Yogyakarta merupakan suatu daerah yang masih sangat kental dengan kebudayaan aslinya. Yogyakarta merupakan kota pelajar, banyak mahasiswa yang menuntut ilmu di Yogyakarta oleh sebab itu kota ini merupakan salah satu kota pertemuan antar berbagai macam budaya. Tidak hanya dari budaya dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Karena sebab itu saya yang merupakan seorang perantau yang menuntut ilmu di kota Yogyakarta mengalami culture shock. Culture shock merupakan kejadian dimana seseorang kaget akan kebudayaan orang lain yang berbeda dengan kebudayaan asli miliknya. Dalam hal ini saya akan menceritakan pengalaman culture shock yang saya alami. Pertama saya mulai dari bahasa, saya sewaktu menjadi mahasiswa baru saya tinggal di pondok pesantren dalam pondok tersebut terdapat berbagai macam kebudayan. Culture shock yang saya sering alami adalah bahasa. Banyak bahasa-bahasa dari daerah lain yang membuat saya bingung bahkan terkadang saya tertawa, seperti sewaktu itu saya sedang berbincang-bincang dengan mba yang berasal dari daerah sidoharjo – jawa timur, dia memakai sebuah kata yang membingungkan saya, “logor” kata itu yang membuat perbincangan kita berhenti. Karena saya bingung sayapun langsung bertanya kemudian setelah mba( teman saya) menjelaskan ternyata “logor” itu sama artinya dengan jatuh (dalam bahasa Indonesia) saya pun sontak tertawa dan memplesetkan kata itu menjadi logor cinta hehehe. Tidak hanya kata logor, kata “nem” membuat saya bingung dan setelah mengetahui artinya saya pun tertawa. Kata “nem” dilontarkan oleh teman saya yang berasal dari pati-jawa tengah,“nem” ternyata mempunyai arti “kepunyaanmu” setelah mendengar kata itu sampai sekarang kalau saya berbincang-bicang dengannya tidak lupa menyebutkan kata tersebut. Mungkin teman-teman saya juga merasa bingung dan ingin tertawa apabila mendengar saya berbicara. Dialek ngapak yang saya miliki membuat teman-teman saya bingung, saya sebenarnya juga bingung menyesuaikan bahasa yang umum digunakan di Yogyakarta. Di Yogyakarta bahasa yang digunakan bahasa jawa berdialek “mbandek” dialek itu membuat saya terkadang bingung untuk menyesuaikan dengan dialek ngapak yang saya miliki. “mbok” kata yang sering saya lontarkan membuat teman-teman saya tertawa, saking seringnya saya menggunakan kata “mbok” itu saya sampai dipanggil mbok di pondok yang saya tinggali. Banyak bahasa-bahasa dari daerah lain yang kurang saya mengerti. Kemudian di pondok saya juga kaget dengan kebudayaan di situ yang apabila akan mengahadap atau bertemu dengan bu nyai kita dari jarak 3 sampai 5 meter kita harus jalan jongkok, kebudayaan itu tidak pernah saya lakukan di daerah saya dan saya baru pertama kali melakukannya di pondok itu mungkin sama kali ya di pondok-pondok lain tetapi karena saya baru pertama kali mondok saya pun kaget dengan budaya seperti itu. Tidak hanya itu saya baru pertama kali mengikuti shalat tarawih dengan suratan yang sama pada setiap rakaat kedua, biasanya di tempat saya setiap rakaat melafalkan suratan dengan suratan yang berbeda-beda. Masih berhubungan dengan shalat tarawih, biasanya di temapat saya tidak ada yang namanya bilal di tempat saya hal yang dilakukan bilal itu dilakukan oleh imam.