Radit menghentikan motornya di depan sebuah kafe. Melangkah masuk untuk menemui seseorang yang dicarinya.
"Pras!" seru Radit, suaranya menggema.
Pras menoleh, senyumnya perlahan memudar. Sebab, dia tahu alasan datangnya Radit. Pras segera bangkit dari kursinya. "Dit, Cika yang mengambil keputusan sendiri. Itu bukan salah gue!"
"Lo udah ambil segalanya dari gue. Bokap gue, kebahagiaan gue, dan sekarang.. cewek yang gue suka." teriak Radit yang kian mendekat.
Radit tak bisa menahan diri lagi. Ia melayangkan tinjunya yang langsung menghantam wajah Pras.
Seketika Pras terlempar, menghantam meja di belakangnya. Semua yang menyaksikan keributan itu mundur menjauh, namun Pras berusaha bangkit sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
"Kalau lo mau perang, gue ngga akan mundur!"
"Gue udah muak dengan semua omong kosong lo!" Radit melangkah dan siap menghajar lagi.
Namun Pras membalas, tinjunya menyasar ke rahang Radit. Lelaki itu jatuh tersungkur, lalu kemudian berhasil bangkit. Keduanya bertarung saling hantam seolah tanpa ampun.
Hingga Pras berhasil mengunci lengan Radit dan membantingnya ke meja. Namun Radit yang dipenuhi amarah, bangkit lagi dengan sorot matanya yang tajam. "Ini belum selesai!" serunya seraya mengeluarkan sebuah pisau dari dalam jaketnya.
Melihat pisau di tangan Radit, Pras sungguh terkejut dan mundur beberapa langkah. "Lo jangan main-main, Dit! Lo benar-benar gila, Radit!"
Radit bukan orang sembarangan, Pras tahu hal itu. Dulu mereka sering bertarung bersama melawan geng motor, tapi sekarang justru mereka lah yang saling menyerang.
Radit mengayunkan pisaunya, tapi Pras berhasil menghindar dengan gesit. Perkelahian berubah menjadi arena mematikan. Keduanya berlari keluar dari kafe, menghantam pintu dan menghambur ke jalanan yang gelap.
Pras yang kelelahan, berhenti di sebuah gang sempit yang dikelilingi tembok tinggi. Nafasnya berat, keringat bercucuran di dahinya. Tak ada lagi tempat untuk berlari. Radit mendekat dengan pisau yang berkilat dalam cahaya remang.
"Ngga ada jalan keluar, Pras! Lo harus menebus apa yang udah lo ambil dari gue."
Radit mengayunkan pisaunya lagi, kali ini lebih cepat dan terarah. Pras menangkis serangannya, tapi pisau itu telah menggores kulitnya, meninggalkan luka tipis di lengan kirinya. Dan di tengah kekacauan itu, sebuah suara menggema di udara. "Berhenti!"
Keduanya menoleh. Di ujung sana, Cika berdiri dengan mata berkaca-kaca melihat dua sahabatnya sedang berusaha saling menghancurkan.
"Kalian udah ngancurin semuanya. Untuk apa?"
"Kamu Cik! Kamu yang udah milih dia!"
"Iya Dit, iya gue salah! Tapi ngga kayak gini caranya!"
Ucapan Cika mengiris hati Radit. Tangan yang memegang pisau itu gemetar. Di balik dendamnya, masih ada rasa cinta yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.
Dengan pisaunya, Radit menunjuk ke arah Pras. "Gue masih bisa maafin dia, saat gue tau kalau ibunya yang udah ngerebut bokap dari nyokap gue. Dia ambil kebahagiaan keluarga gue. Tapi, setelah dia ambil lo dari gue.. gue udah ngga bisa lagi maafin dia."
"Radit, gue minta maaf. Untuk semua itu, tolong maafin gue!" ucap Pras sambil menahan perih di lengan kirinya.
Radit menjatuhkan pisaunya. Menahan sisa amarah dengan mata yang berkaca-kaca, ia memilih untuk pergi begitu saja. Dalam diamnya, ia membawa segenap luka dan dendam yang terlanjur memenuhi ruang hatinya.(*)