Bahu kiriku terasa berat, rupanya suamiku juga tertidur. Entah sejak kapan dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku hanya dapat melirik sekilas wajahnya yang lembut, dan perlahan memperbaiki letak kaca matanya yang mulai merosot.
Tapi aku tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah itu, wajah yang bagiku sangat menggemaskan. Aku pun tersenyum sendiri saat menyentuh wajahnya, orang bodoh mana yang ketiduran ketika seharusnya kami bisa menikmati sepanjang perjalanan ini.
Sampai akhirnya lamunan membawaku pada kenangan lima tahun yang lalu. Saat pertama kalinya kami berbincang di atas kereta ini, kereta yang sama. Dia tak pernah tahu bahwa waktu itu, aku harus bekerja keras mengendalikan degup jantungku saat aku nekat duduk di sampingnya.
Hari ini, aku dan dia kembali duduk bersama di kursi kereta ini, persis di sini, di tempat kami duduk waktu itu. Bagiku, ini adalah kereta termanis yang pernah kunikmati selama hidup. Ku hela nafas, dan meyakinkan diri sepenuhnya bahwa ini bukanlah mimpi. Dan lamunanku berakhir saat dia mengambil tanganku untuk digenggamnya.
"Tadi kamu tidur duluan, makanya aku ikut tidur." ucapnya sambil mengangkat kepala dari bahuku.
Dia selalu menjelaskan sesuatu yang belum sempat aku tanyakan. Hebatnya, dia selalu tahu apa yang akan ku tanyakan padanya. Aku pun hanya tertawa mendengar ucapannya tadi.
"Bisa lepasin dulu tanganku? Aku mau ambil roti."
"Ngga bisa! Nanti saja ambil rotinya." jawabnya santai sambil menjatuhkan kepalanya lagi di bahuku, dan tangannya semakin mengeratkan genggaman tangan kami.
"Jangan tidur lagi!" pintaku, dan dijawab hanya dengan tawanya yang renyah.
Aku sangat beruntung memilikinya, dia selalu berhasil membuatku tertawa dengan segala tingkah aneh dan ucapannya yang sering tak terduga. Padahal dulu ku pikir, bicara dengannya sama saja seperti mengajak bicara batu nisan di kuburan.
Bagaimana tidak ku pikir begitu, bayangkan saja seorang Maya yang dikenal supel, harus berhadapan dengan Angga yang pendiam dan tidak suka banyak basa-basi.
Sampai sekarang aku masih suka tertawa sendiri jika mengingat masa itu. Masa di mana aku harus pintar-pintar mencari topik pembicaraan, dan mati-matian mencoba segala cara untuk menaklukkan hatinya. Masa di mana aku hanya bisa menangis saat merindukannya, dan bertahan untuk tidak menghubunginya.
Tapi akhirnya segala cara itu tak ada gunanya, aku justru tak sengaja menaklukkannya saat hanya aku yang berhasil menyuapi makan kura-kura kesayangannya yang sedang sakit. Memang aneh manusia satu ini, tapi aku sangat mencintainya.
Perjalanan kami masih cukup panjang, belum ada tanda-tanda stasiun tujuan sudah dekat, dan sepertinya suamiku sudah tertidur lagi. Haruskah ku bangunkan dia sekarang, untuk mengatakan bahwa aku sedang mengandung? Aku harus mengatakannya sekarang juga, di atas kereta ini.(*)