Kami kerap dibilang kucing preman, kelakuan kami dibilang bar-bar, kami terkenal pemberani dan sombong, bahkan beberapa dari manusia-manusia itu menuding kami suka menindas kucing lain yang lemah.
Perkataan para manusia itu tak sepenuhnya benar, tapi juga tak sepenuhnya salah. Sebab, nyatanya aku berbeda dengan Oyen-Oyen lainnya.
Akulah Oyen sang raja, yang memiliki hati lembut dan mengasihi sesama. Meski aku jantan, aku tak pernah menindas kucing lain. Sebab aku sadar bahwa kami memang diciptakan untuk hidup selalu berdampingan di muka bumi ini.
Aku juga bersedia untuk berbagi, setiap kali Tuhan mengirimkan rezeki untukku. Aku tak pernah bertingkah layaknya penguasa yang rakus dan mesti disegani. Aku sudah sering menasihati kawan-kawanku agar jangan lagi menindas kaum yang lemah, namun terkadang mereka memang cukup sulit untuk dinasihati.
Kalau sudah begitu, yang dapat ku lakukan adalah berusaha untuk selalu melindungi kaum yang lemah. Terutama kucing berwarna putih, yang dikenal sebagai penduduk kasta paling rendah di antara para kucing.
Sifatnya yang penyendiri dan pendiam, justru membuatnya kerap dibully oleh kucing-kucing lain. Ingin rasanya ku katakan pada setiap manusia yang ku jumpai, agar mereka bersedia mengadopsi kucing putih dari jalanan.
Aku ingin mengatakan bahwa, jangan heran jika kalian sering menemukan kucing putih di jalanan, duduk menyendiri dengan penampilan yang kotor. Hal itu karena mereka tak pandai merawat diri dan melindungi dirinya sendiri.
Tubuh mereka juga kerap terlihat kurus, sebab mereka sering kali kalah bersaing untuk mendapat makanan. Dan bahkan mereka akan mengalah saat makanan yang sedang asik mereka makan, direbut oleh kucing lain. Tak sekadar demi menghindari pertengkaran, mental mereka memang cukup lemah untuk mempertahankan hak-haknya.
"Halo Puput!" sapaku pada salah satu kucing putih betina yang melintas di hadapanku. Tubuhnya yang tak begitu kurus, tampak kotor karena terpapar debu jalanan setiap waktu.
"Halo Oyen! Apa kamu sedang santai?" balas Puput yang menghentikan langkahnya di hadapanku.
"Ya, angin lembut ini membuatku sedikit mengantuk. Kamu dari mana saja, Put?"
"Sejak subuh tadi, aku berkeliling mencari makan. Untungnya aku bertemu dengan seorang Ibu yang baik hati di jalan. Ia memberiku makanan kering. Eh, apa kamu sudah makan, Yen?"
"Wah, kamu beruntung Put! Aku juga sudah makan. Tadi pagi aku ke rumah Pak Eko, ia memberiku sepotong ikan. Harusnya kamu ikut denganku, Put. Aku kan sudah bilang kalau Pak Eko itu penyayang kucing. Ia pasti memberimu makan."
"Tapi.. tapi tubuhku kotor, Yen. Aku malu, dan takut kalau Pak Eko jadi merasa jijik melihatku. Mungkin ia akan mengusirku."
Aku merasakan pilu mendengar kalimat Puput. Lagi-lagi aku meyakinkannya bahwa apa yang dikatakannya tadi tidaklah mungkin terjadi. Aku juga merayunya untuk ikut denganku ke rumah Pak Eko nanti malam.
Tiba-tiba saja terdengar riuh pertengkaran kucing di sela perbincangan kami. Kami pun memutuskan untuk menghampiri sumber suara itu, yang kira-kira berasal dari gang 3, tidak jauh dari tempat kami sekarang.
Sampai di sana, kedatanganku berhasil melerai perkelahian antara Popoy dan Belang Abu. Sebab tampaknya, Belang Abu takut kepadaku. Ia lari kocar-kacir ke arah gang 4. Sementara Popoy yang merupakan kucing putih jantan, mengucapkan terima kasihnya kepadaku. Aku dan Puput juga mengajak Popoy untuk ikut dengan kami.
Malam harinya, kami bertiga sudah duduk di halaman rumah Pak Eko. Aku yakin bahwa sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Tak lama, aku mendengar suara motornya. Aku bergerak merenggangkan ototku dan bersiap menyambutnya.
"Eh.. si Oyen!" ucapnya riang menyapaku sambil melepas helmnya. "Kamu bawa teman ya, Yen?"
Aku hanya dapat menjawabnya dengan menggosokkan tubuhku ke kaki Pak Eko. Aku juga mengikutinya mengambil kotak makanan kucing ke dalam rumah. Sementara kedua temanku masih duduk di halaman.
"Ayo sini makan!"
Puput dan Popoy memberanikan diri untuk mendekat ke teras, mendekat kepada Pak Eko yang sudah berjongkok sambil menata tiga buah mangkuk di hadapan kami. Kami juga mengamati Pak Eko yang mengisi setiap mangkuk itu dengan makanan kering. Bahkan ia juga meletakkan sebuah gayung berisi air bersih untuk kami minum.
"Wah, enak sekali makanan ini, Yen! Pak Eko sangat baik ya." ucap Puput ketika Pak Eko telah beranjak dari hadapan kami.
"Iya Yen. Ini sangat enak, aku sangat jarang bisa makan seenak ini. Terima kasih ya, sudah mengajakku ke sini." tambah Popoy.
"Iya, sama-sama. Aku ikut senang kalau begitu." jawabku tersenyum dan melanjutkan makan malamku.
Kami pun menutup hari dengan penuh rasa syukur, tak lupa kami mendoakan Pak Eko agar selalu diberkahi kehidupannya. Kami juga mendoakan kawan-kawan kami yang lain, agar tidak mendapat kesulitan dalam meraih setiap rezekinya, dan selalu dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Pak Eko.(*)