Sekejap hening menyeruak, tak terdengar lagi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring. Semua tertegun saling pandang, hingga akhirnya pandangan itu kompak mengarah padaku yang masih berdiri di ujung tangga bawah dengan piyama biru ku.
"Pensiun?" tanya ibuku sembari mengernyitkan dahinya.
Tanpa menjawab, aku melangkah mendekati meja makan dan menjatuhkan tubuhku di kursi samping ibu.
Ku hela nafas sebelum meraih secangkir kopi hitam panas yang sudah tersedia di depan mata. Mereka melanjutkan sarapannya, membiarkanku terhanyut sejenak menikmati kopiku.
"Aku serius, aku mau pensiun." lanjutku setelah meletakkan kembali cangkirku ke atas meja.
"Mbak Ema mau resign?" tanya Alia, adik pertamaku yang tinggal dua bulan lagi akan menikah.
"Bukan! Bukan cuma resign, tapi juga pensiun. Artinya, aku ngga akan kerja di mana-mana lagi."
"Lho terus, kamu mau apa Em?" serobot ibuku, yang seolah tak terima mendengar ucapanku tadi.
Ku hela nafas panjang sebelum menjawabnya, "Tahun ini umurku sudah empat puluh lima, Bu. Hendra mau menikahiku."
"Jadi karena itu, kamu mau...."
"Aku belum selesai ngomong, Bu. Hendra memang mau menikahi aku, tapi aku menolak. Aku juga sudah muak dengan semua kerjaanku. Aku mau pergi dulu, dan kembali saat aku tau, apa yang bisa aku lakukan di sini."
Semua kembali terdiam, terasa kebingungan melanda dalam benak mereka. Tak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar penjelasanku.
Hingga adikku yang paling muda, Rio, bertanya padaku, "Kenapa Mbak ngga mau nerima Mas Hendra?"
"Kamu rela Mbakmu jadi istri kedua, Yo?" seraya ku hentakkan pisau roti yang baru ku gunakan untuk mengoleskan selai.
"Ops. Sorry!" jawab Rio singkat.
"Ya sudah, lakukan apa saja yang kamu mau. Kamu berhak atas seluruh hidup kamu, Em. Selama ini kamu sudah sangat bertanggung jawab untuk kami. Ibu ngerti kejenuhan kamu. Pergilah dulu, asal kamu tetap ingat untuk pulang."
Sekuat hati ku tahan air mataku, jangan sampai aku terbawa emosi dan menangis di hadapan ibu dan adik-adikku. Entah kapan aku bisa kembali di tengah-tengah mereka seperti pagi ini.
Aku juga sangat mencintai Hendra, aku sudah jatuh hati padanya sejak usiaku masih dua puluh tahun. Sejujurnya aku tak pernah perduli ia mau menjadikanku istri kedua, atau ketiga, terserah. Saat ini aku hanya tidak ingin dia terbebani dengan apa yang sedang menimpaku.
Kalau bukan karena aku yang ditugaskan sebagai pengawas di proyek sialan itu, aku tidak akan sampai terseret kasus ini. Lagi pula sepeserpun aku tidak pernah menikmati uang haram itu. Lihat saja, akan ku bongkar semua kebusukan mereka. Mereka yang sebenarnya terlibat suap, sungguh patut diseret ke neraka.(*)