Sesaat ku tersentak ketika Bu Magdalena mengatakan pada kami tentang materi sekolah minggu hari ini. Beliau juga menambahkan bahwa materi ini sengaja dipilihnya sebab pada saat ini, kenakalan remaja semakin merajalela.
Kenakalan demi kenakalan yang terjadi, tak luput dari perilaku anak yang tidak menaruh hormat pada kedua orang tuanya, dan suka melawan perkataan mereka.
Baru mendengar beberapa kalimat pembukanya saja, jantungku sudah hampir copot. Hatiku yang sudah bergumul dengan dosa, semakin terasa ketar-ketir.
Aku begitu sering membantah ucapan Ibuku, yang akhirnya membuat kami kerap terlibat dalam perdebatan panjang. Tak terhitung pula berapa kali aku membangkang pada Ayah. Aku merasa Ayah terlalu berlebihan, dan tak mau memberi kepercayaan padaku untuk menjaga diriku sendiri.
Di usiaku yang menginjak masa remaja ini, semakin banyak hal baru yang ingin ku ketahui sekaligus ingin cobai. Meski sehari-hari di sekolah, dan di sekolah minggu, aku dikenal sebagai Rachel yang cerdas dan berprestasi, namun mereka semua tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku memiliki tabiat yang buruk.
"Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu --- ini adalah suatu perintah yang penting. Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi." (Efesus 6: 1-3)
Bu Magdalena baru saja membacakan kutipan ayat yang semakin membuat kerongkonganku terasa kering bagai tak tersisa ludah yang dapat ku telan.
Kutipan ayat itu terasa menghujam di sekujur jiwaku. Apa kali ini Tuhan masih bersedia mengampuni dosaku pada orang tuaku? Dulu saat ku kecil, rasanya tak ada yang aneh saat mendengar orang lain membaca kutipan ayat yang ini. Tapi, hari ini aku merasa terbunuh mendengarnya.
"Rachel! Ada apa, Nak?" tanya Bu Magdalena yang sudah berdiri di samping tempat dudukku.
Aku terkejut, dan mengangkat wajahku yang tertunduk pilu. Ku usap air mata yang entah sejak kapan telah membasahi kedua pipiku. "Ngga apa-apa Bu." jawabku memaksakan senyum.
Bu Magdalena tak bertanya apapun lagi, beliau hanya mengatakan, "Sepulang nanti, kita ngobrol sebentar."
Sedang aku hanya mengangguk, tanda setuju.
Pada akhirnya, perbincanganku dengan Bu Magdalena lebih seperti sebuah pengakuan dosa. Beliau begitu sabar mendengarkan segala resah dan kegundahan yang mengganjal di benakku. Dengan kalimat penuh kasih, beliau menyampaikan nasihatnya kepadaku.
"Kau tahu, Nak? Kau selalu dikenal sebagai murid terbaik di sekolah kita ini. Bukan berarti teman-temanmu tidak baik, tapi kau selalu lebih menonjol. Kau pintar dan selalu peduli pada orang lain. Belajarlah mengubah sifat burukmu itu, perlahan-lahan. Selagi Tuhan masih memberi kesempatan, selagi ayah ibumu masih bisa kau jumpai setiap hari."
Ya, aku tahu, aku sangat beruntung masih memiliki kedua orang tua yang sehat. Serta kasih karunia Tuhan yang tak terbatas, tak perlu ku ragukan lagi.
Mulai hari ini, aku akan melatih diri untuk menjadi anak yang terbaik bagi kedua orang tuaku, sehingga predikat murid terbaik di sekolah minggu tak hanya sebatas label yang melekat pada diriku. Aku percaya, tak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.(*)