Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

a Memoar of the Past Time

15 Oktober 2013   00:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 164 0
Huaaaa, malam takbiran, tepat tanggal 9 Dzulhijah, tanggal 14 Oktober. Hampir satu bulan ba'da seminar proposal, dan hingga sekarang aku belum mendapat acc untuk mengambil data.

Kali ini, saya tak bermaksud untuk membahas tentang skripsi dan segala dilemanya, skripshit, begitu kami sering menyebutnya. Sebagai candaan dan plesetan dari skripsweet. Bisa panjaaaang nanti tulisan ini hanya untuk curhat masalah skripsi.

Fasilitas speedy di rumah ternyata selain memberikan efek positif berupa dapat gratisan internet juga membawa efek negatif. Tumpukan revisian yang jauh-jauh kubawa dari Surabaya tak kunjung kukerjakan. Setidaknya sampai malam ini. Karena sudah kubulatkan tekad setelah menulis di sini akan segera bertempur menyelesaikannya.

Namun, di luar dugaan, ternyata dari fasilitas speedy ini ada ide segar yang menari di otakku.

Bukan ide tentang membuat cerita fiksi seperti biasanya. Tapi ini hanya sekadar ide untuk menulis catatan harian. Bagaimana tidak? Ketika aku membuka fb dan khususnya grup yang memuat anggota kelas di SMP aku sempat tercenung sesaat. Ternyata kawan-kawan sedang asyik-asyikya bernostalgia dengan kenangan lama yang ada di otaknya. Tepatnya ide nostalgia ini diawali oleh temanku, Riki, sebagai admin dan pendiri grup. Dia mulai mengupload beberapa foto lawas yang diperoleh waktu SMP. Salah satunya foto hasil scan waktu kami seusai ada kegiatan. Duduk-duduk di bangku panjang di depan kelas, sebagian ada yang berdiri, sedangkan sebagian lain ngelesot begitu saja di lantai kelas yang saat itu belum dikeramik. Tak ada yang istimewa dari foto ini, kecuali wajah-wajah yang masih terlihat polos, tubuh beberapa anak yang masih gendut atau masih kurus. Dan tentu saja wajah-wajah yang terpampang di sana jauh berbeda dengan wajah yang terpampang di foto profil fb masing-masing.

"Mungkin karena mereka sekarang sudah bisa berdandan." Begitu pikirku. Kontan saja, puluhan komentar dalam hitungan hari (atau mungkin jam) sudah mencapai puluhan. Tak sampai di situ saja, ternyata temanku juga menambah dengan mengupload foto hitam putih di album kenangan serta nama-nama anggota yang tercantum di kaos kelas yang pernah kita buat.

Awalnya aku masih biasa saja menanggapi hal tersebut. Paling banter cuma ngasih like atau kasih komen "Sip" atau "Mantap".  Hingga malam ini, tiba-tiba hampir semua kawan mulai mengupload foto-foto jaman jadul sekitar 8-6 tahun silam, masa SMP. Ada yang settingnya di depan kelas, di depan masjid, di depan toilet dlsb. Wuah, tiba-tiba memori ini seperti tergali sedikit demi sedikit. Tak ayal kadang akupun tersenyum sendiri melihat foto-foto tersebut.

"Yang membuat sempurna sebuah foto adalah keterangan yang menyertainya," kurang lebih demikian kalimat yang diungkapkan oleh temanku yang berprofesi sebagai fotografer. Dan ternyata, kenyataan membuktikan bahwa kalimat itu benar adanya. Salah satunya ya di ajang pamer foto lawas di fb ini.

Ketika suatu ketika ada kawan yang mengupload foto toilet tampak depan yang sekarang sudah dilapisi keramik mengkilat tujuh warna dan membubuhkan komentar di sana, foto itu terasa lebih hidup. Komentar itu berbunyi, "Ingatkah kalian, dulu di sini teman kita yang bernama Irul (cowok) ditembak oleh xxx (cewek) dari luar kelas kita." Ha ha ha, sontak saja tawaku meledak membaca komentar itu. Sudah pasti tentu memoriku berputar dengan sendirinya. Melanjutkan cerita dari komentar yang hanya dibuat sebagai pemantik ingatan. Ya, selanjutnya si cewek menangis sampai matanya memerah dan sembab gara-gara temanku menolaknya. Hi hi hi. Nah, kegegeran ini yang terjadi di waktu istirahat menjadikan hampir semua warga SMP tahu peristiwa yang cukup memalukan buat si cewek. Tentu saja, la wong nembaknya blak-blak an dan di depan umum. Sempat heran juga sih aku, kok bisa ya ada cewek seumuran SMP yang berani nyatain cintanya. Ah, tapi kan dunia sudah melaju dengan cepat. Tak ada yang tak mungkin. Dan bersyukurlah orang-orang yang masih berada pada batas kewajaran.

Tak hanya itu. Kali ini ada temanku yang memotret buku bahasa indonesianya dengan keterangan, "Masih ingatkah kalian hari pertama masuk SMP ketika Bu Sumini (guru bahasa Indonesia kami) menyuruh dua orang anak membaca sebuah paragrap? Ketika itu kebetulan Wike dan Cintia yang ditunjuk. Dan keduanya melafalkan bacaan dengan nada yang sama. Nada bacaan seperti anak SD yang belum ahli benar membaca. Kemudian Bu Sumini bertanya, kalian dari SD mana, kok membacanya seperti itu? Dan ternyata keduanya berasal dari SD yang sama."

Ya, memori itu lantas meledakkan tawaku untuk kedua kalinya. Aku masih ingat kalimat pertamanya, "Penggalian pasir-pasir Gunung Galunggung ....." dst. Masih juga terbayang bagaimana nada datarnya membaca teks itu tanpa memperhatikan titik dan koma. Ha ha ha, itu kenangan masa lalu yang sangat indah untuk diingat. Tulisan ini bukan bermaksud untuk meledek kawanku itu. Sumpah. Aku sendiri yakin dengan ainul yakinku bahawa kawan-kawanku itu sekarang sudah sangat lancar bacaannya. Ya, ya, berkat bimbingan dari Guru Bahasa Indonesia kami, Bu Sumini kami lantas mulai pandai membaca, berbahasa, dan menulis.

Mengingat tentang Bu Sumini, beliaulah yang memotivasiku pertama kali untuk memiliki buku harian dan menuliskannnya di sana pengalaman berharga kami. Alasannya sederhana, agar kita nanti suatu saat akan punya kesempatan untuk mengenang hidup yang kita lalui lewat tulisan yang kita buat.  Kadang kala kita akan tergelak dengan tulisan konyol kita, kadang kita akan terharu akan perjuangan tertatih kita, kadang kita akan merindukan kawan-kawan yang tertulis pula di buku harian tersebut.

Sungguhpun demikian, hatiku belum tergerak segera untuk melaksanakan ide beliau. Ide ini baru terlaksana manakala aku duduk di bangku SMA. Kedua kalinya aku mendapat motivasi dari Pak Abi, seorang Guru Bahasa Indonesia yang sangat getol menanamkan cinta membca sastra lama dan menulis pengalaman pribadi maupun tulisan fiksi. Jadilah dengan segala tekad aku punya buku harian yang pertama kalinya. Dengan hard cover bermotif hijau lumut dengan efek tiga dimensi. Buku itulah yang menemani masa SMA-ku.

Masuk bangku kuliah, kegiatan menulis mulai terbengkalai. Entah itu menulis di buku harian, iseng-iseng bikin puisi apalgi cerpen. Huh! Kuakui itu kesalahanku karena tak kunjung mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan Surabaya dan tinggal serumah dan sekamar dengan Bibi. Tapi di sela-sela kesibukan, ternyata aku juga sempat menulis catatan harian di buku tulis yang aku miliki, kadang jika habis kutulis sembarangan di kertas folio bergaris atau HVS polos. Dua tahun berikutnya, aku mulai pindah tempat tinggal. Aku kos di daerah dekat kampusku. Dan segalanya berubah menjadi lebih indah. Aku mulai membeli buku harian lagi dengan hard cover berwarna biru muda. Dan sejak saat itulah aku mulai rutin menulis kembali. Apalagi aku sudah punya laptop yang bisa kumanfaatkan untuk menulis hingga tengah malam. Lalu, sejak saat itulah aku mulai menyadari bahwa menulis itu bukan kewajiban, melainkan kebutuhan. Satu tak menulis rasanya ada yang kurang. Jika kita ada masalah, jika ada  yang menyumpal otak maka akan cair manakala kita bisa mewujudkannya dalam sebuah tulisan.

Alhamdulillah, kini sudah kubeli buku harian yang ketiga dengan sampul hijau tua. Buku harian yang memang sengaja aku bawa pulang ke Ponorogo. Alhamdulillah sekali lagi, aku mulai menikmati aktivitas menulis yang sekarang adalah kebutuhan bagiku. Beberapa tulisanku memang hanya tersimpan rapi di buku harian, di folder laptop, dan di beberapa blog pribadi. Pernah sekali tulisanku dimuat di media online setelah melalui seleksi. Wuah, betapa senangya hatiku. Ternyata di kesempatan berikutnya ternyata kesempatan itu masih sulit kuraih. Tapi tak mengapa bagiku. Kini aku yang berprofesi sebagai mahasiswa tingkat akhir (yang alhamdulillah molor, he he), guru les privat, co-Assisten praktikum, dan sebagai anggota Humas UKM di kampusku (meskipun sudah nggak sekatif dulu lagi, maklum faktor usia, he he) semakin menyadari bahwa menulis adalah kebutuhan buat jiwa kita. Dan akupun akan sangat berminat untuk mengasah dan berlatih meningkatkan kemampuan menulisku.

Tentu saja, aku sangat berterima kasih pada beliau berdua (Bu Sumini dan Pak Abi) yang membantuku untuk mengenalkan diri ini pada aktivitas menulis yang menyenangkan. Sebenarnya ada pengalaman pahit tentang buku harian yang tak bisa kulupakan. Dulu, aku sempat menuliskan evaluasi dan pendapat pribadiku tentang beberapa adik angkatanku di UKM. Tulisan ini berdasarkan pengamatan dan watak masing-masing. Sumpah! Sungguhpun aku menulis pendapat yang berbeda, mereka adalah tetap adaik-adik yang sangat aku sayangi dengan segala kepribadian masing-masing. Namun malang tak dapat ditolak. Salah satu kawan yang aku tuliskan di dalamnya sempat membuka buku itu, dan tentu saja membaca isinya. Dan tentu saja menanyakannya kepadaku, "Benarkah aku demikian, Mbak?"

Oh, GOD!!!

Aku benar-benar merasa bersalah, dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau misalnya ada lautan tuh, aku berani nyebur dan langsung menghilang dari permukaan bumi. Namun, kata temanku yang lain, aku nggak perlu merasa bersalah dan meminta maaf. Itu adalah kesalahan dia yang dengan lancang membuka-buka buku harianku, privasiku. Justru seharusnya dia yang meminta maaf padaku. Lalu aku tahu kelogisan pernyataannya sehingga akupun lebih tenang.

Kembali ke fb yang hampir aku log out. Ternyata kawanku Riki, mengupload bagian-bagian dalam SMP seperti gerbang masuk, lapangan basket, taman, dan depan perpus. Tentunya dengan keterangan juga, "Di sinilah dulu kita mengukir memori bersama kawan-kawan yang tak kan bisa kita lupakan."

Kali ini mataku berkaca-kaca menahan haru yang menyeruak melihat sudut-sudut sekolah yang menjadi saksi bisu akan perjuanganku sekolah selama tiga tahun. Ada kenangan berlatih berbaris hingga lelah namun terbayar dengan kemenangan sebagai juara umum. Ada kenangan dihukum skotjump gara-gara dulu telat ikut upacara pramuka. Ada kenangan nangis ke temanku, Irma karena tidak dijinkan ortu ikut salah satu ekstrakurikuler. Ada kenangan belajar matematika mati-matian dari nol yang benar-benar bulat hingga akhirnya punya kesempatan untuk ikut olimpiade MIPA tingkat kabupaten dan aku masuk sepuluh besar. Lumayan buat pemula. Ada kenangan ngompol di rok biru gara-gara kebablasan menertawai Norvia yang sepedanya rusak waktu berangkat sekolah. Ada kenangan beli nasi bungkus 3 bungkus gara-gara hati marah nggak karuan kepada ortu yang berangkat sekolah sempat dimarahi dan akhirnya malas sarapan. Dan sejuta kenangan lain tentunya, yang tak akan habis jika ditulis di sini.

Ya, siapa bilang kita tak boleh menoleh pada masa lalu. Kurasa itu kalimat yang salah. Ada kalanya kita butuh beberapa waktu untuk menoleh ke masa lalu untuk menghibur diri dengan kenangan lucu kita. Atau untuk menguatkan langkah kita kala kita dalam suatu proses perjuangan. Bahwa dulu kitapun pernah melalui sebuah proses untuk mencapai mimpi yang kita idamkan. Itulah sumber motivasi terbaru kita.

Hingga kusempatkan untuk menuliskan sedikit komentar di abwah foto bangunan tempatku menuntut ilmu delapan hingga enam tahun silam.

"Delapan tahun yang lalu, aku ada di sini. Menuntut ilmu bersama kawan tercinta. Berjuang mencapai sebuah cita-cita seorang pelajar yang berumur awal belasan, yang baru menginjak masa remajanya. Dulu kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi delapan tahun berikutnya. Sama seperti sekarang, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi sepuluh tahun berikutnya. Semoga silaturahmi ini tetap terjaga, dan semoaga kita semua sukses dunia akhirat, sahabatku!"

Setelah kutekan tombol enter, pelan-pelan kubaca tulisan yang aku kirimkan. Tiba-tiba aku terharu sendiri membacanya. Beberapa detik berikutnya ada komentar dari temanku.

"Wah, tumben kata-katamu menyentuh hati, Zha!"

Ha ha ha. Kepalaku sempat besar. Hingga kemudian kutemukan jawaban untuk mengisi komentar berikutnya.

"Berkat Bu Sumini, Pak Abi, kalian, dan kekuatan hati."

Ya. Hidup adalah perjuangan! Dan semoga Allah selalu menemani kita di setiap langkah yang kita tempuh, dan semoga kitapun mendapat Ridho-Nya. Amiiin.

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

Laailahailalloh, huwaloohuakbar. Allohu akbar wa lillahilhamdu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun