Sementara Reno adalah pria yang tak hanya baik hati tapi juga penuh pengertian. Ketika Tita dan Reno jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah, Tita tahu dia harus menghadapi tantangan baru, yaitu membina hubungan yang harmonis dengan Chintia.
Suatu sore, ketika sinar matahari menyinari halaman rumah mereka dengan lembut, Tita sedang di dapur membuat kue cokelat kesukaan Chintia. Tiba-tiba Chintia datang dengan wajah murung.
"Hai sayang, sudah pulang. Gimana hari ini?" sapa Tita sambil mengaduk adonan kue.
Chintia hanya menggelengkan kepala. "Biasa saja, Mam. Guruku kasih banyak PR."
Tita berhenti sejenak dan menatap Chintia. "Oh, nanti Mama bantu ya! Kita buat PR sama-sama sambil makan kue."
"Makasih ya, Mam. Aku jadi semangat kalau gitu." senyum gadis itupun telah mengembang.
Beberapa jam kemudian, kue buatan Tita telah siap dinikmati. Tita dan Chintia juga sudah duduk di atas karpet ruang keluarga, membahas PR Chintia. Tita selalu memanfaatkan momen seperti ini untuk membuat Chintia merasa lebih dekat dengannya. Agar dia tidak hanya dipandang sebagai seorang ibu tiri, tetapi juga sebagai sahabat yang siap membantu Chintia.
Keesokan harinya, mereka kedatangan Linda. Wanita yang merupakan ibu dari Reno.
"Halo Mama!" seru Tita saat membuka pintu untuk beliau. "Aku sudah menyiapkan teh kesukaan Mama."
Linda memeluk Tita dengan hangat. "Makasih, Ta. Mama senang sekali bisa datang. Tiga hari yang lalu, mama ketemu teman lama, dan dia cerita tentang pernikahannya. Mama jadi ingat masa-masa saat dulu masih ada Papa."
Dengan ekspresi penuh empati, Tita menanggapi cerita yang diutarakan mertuanya itu. Tak lama, Chintia juga bergabung, membuat suasana menjadi semakin hangat dan ceria.
"Tia, gimana sekolahmu?" tanya Linda dengan lembut.
"Aman dong, Oma. Selama ada Mama Tita, semua aman terkendali. Hehehe." jawab Chintia ditutup dengan tawanya yang membuat Linda dan Tita ikut tertawa.
"Oma percaya, Tia. Mama Tita memang mama yang hebat dan keren! Makasih Ta, sudah menjaga Chintia dan Reno dengan baik."
Tita tersenyum malu, dan merasa terharu dengan pujian itu. "Aku cuma melakukan tugasku semaksimal mungkin, Ma."
Hari-hari telah berlalu, suatu pagi ketika Reno dan Chintia bangun, aroma sarapan yang menggugah selera memenuhi seisi rumah. Reno, yang sudah terbiasa dengan keahlian kuliner Tita, tersenyum cerah. "Pagi, sayang. Kamu selalu tau caranya membuat hari kami jadi bersemangat."
Suasana hati Chintia pun lebih ceria setelah sarapan, "Sarapan yang luar biasa, Mam! Makasih ya."
"Mama senang kamu suka sarapannya. Mama mau kasih tau kalian kalau sebentar lagi.. Chintia akan punya adik."
"Maksudnya Ta, kamu hamil?"
"Benar kata Papa, Mam? Mama lagi hamil ya?"
Tita pun tersenyum mengangguk, "Iya sayang! Mama hamil."
Kabar baik itu telah merubah hari-hari mereka menjadi kian penuh semangat. Hari-hari menanti kelahiran anggota keluarga baru dalam rumah itu menjadi momen yang sangat berharga.
Tak terkecuali Linda, beliau lebih sering berkunjung ke rumah mereka untuk sekedar memastikan Tita dalam keadaan baik-baik saja.
Hingga tak terasa waktu telah berganti, segala persiapan untuk calon bayi mereka juga telah rampung. Hari kelahiran pun telah tiba. Tita melahirkan bayi laki-laki yang tampan.
"Aku benar-benar bersyukur dan senang, kamu sudah melewati semuanya dengan baik Ta. Makasih sudah melahirkan anak ini untuk aku." ucap Reno seraya mengusap air mata di sudut matanya.
"Makasih, sayang! Kamu sudah mendampingi aku di sini."
Namun sayangnya, kebahagiaan mereka harus dirampas oleh kehadiran Luna, mantan istri Reno. Satu bulan setelah Tita melahirkan bayinya, Luna menculik bayi itu dan menjadikannya sebagai sandera. Luna akan mengembalikan bayi itu jika Reno mau kembali pada dirinya.
Sungguh dilematis, jelas Reno sudah tak ingin menerima Luna. Reno juga sangat mencintai Tita, sementara kini dia memikirkan nasib bayinya yang ada dalam kuasa Luna.
Tapi tak disangka, pada akhirnya hanya Chintia yang mampu meluluhkan hati dan menyadarkan ibu kandungnya, bahwa apa yang dilakukan beliau tidak benar.
Meski dengan berat hati dan penuh penyesalan, Luna mengembalikan bayi itu kepada Tita. Luna juga tidak memaksa lagi untuk Chintia ikut dengannya. Wanita itu menyadari bahwa dirinya bukanlah ibu dan istri yang baik di masa lalu.
Luna yang putus asa dan kalut, memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak banyak obat penenang yang tidak hanya membuatnya tenang sesaat, tapi juga untuk selamanya.
Jika tak ada Tita yang melindungi Chintia seperti ibu peri, mungkin kini Chintia sudah hancur saat mengetahui ibu kandungnya memilih mati dengan cara yang konyol.(*)