Malam itu sisa-sisa hujan masih membasahi jalanan Taman Bungkul. Sekumpulan orang-orang sedang berdiskusi. Mereka menamakan diri Surabaya Motor Club. Kelihatannya serius. Sesekali terdengar canda tawa. Ada sekitar 25 orang. Karena terlalu banyak dan kesulitan menghafal setiap nama-namanya, maka kita panggil saja mereka A, B, C, D....hingga Z.
Awalnya topik pembicaraan mereka seputar Lolo Ferrari, artis bom seks dengan payudara sebesar biji kelapa. “Wah ini, baru namanya koran, Lolo Ferrari, gede banget kamu, kira-kira berapa ya ukuran payudaranya?” kata si A penuh tanda tanya.
Lainnya serentak berpikir. Sesekali mata-mata bengis membayangkan gambar Lolo Ferrari yang mempertontonkan payudaranya. Kelihatannya mereka bukan berpikir, tapi sekedar berimajinasi.
“Mungkin 40B atau 50B,” seorang laki-laki memecah kehenyakan. Hahaha.... Kesunyian malam berubah menjadi canda tawa.
“Ini pasti disuntik, makanya payudaranya langsung mbledos dan matilah dia,” oceh si A.
“Disuntik gundulmu, kepunyaan Lolo Ferrari itu alami tahu,” sahut si D sok tahu.
Si A berandai-andai, “Andaikan aku bisa menjadi pacarnya, pasti akan kurawat betul,” kata si A.
Seketika itu obrolan berubah haluan. Lolo Ferrari tidak lagi menjadi topik dominan.
“Hah, kamu mau jadi pemimpin rumah tangga,” sambut si C terheran-heran. Si C kemudian unjuk gigi. Ia mengatakan bahwa seorang Pemimpin Sejati harus mampu melintasi garis horizon yang sangat luas dan meniupkan ruh baru ke dalam sendi-sendi kehidupan. Dan akan lebih sempurna jika seorang pemimpin mempunyai tingkat kesucian yang lebih tinggi pula.
Semua orang terdiam. Canda tawa kontan berhenti. Gambar Lolo Ferrari selanjutnya hanya dijadikan timbangan saja. Seketika itu nama Lolo Ferrari hilang ditelan bumi.
“Yah, kalau menurut saya seorang pemimpin, harus mampu memainkan peran yang telah ditakdirkan Tuhan dengan kemampuan menginterpretasikan ide-ide dan ajaran-ajaran para tokoh pemimpin terdahulu, sehingga mudah di akses oleh generasi sesudahnya. Oleh karena itu, dia harus menjalani masa latihan yang panjang, baik secara formal maupun inisiatik,” kini gantian si F yang angkat bicara.
Mendengar jawaban itu, semua orang manggut-manggut. Suasana menjadi hening. Si A yang sedari tadi hanya guyon saja juga tidak mau kalah dengan si C dan si F.
Kali ini omongannya serius. Dalam benaknya muncul berbagai ide. Ia mengatakan bahwa kebersihan dan kesucian hati, memiliki rasa prikemanusiaan, adil, arif dan bijaksana menjadi sumber inspirasi bagi seorang pemimpin untuk mensejahterakan Bangsa dan Negaranya. Dan bukannya memakmurkan ‘kursi kebesaran’ yang didudukinya.
Demi kursi kebesaran, kali ini kata si G, bahwa manusia-manusia dewasa tak ubahnya sekumpulan bocah-bocah yang sedang memperebutkan sebuah mainan. Demi kursi kebesaran manusia telah dibutakan oleh angan-angannya. Seandainya saja manusia menyadari bahwa "angan-angan manusia itu kerapkali melampaui ajalnya"
Dan demi kursi kebesaran pula, manusia tak segan - segan menghalalkan berbagai cara dari cara yang paling ringan (halus) sampai cara yang paling berat (kasar) yang pada akhirnya banyak memunculkan skenariowan - skenariowan kambuhan yang memanfaatkan situasi dan kondisi yang tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.
Kini semua orang mengakui keterbatasan seorang pemimpin. Memang tidak mudah menjadi pemimpin. Bahaya kesombongan yang disebabkan oleh sifat individualime adalah awal kehancuran kharisma seorang pemimpin.
Sesaat lamanya para diskusioner-diskusioner itu terdiam. Matanya ada mendongak ke atas, ada pula yang ke bawah. Sulutan batang rokok ‘Jres’ terdengar memecah keheningan. Kepulan asap rokok berkumandang ke atas, dan kemudian hilang bersamaan datangnya angin.
Dalam benak mereka terpancar sebuah perbedaan dan keseragaman ide. Tidak ada yang mau bicara. Semua pada berbisik-bisik. Lalu, terdengar suara dari si H. Kepada teman-teman sejawatnya dia berucap, “Sebenarnya kehadiran seseorang pemimpin sejati di tengah-tengah kegersangan dan kehausan jiwa merupakan karunia Tuhan yang tetap dapat diperoleh manusia kapan pun dan dimana pun mereka,”
“Ia adalah keajaiban di atas keajaiban, dan merupakan sosok manusia sejati yang selalu mengikuti dimana arus air mengalir. Maka sesungguhnya pemimpin sejati itu, terletak di dalam lubuk hatinya yang telah terpahat oleh kejujuran dan keikhlasan tanpa pamrih. Bukankah suatu perbuatan itu dapat dikatakan baik dan benar, jika tidak ada pamrih didalamnya..?" kata si H.
“Lalu akankah jiwa-jiwa pemimpin Indonesia mampu membawa bangsa Indonesia kembali ke arah yang lebih baik ataukah sebaliknya justru akan menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam jurang kenistaan?” Si I tiba-tiba balik menyerang.
“Wah kalau itu ya Wallohu a’lam , ya kalau menurut saya sih pemimpin yang baik adalah personil Srimulat atau Ketoprak Humor, seperti Topan, Lesus, Tessy, Timbul, Basuki, Mamik, atau Pak Bendot,” jawab si A seraya disambut gelak tawa.
Obrolan berubah lagi. Kata-kata serius tidak lagi terdengar. Menurut mereka seorang pemimpin sejati harus dapat menghibur rakyatnya. Selama ini kehidupan rakyat Indonesia selalu serius. “Ya sekali-kali pemimpin kita adalah pelawak, sehingga setiap hari kita bisa dijejali guyonan-guyonan melulu,” jawab si I, J, K...dan seterusnya.
"Atau barangkali Lolo Ferrari, si montok itu cocok menjadi pemimpin bangsa. Sebab dia memiliki daya tarik tersendiri. Dia merupakan perwujudutan tunggal dari pemimpin. Maksudnya saat dia memainkan peranannya sebagai pemain film bokep, dia melakukannya dengan total, terbuka, jujur, tidak ditutup-tutupi alias tranparan, akuntable, bersih walaupun banyak caci maki dan fitnah, sabar dan dapat ngemong," imbuh si K.
"Sontoloyo, semakin ngawur saja kau. Mana bisa pemimpin kita disamakan seperti Lolo Ferari atau pemain bokep. Mereka (pemain bokep) itu berdosa, sedang pemimpin kita itu umaroh yang dipilih oleh rakyat. Dan kata orang, pemimpin kita itu dipilih karena mereka suci," sanggah si B tidak terima.
"Pemimpin yang bersih dan suci itu adanya hanya di jaman Rasulullah, di jaman para khalifah. Di jaman sekarang, khususnya Indonesia, pemimpin mayoritas tertutup, selalu mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, dan akhirnya dosa paling besar adalah MENGORBANKAN RAKYAT!" komentar si Z.
Hari semakin larut. Suasana diskusi mulai surut. Satu persatu anggota Surabaya Motor Club pergi dengan urusan masing-masing. “Maaf semuanya, saya ada urusan,” demikian dan seterusnya. Taman Bungkul yang tadinya ramai, kini hanya tinggal puntung-puntung rokok berserakan. Dalam sekejab orang-orang tadi sudah menghilang.