Suatu ketika mereka harus berpisah, karena Vivi berhasil diterima di salah satu SMA terbaik di Jakarta, sementara Beny diterima di sekolah kejuruan dengan jurusan tata boga.
Meski begitu, keduanya masih cukup sering bertemu karena jarak tempat tinggal mereka yang tidak terlalu jauh. Kebetulan juga, Oma-nya salah satu teman SMP mereka, membuka warnet di dekat rumah Beny. Maka itu, hampir setiap pulang sekolah Vivi dan Beny masih sering nongkrong bareng di warnet si Oma.
Vivi mengira kalau Beny sudah "sembuh", sudah menjadi laki-laki beneran, karena dia melihat penampilan Beny yang sekarang lebih kelihatan cowok. Beny juga suka ngudud bareng cowok-cowok di warnet Oma.
Tapi ternyata, Beny justru makin parah. Bukan karena dia sekolah di jurusan tata boga, tapi karena pergaulannya di luaran sana yang mulai tak jelas.
Beny semakin "sakit", dia benar-benar tak berminat pada makhluk yang bernama perempuan. Katanya, "Jenis kelamin ngga penting, yang penting kasih sayang."
"Lo serius, Ben?" tanya Vivi membulatkan kedua matanya setelah mendengar kalimat Beny. Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan sebuah anggukan pasti oleh Beny.
***
Hari ini Vivi akan menikah dengan Haris. Satu-satunya cowok alim yang dikenal Vivi selama hidupnya. Maklum, selama ini Vivi selalu pacaran dengan bad boy. Begitu mengenal Haris, Vivi tak akan melewatkan kesempatan emas yang belum tentu datang dua kali.
Dan sebagai sahabat yang selalu ingin sahabatnya tidak menjadi buruk seperti dia, Beny tentu merasa sangat senang melihat Vivi dinikahi oleh lelaki baik-baik seperti Haris.
***
Bulan demi bulan berlalu. Vivi dan teman-teman satu gengnya saat SMA dulu, masih sering berkumpul untuk sekadar makan bersama dan menghabiskan waktu di luar rumah. Lagipula, para wanita itu belum memiliki anak. Jadi tampaknya, mereka masih punya banyak waktu luang.
Malam minggu ini, Vivi and the geng coba-coba nongkrong di salah satu club yang katanya paling hits di pusat Jakarta. Dan ide gila ini datang dari Vivi, dia yang secara tiba-tiba merubah rencana untuk tempat berkumpul mereka.
Sampai di club itu, Vivi bertemu dengan Beny yang sudah lebih dulu ada di sana bersama teman-temannya. Tapi entahlah, kali ini pertemuan Vivi dan Beny benar-benar tak disengaja atau memang sudah direncanakan sebelumnya. Tak ada yang tahu.
Semua tampak normal, Vivi dan Beny kembali ke mejanya masing-masing setelah bercipika-cipiki.
Hanya dalam hitungan menit yang sempit, setelah chat terkirim dari ponsel Vivi, segerombol polisi berpakaian preman menodongkan pistol mereka ke meja Beny.
Barang bukti jelas terpampang di atas meja, Beny tak hanya memakai tapi juga pengedar. Salah satu teman Beny yang duduk di meja itu tiba-tiba menunjuk histeris ke arah Vivi.
"Dia Ben! Dia cepu polisi."
Vivi tak terpengaruh, dia tetap tenang menikmati segelas cocktail-nya, meski hampir semua mata tertuju padanya. Tapi biar bagaimana pun, Vivi tetap gemetar saat para polisi itu menggiring Beny dan teman-temannya keluar dari club. Vivi hanya bisa pasrah, identitasnya sebagai cepu, kini telah terbongkar.
***
Hampir tengah malam ketika Vivi sampai di rumahnya. Berkali-kali dia merogoh ke dalam tasnya, tapi dia tak menemukan kunci rumah. Dia tahu suaminya ada di dalam, dan mungkin sudah tidur sejak tadi.
Vivi berjalan ke arah samping rumah, berharap dapat membangunkan suaminya dengan mengetuk pintu dapur. Namun ternyata, pintu dapur tidak terkunci dengan benar.
Dia lantas memasuki rumahnya dengan penuh rasa heran, hingga akhirnya dia mendapati wanita lain berada di kamarnya, di atas ranjangnya, dalam rangkulan suaminya.
Seketika tawa menggema dari mulut Vivi, tapi tangannya lebih cekatan meraih pistol dari dalam tasnya. Tak ada ampun, malam itu dua nyawa melayang di tangan Vivi.(*)