jamannya seperti itu. Konyolnya, dalam surat Hendra, petugasnya bilang begini: "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?" Ini statement paling konyol yang saya dengar dari abdi-abdi negara. Bagaimana mungkin seorang abdi negara bisa mengatakan hal konyol seperti itu. Tidak pantaslah seorang anggota patwal (sekelas Presiden) mengeluarkan perkataan seperti itu. Lebih konyol lagi jika dia bilang abdi negara tapi yang dikawal tidak tanggung-tanggung, yakni Presiden. Perkiraan saya, atau ini tebakan saya secara goblok-goblokan, gaji mereka pasti di atas Rp 5 juta bahkan bisa lebih. Kalau Rp 5 juta tidak cukup, berarti pengawal itu tidak pantas mengawal seorang Presiden. Karena jika di tengah jalan terjadi sesuatu, seperti penembakan, saya yakin dia lebih mementingkan keselamatannya sendiri ketimbang lambang negaranya (Presiden). Presiden Juga Manusia Itu soal Patwal. Nah sekarang soal permintaan masyarakat yang menginginkan Presiden untuk pindah ke Istana atau mendiami Istana hingga masa kepimpinannya berakhir. Kalau ini, jujur saya tidak setuju. Kenapa begitu, karena bagaimana pun seorang Presiden adalah manusia biasa, bukan dewa, bukan robot. Presiden memang kerja untuk rakyat, tapi di luar urusan kenegaraan, Presiden tetaplah kepala rumah tangga biasa. Setidaknya itulah yang saya lihat. Saya setuju dengan penyataan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (16/7). Dia bilang begini, "Presiden tetap tinggal di Cikeas karena ada aktivitas-aktivitas informal yang tidak bisa dilakukan di Istana." Yah, itu dia karena Presiden adalah orang biasa, suami dari seorang isteri (Ani Yudhoyono), bapak dari anak-anak (Bambang Harymurti dan Eddy Baskoro), kakek dari seorang cucu, tentunya pula ia sangat diperlukan bagi keluarganya (di luar urusan kenegaraan). Ada sebuah cerita mengenai Umar bin Khathab. Saat itu beliau menjabat sebagai Khalifah. Suatu hari, saat Umar sedang duduk di kursi pemerintahannya, seorang utusan tiba-tiba datang dan melaporkan ada tamu yang ingin menemui Khalifah. Umar kemudian menyuruh utusan untuk mempersilahkan tamu masuk. Pertama kali tamu itu masuk, Umar langsung bertanya tujuan tamu datang ke pemerintahannya. "Apa sekiranya keperluan Tuan datang kemari?" "Saya ada perlu dengan Khalifah," jawab tamu. "Urusan negara ataukah urusan pribadi?" tanya Umar lagi. Tamu bingung mendengar pertanyaan Umar. Dia lalu bertanya lagi. "Apa bedanya urusan negara dengan urusan pribadi?" tanyanya. "Kalau urusan negara, saya akan membiarkan Tuan duduk di kursi itu. Tapi jika urusan pribadi, mari, kita pindah tempat di rumah saya. Dan lilin ini, adalah lilin negara begitu juga tempat ini. Saya tidak berhak menggunakan milik (fasilitas) negara jika untuk keperluan pribadi," jawab Umar. Itulah alasan kenapa saya tidak setuju jika Presiden pindah ke Istana. Menyimpulkan kata-kata Umar tadi, saya melihatnya demikian: "Urusan negara adalah urusan rakyat, urusan pribadi adalah dengan keluarga." Jadi tidak perlulah Presiden harus pindah tempat hanya gara-gara macet (maaf bukannya saya tidak setuju dengan surat Hendra lho). Toh, macet (apalagi di Jakarta) sudah bukan menjadi hal yang aneh. Kalau hanya gara-gara Patwal Presiden yang menjadi alasan, saya tidak setuju. Dan bayangkan saja, jika seandainya Presiden (disuruh) pindah ke Istana, otomatis dia akan mengajak seluruh keluarganya pindah. Tidak mungkin Presiden tidak mengajak keluarganya. Dan berapa banyak kerugian negara dihabiskan hanya untuk mengurusi keperluan pribadinya. Urusan negara tidak boleh dicampur aduk dengan urusan pribadi. Apalagi sampai menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi. Dan saya yakin seorang Presiden tahu akan hal itu. Dan jika banyak rakyat merasa dirugikan, saya kira setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan duduk bersama. Salah satunya Presiden mengatakan telah meminta pengosongan jalan dipersingkat waktunya menjadi kurang dari lima menit sebelum dilintasi mobil presiden. Selain itu, jumlah rangkaian akan diusahakan untuk dikurangi. Selama ini, untuk sekali jalan, setidaknya butuh 10 mobil yang masuk dalam rangkaian jalan raya. Yakni, satu mobil pemecah sinyal elektronik, 2 mobil jip terbuka untuk Polisi Militer, 1 mobil presiden, 1 mobil cadangan presiden, 2 mobil jip tertutup untuk Paspampres, dan 2 mobil VW Caravelle. Presiden (Hukumnya) Wajib Dijaga Bayangkan saja jika iring-iringan Presiden tiba-tiba mendapat serangan dari luar. Kemudian Presiden terluka atau meninggal, dipastikan resiko yang dialami oleh suatu bangsa akan besar. Siapa yang akan mengepalai negara. Adakah sebuah negara kosong kepemimpinan. Itu sebuah hal yang mustahil. Karena itu Presiden (hukumnya) wajib dijaga dengan pengawalan ketat. Sebab Presiden adalah lambang negara. Bahkan kalau perlu yang menjaga Presiden wajib mempertaruhkan nyawanya (jangan seperti anggota patwal yang disebut Hendra) jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pengawalan Presiden, menurut saya, kalau perlu dilakukan dengan puluhan iringan-iringan kendaraan tidak menjadi soal. Asalkan Presiden aman dari serangan musuh dari luar yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan jiwanya. Apalagi soal penjagaan Presiden ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Hak utama itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993. Dalam Pasal 65 ayat 1 disebutkan, pemakai jalan wajib mendahulukan sesuai urutan prioritas sebagai berikut: a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas. b. Ambulans yang mengangkut orang sakit. c. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas. d. Kendaraan Kepala Negara (Presiden dan Wakil Presiden) atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara. e. Iring-iringan pengantar jenazah. f. Konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat. g. Kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus. Semua kendaraan tersebut di atas pada dasarnya wajib didahulukan dalam berlalu lintas. Kendaraan yang mendapatkan prioritas tersebut, berdasarkan ayat 2 Pasal 65 PP diatas, tentu saja harus disertai dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun