Schadenfreude berasal dari bahasa Jerman, yaitu schaden yang berarti kekerasan, dan freude atau kebahagiaan. Maka, secara terminologi, schadenfreude diartikan sebagai perasaan senang yang bisa didapat jika melihat orang lain susah.
Menurut peneliti Shensheng Wang dan Scott O, schadenfreude merupakan emosi umum manusia dalam berinteraksi.
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan identitas sosial dan pengakuan. Dalam hal ini, manusia tak dapat terlepas dari naluri kompetitif dan ambisius. Manusia dengan sifat ambisiusnya, dapat dengan mudah merendahkan orang lain bahkan sengaja membuat orang lain kehilangan muka.
Keberadaan manusia yang lemah atau berada di posisi menderita, sangat dibutuhkan bagi mereka yang butuh pengakuan. Karena pada saat itulah mereka yang butuh pengakuan akan terlihat lebih unggul, hebat atau superior dibandingkan orang-orang yang lemah tadi.
Ternyata, perilaku schadenfreude ini memang bersifat biologis dan berkaitan dengan reaksi emosional manusia. Di tahun 2013, tim riset dari Universitas Princeton, New Jersey melakukan pengukuran alat rekam listrik pada otot pipi sebagai objek penelitian.
Hasil riset tersebut mengungkap bahwa terdapat kemunculan aliran listrik saat melihat orang lain mengalami kesulitan. Yang artinya, otot penggerak senyum dan tawa justru lebih aktif saat melihat orang lain menderita atau sengsara. Apalagi jika yang dilihat adalah orang yang memang dibenci.
Meski perilaku ini bersifat biologis, pendidikan moral yang kuat sangat diperlukan bagi setiap manusia. Sebab sebagai makhluk sosial juga, manusia diharapkan untuk dapat hidup dengan saling tolong menolong. Sehingga dalam konteks moral, perilaku schadenfreude dapat dikatakan sebagai perilaku yang tercela bahkan buruk.
Dan dalam kaidah manusia sebagai makhluk yang berketuhanan, dapat kita yakini bahwa tak ada satupun agama yang mengajarkan manusia untuk bersikap senang ketika melihat orang lain susah.
Perilaku schadenfreude juga kerap berkaitan dengan perilaku yang disebut crab mentality, yaitu suatu kondisi di mana Anda merasa susah atau tidak senang saat melihat orang lain senang.
Disebut crab mentality sebagai suatu metafora dari kelakukan hewan kepiting, yang saat ditangkap dan disimpan di dalam ember berisi kepiting lain, ia tidak akan membiarkan kepiting lainnya lolos dari situasi tersebut. Saat salah satu kepiting berusaha untuk melepaskan diri, maka kepiting lainnya akan menahan dan menarik hingga kepiting tadi tidak bisa menyelamatkan diri.
Crab mentality kerap terjadi karena didorong oleh masalah emosional manusia yang cenderung memiliki sifat iri dan dengki pada orang lain. Serta rasa kompetitif yang terlalu tinggi di dalam diri.
Baginya, keberuntungan hanya boleh terjadi pada dirinya saja, sebab ia cenderung sangat egois. Berdasarkan penelitian mengenai perilaku manusia yang dijelaskan oleh National Library Of Medicine, dikatakan bahwa crab mentality terjadi karena rendahnya harga diri dan kepercayaan diri seseorang.
Secara logis, crab mentality dapat dihindari jika setiap manusia bersedia mengakui keunggulan orang lain, dan menjadikan pencapaian orang lain sebagai contoh dan pembelajaran. Serta tidak berusaha untuk mencegah orang lain memperoleh kesenangan.
Pada akhirnya, schadenfreude dan crab mentality adalah perilaku yang sama-sama bersifat biologis dan secara alamiah terdapat di dalam diri setiap manusia. Namun sifat alamiah ini dapat dikelola dengan baik, jika manusia mau berusaha untuk menerapkan setiap materi yang terdapat dalam nilai agama dan pendidikan moral yang baik.(*)
_______________________
Referensi :
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20240720121849-33-556272/alasan-sebenarnya-kenapa-senang-saat-melihat-orang-lain-susah
https://new.yesdok.com/id/article/susah-melihat-orang-lain-senang-simak-gejala-crab-mentality