Namaku adnan. Kini aku menjadi mahasiswa universitas ternama di tanah airku. ‘apa yang bisa aku ubah sekarang?’ sapa batinku diam-diam. Melihat senyum para teman-temanku rasanya ingin merasakan senyum itu lebih lama. Namun, secuil perasaan meraba dalam sunyi. Perasaan kalut yang mendalam. Pemuda Indonesia kini? Mengapa berbeda?
“dulu mahasiswa yang unjuk aksi hanya 5 orang, sampai pada tahap selanjutnya bertambah, kemudian sampai pada sekarang ini yang mencapai ribuan mahasiswa yang menunjukkan aksi nya, melawan apa yang seharusnya, menegur institusi yang melukakan kelalaiannya” itulan yang aku dengar dari sebuah diskusi kecil.
“kenapa lo nan?” tanya salah seorang temanku.
“ahh, kenapa? Ga apa-apa kok, eh sholat yuk! Dan waktu sholat nih, bro” ajak raka. Dia adalah teman ku yang bisa dibilang setia. Kawan pertama yang aku ubah sedikit pribadinya. Menurut apa yang aku dengar dari alat ucapnya dia pertama kali sholat ketika aku yang mengajaknya. Subhanallah. Mungkin itu adalah hidayah yang diberika allah SWT kepada hambaNya yang mau usaha.
“yoo ah, buruan!!”
Ya, aku ingin menjadi provokator. Apakah aku termasuk pada manusia yang aneh itu? Menurut apa yang bergejolak dalam diri, aku tidak termasuk pada orang-orang demikian. Mungkin.
“apa?? Lo mau jadi provokator? Yang bener aja lo nan, ahh bercanda”
“emang kenapa ka? Menurut lo?”
“jangan-jangan lo ketularan aneh yee?” heran raka.
“ama sapa yang lo bilang aneh? Heh? Lo tuuh yang aneh, hahaha”
Tak lama muncul satria, dia juga teman setongkronganku.
“eh, sat masa sii adnan mau jadi provokator”
“hah? Provokator?kenapa?” tanya satria penuh heran.
“naah, itu pertanyaan menarik tuuh!” jawabku.
“eh, lo kok tanya gitu si sob, ga asik ahh.” Sangga raka.
“lah, emang gw salah nanya apa ka, suka-suka donk. Yang punya mulut gw” bela satria.
“nah, jadi gini sat. Provokator disini gw artikan dalam lingkup yang positif. Yang mana gw mau menggerakan orang lain dalam hal kebaikan ...” tiba-tiba satria memotong perkataanku.
“apa? Provokator kebaikan? Aneh lo!!” ledek raka.
“bagus sob, terus rencana lo apa?” sahut satria mencoba menyemangati.
“sejauh ini gw belum ada rencana apa-apa, cuman gw sii mau menggerakkan anak kelas dulu. Yaa,kan mayoritas anak kelas kita muslim, gw mau nya dia pada sholat dulu, yaa dikit-dikit, perlahan tapi pasti dan ga maksa juga si gw, menurut lo gimana?” tanya aku pada satria.
“hm, bagus! Gw setuju. Nanti gw sok-sok ikutan ajakan lo ajah, gimanah? Biar nguatin argumen lo gitulah”
“bagus!! Thanks yaa sob, lo emang temen gw”
Kami pun tertawa bersama dalam hujan yang belum juga menandakan akan berakhir. Tak lama aku melihat sepasang mata yang menatap ke arah meja kami. Mata penuh amarah dan rasa benci. Dia adalah temanku satu kelas, namanya rasta. Nama yang aneh, seperti sejenis obat terlarang saja. Dia memang paling tidak suka dengan apa yang aku lakukan, selalu mengawasi yang seharusnya tidak dia awasi. Bukan urusan dia juga kan kalau gw ngapain? Batinku.
Esoknya.
“eh, gw mau ngomong ama lo!” ajak rasta siang itu sehabis jam kuliah.
“kenapa ras?”
“gw jujur ga suka ama lo ngajak temen-temen gw buat sholat gitu, gw jadi kehilangan temen tau ga!! Gw harap lo hentiin semua apa yang lo lakuin sampai sejauh ini deh, sebelum gw bertindak lebih dari peringatan ini”
“kenapa ras? Lo mau gw ajak?” tantangku.
“apaan sii lo nan, lo ngajak berantem?”
“siapa yang ngajak berantem? Tenang.. kalo lo mau sholat, atau mau ikut ajakan gw, ikut ajah kali”
“ahh, capek gw ikutin lo, jing!” pergi rasta dengan kekesalannya.
Akhir-akhir ini aku memang mengalami kemajuan yang lumayan. Aku mengajak separuh dari semua teman lelaki hanya untuk sekedar sholat. Tak cuman itu, anak perempuan pun mulai tergerak hatinya setelah mendengar beberapa argumenku, tentu saja setelah di perkuat oleh raka. Dia memang sahabat yang baik.
Bagiku, untuk mengubah dunia, perlu diadakan perubahan kecil dahulu. Yaa, salah satunya dengan mengajak mereka sholat. Bukankah sholat itu mencegah kita melakukan perbuatan jahat, dan yang merupakan tiang agama? Maka aku akan menggalakkan apa yang aku rencanakan ini.
Sepulang kuliah aku mengalami hambatan, motorku dihadang. Siapa lagi, kalau bukan rasta dan para ajudan setianya. Terpaksa aku harus meladeni mereka terlebih dahulu. Bisa saja aku memanggil raka cs, namun aku urungkan niatku.
“kenapa ras? Ada masalah ama gw?” tanya ku.
“banyak!! Pegangin dia!” utus rasta pada ajudannya.
Aku hanya diam, malas untuk mengelak. Hampir tenagaku habis hari ini.
“mau mukul gw karena ga gw ajak? Hah? Eh, kalian mau jadi ajudannya kenapa?” tanya ku sedikit mengejek.
“apaa sii lo, banyak bacot!!”
BUK!!
Sebuah pukulan melayang di perutku, terasa sakit. Sedikit, aku tahan. Semoga ada balasan atas apa yang dilakukannya malam ini. Batinku dalam diri.
“udah?! Cuman segitu?” ejek aku lagi.
Karena merasa kesal, entah ada apa yang mengurungkan niatnya untuk memukul aku lagi, dia pergi. Tak hanya itu, rasta kehilangan kesadarannya. Bagaimana tidak, dia meninggalkan teman-temannya, yaa para ajudannya itu untuk naik kendaraan umum.
“aahh, sialan lo ras, malah ninggalin kita,” kesal rio.
“eh napa lo urusan ama rasta nan?” tanya santana, yang notabene juga ajudannya rasta.
“hah, gw? Ga ada masalah, lo semua kan tau, gw ngajak lo pada buat sholat kan, dan lo mau kan? Gw udah mulai ngajak kebaikan itu, dia ga suka. Bingung gw!”
“hah? Bocah banget sih dia!”
“oowh, jadi karena itu. Ahahha, bocah dasar rasta!!” tambah rio.
“eh, gw cabut dulu yaa, gw masih banyak job, sob!”
“siip, ati-ati prov” sahut santana.
“hah? Prov?” heran ku.
“provokator kan lo? Makanya gw panggil prov, ga apa-apa kan?” tanya lagi santana.
“ahahaha, ga apa-apa, jangan lupa yaa, secret gw ke lo pada”
“siip prov!!” teriak rio.
Aku memang mengajak mereka sholat, namun tidak untuk merubah semua yang mereka pegang selama ini, yaa selama mereka masih punya tanggung jawab yang penuh. Sejauh ini mereka cukup bijaksana.
Rasta mulai bingung dan tak bisa memikirkan apa yang harus dipikirkan.
“gw harus gimana dah!!, siaal!!” umpat dirinya sendiri.
Pagi ini sangat ceria, entah apa yang membuat aku demikian, aku tidak tau. Semua tersenyum padaku, kecuali tentunya. Siapa lagi kalau bukan rasta.
‘gw mau lo ke belakang gedung X sekarang’
Sebuah sms masuk dalam inbox ku. Ini dari rasta. ‘ada apa?’ tanya ku sendiri.
Ku lalui koridor demi koridor untuk menuju belakang gedung sembari memikirkan, apa yang akan terjadi setelah kemudian aku sampai di belakang gedung? Semoga tak apa-apa. Batinku mencoba menyemangati sendiri, dan menumbuhkan rasa positif.
Terlihat rasta tengah duduk. Kali ini dia SENDIRI. Kenapa? Semua pertanyaan yang menggelantung pada kepalaku kembali berputar dengan kecepatan penuh. Mencoba menepinya, namun seakan tekanan itu semakin kuat, TENANG. Huuf!
“gw mau ngomong, ama lo ajah, disini.” Kalimat yang pertama kali terucap ketika rasta menyadari aku ada.
“apa?”
“kenapa lo ngajak mereka? Apa yang sedang lo rencanain?”
“hah? Yang gw rencanain, apa.. lo beneran mau tau?” tanya ku balik.
“iyah, setidaknya kalau pun gw mau ikut lo, untuk kebaikan gw tau alasannya, bukan kaya mereka yang cuman nampang baik cuman buat dapetin boking”
“okee,terpaksa gw bocorin. Gw mau mencoba jadi provokator positif, bisa dibilang gw ingin merubah apa yang salah menjadi benar, setidaknya hidup gw berguna selagi muda. Dan gw mau ngajak mereka sholat, yaa karena itu, karena ga mungkin gw baik sendirian, gw juga perlu kalian, butuh lo, mereka dan semuanya. Makanya gw mau ajak dalam kebaikan. Sorry kalo gw nyolot ama lo, cuman gw ga bisa nalar ama jalan pikiran lo ras”
“jadi itu,...”
“kenapa lo?”
“okee, gw mau jadi temen lo, ajak gw yaah, dan kalau butuh bantuan dalam sebuah organisasi yang menuju pada kebaikan, pliis ajak gw, gw tunggu ajakan lo”
“ lo mau kemana?” tanya aku heran.
“sanah, sholat kan?” sambil menunjuk arah mushola rasta pun pergi dalam terannya cahaya siang itu.
Jujur aku masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Masih terpaku dalam diam, dan bak patung yang siap untuk dihancurkan.
Ternyata memang susah. Namun tak sia-sia. Semangat pemuda. Tak selalu jadi oranng pada kalangan yang sudah mayoritas. Menurut aku, mulailah pada yang minoritas dulu. Setidaknya ngajak kebaikan, dan itu yang sudah aku lakuin. Dalam masa muda, setidaknya.
Beberapa bulan berlalu, bahkan hampir setahun berlalu. Kini semua nya berubah. Aku yang dulu mahasiswa biasa, mungkin bisa dikatakan mahasiswa menuju luar biasa. Rasta, kini menjadi ketua BEM fakultas, tentu saja semua menuju kebaikan. Rio, manjadi ketua futsal fakultas, banyak lagi yang tidak disangka setelahnya. Awalnya mereka semua ragu akan apa yang mereka lakukan, tapi setelah mengalami perbincangan yang alot, semuanya mencair. Bak es yang mendapatkan sinar. Pemuda kini menjadi yang luar biasa.
saja lupa. Bukankah aku tokoh utama dalam cerita ini, bagaimana nasibku? Tentu saja jawabannya masih sama, aku adalah provokator kebaikan. Begitu teman-temanku bilang. Semoga semua ini bisa aku pertanggung jawabkan. Bukan hanya semasa muda ku tapi selama masa hidupku.
Semangat pemuda, jangan pernah menyerah!!!