Rhoma Irama; siapa tak kenal sosok yang sering membuat kontroversi ini. Raja dangdut, pernah menjadi politisi, dan terakhir adalah calon presiden yang getol dikampanyekan oleh Partai Kebangkitan Bangsa.
Beberapa hari belakangan, Bang Rhoma kembali jadi pembicaraandi media sosial. Sebuah gelar akademik yang dipasang di depan namanya adalah muasal perkara itu, Profesor Rhoma Irama. Publik tak rela jika gelar itu disandang Sang Mahabintang. Alasannya, asal-usul gelar itu tak jelas. Memang Rhoma punya dalil; beberapa orang profesor pernah datang ke Indonesia untuk memberinya gelar itu pada tahun 2005 lalu. Tapi, Rhoma bukan dosen sehingga haram hukumnya untuk menyandang gelar itu.
Profesor adalah gelar bagi mereka yang bekerja di universitas atau lembaga riset yang kerap melakukan penelitian dan menulis artikel ilmiah. Beda dengan Rhoma yang notabene adalah seniman. Tetapi andai Rhoma adalah seorang dosen musik, pantaskah ia diberi gelar itu?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menilik sosok lain yang tak menghebohkan. Profesor Anggito Abimanyu. Gelar akademik Dirjen Haji itu tak diragukan. Doktor ekonomi lulusan universitas mentereng – Universiy of Pennsylvania Philadelphia – di negeri Paman Sam. Ia berkarier di lembaga yang punya nama besar, Universitas Gadjah Mada.
Tenaga dan pikirannya diabdikan pada negara dalam jabatan birokrasi; Menjadi Kepala Badan Fiskal di Departemen Keuangan dan terakhir adalah Dirjen Haji. Hebat bukan. Tapi sebuah kerikil kecil mengguncang kebesaran namanya. Ia menjiplak karya orang lain. Menyedihkan? Tentu saja iya. Bahkan memalukan untuk orang sekelas Anggito.
Profesor tentu bukan gelar akademik. Tak ada sekolah yang meluluskan orang dengan gelar profesor. Itu adalah penghargaan. Nilai yang diberikan atas karya intelektual. Sampai disini, simpulan boleh dibuat. Profesor diberikan kepada mereka yang punya karya intelektual. Titik.
Tapi apa itu intelektual?
Defenisi tentang intelektual boleh dilongok pada kamus. Tapi Antonio Gramsci – dalam bukunya Prison Notebooks – memberikan label yang universal. Bahwa semua orang adalah kaum intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Kalau tidak semua orang punya fungsi intelektual, lantas siapa yang paling layak diberi gelar itu?
Edward W. Said berujar dalam bukunya Peran Intelektual, seorang intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat mempresentasikan, mengekspresikan, serta mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi.
Kembali pada Rhoma Irama. Dalam sebuah buku yang ditulis Andrew N. Weintraub – Dangdut: Musik, identitas dan Budaya Indonesia – saya menemukan bahwa karya-karya Rhoma Irama telah banyak dikaji secara akademik, bahkan hingga ke luar negeri. Disebutkan pula bahwa tak kurang ada 7 karya akademik berhasa Inggris yang disusun tentang karya-karya Rhoma Irama. Di Indonesia, tak kurang artikel ilmiah yang membahas lagu Rhoma.
Lagu-lagu bikinan Rhoma Irama memang kental dengan pesan-pesan moral. Musik adalah cara yang dipilih untuk menebarkan kebenaran. Rhoma tidak mengajar di kelas seperti Anggito. Ia mendidik masyrakat lewat lirik lagunya.Lagu-lagu Rhoma adalah antitesis terhadap diktum “ seni untuk seni”. Bagi Rhoma Irama, “musik adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan dan manusia. Ia menggugah ahlak. Mempersoalkan rezim yang tak hirau pada persoalan rakyat. Bahasanya jujur dan tak muluk-muluk. Menohok siapa saja yang keluar dari nilai-nilai moralitas. Liriknya punya daya untuk merubah karakter orang lain. Sama seperti Anggito yang mengubah mindset mahasiswanya lewat ujaran-ujarannya di ruang kelas.
Lagu Rhoma adalah potret nyata yang jamak. Cermin bagi penguasa. Budayawan Remy Sylado bahkan pernah memuji bahwa karya Rhoma Irama lebih baik ketimbang Iwan Fals. Rhoma lebih jeli memotret situasi sosial ketimbang Iwan Fals. Tak heran jika banyak peneliti tertarik mengurai makna dibalik karya-karyanya. Seorang intelektual adalah pencipta bahasa kebenaran kepada kekuasaan, kata Edward Said.
Jika Rhoma adalah seorang dosen, berapa karya intelektualnya? Ada lebih dari 328 judul lagu Rhoma Irama. Sebuah angka yang membentangkan produktiftas. Rhoma memang piawai mencipta musik. Profesor Weintraub berhasil menganalisis kegeniusan Rhoma dalam mengawinkan berbagai genre musik ke dalam musik dangdut. Musik Rhoma Irama mengandung unsur blues atau rock. Ada teknik vokal Elvis Presley dan Tom Jones pula dalam beberapa lagu Rhoma. Jenius bukan.
jJika dangdut akhirnya bisa bersanding dengan lagu pop lainnya saat ini itu pula berkat kegigihan Rhoma berdiri menantang cemooh tentang dangdut sebagai musik yang kolot dan kampungan. Jika Ayu Tingting, Saiful Jamil, Dewi Persik dan sederet penyanyi dangdut lainnya bisa percaya diri membawa musik dangdut saat ini, tentu itu tak lepas dari kegigihan tetap setia pada jalur yang telah dipilihnya. Lagu-lagu Rhoma masih sering diputar dimana-mana. Bahkan konon, Jokowi pun mengindolakan lagu-lagu Rhoma Irama.
Tentu saja, kualitas intelektual Rhoma Irama dalam bidang musik patut diberi aplause. Rupanya, Rhoma memang punya bakat menyampaikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi. Sama halnya dengan Anggito Abimanyu yang terkenal piawai dalam mengelola kebijakan fiskal dan mahir dalam logika ekonomi. Sayangnya, Rhoma bukan dosen seperti Anggito. Dan lagi, Rhoma tak punya gelar doktoral seperti Anggito. Tapi bagi saya, Rhoma Irama adalah seorang intelektual yang layak diberi ganjaran profesor, meskipun gelar itu tetap tak boleh disematkan di depan namanya. Pengakuan moral terhadap Rhoma Irama sebagai Profesor in Music saja sudah cukup.
Novie SR