Rintik hujan baru saja turun, bertepatan dengan kedua kaki Nivea yang melompat dari kereta kudanya. Sejenak ia terbawa dalam ingatan masa lalu. Saat pertama kali Matias menyeretnya untuk sama-sama bermain hujan.
Hanya lelaki itu satu-satunya, yang berani membuat dirinya mengenal hujan. Sebab sebelumnya tak ada yang berani menentang aturan keluarga Del Castano untuk menjaga putri semata wayangnya itu.
"Nyonya! Duke Eduardo menunggu Anda di ruang kerjanya." ucap Seri memecah lamunan Nivea di ambang pintu.
Wanita itu pun tersadar kemudian melanjutkan langkahnya menemui sang ayah. "Kau mencariku, Ayah?"
"Ya. Duduklah! Aku hanya... sedikit merindukanmu. Kau tampak sangat lelah, nak! Apa toko rotimu begitu ramai hari ini?"
Nivea menghela nafas. Di hadapan ayahnya, ia masih menyembunyikan pengkhianatan suaminya. "Benar Ayah! Kau tahu, toko rotiku memang selalu ramai." sebuah senyuman menutup kalimatnya.
"Ah, kalau begitu... bawalah Pamela bersamamu sesekali! Jangan sampai roti-rotimu mengalahkan perhatianmu pada gadis kecil itu."
Bagi Nivea Del Castano, malam ini benar-benar muram. Segala yang dirasakannya tak mungkin ia bagi dengan siapapun. Karena butuh ribuan kata untuk menyampaikannya. Dan ia tak sanggup merajutnya menjadi susunan kalimat.
"Istriku!"
Nivea membalikkan tubuhnya, bibirnya cukup terasa kaku untuk membuat lengkungan. Ia paksakan senyumnya setengah mati. "Kau baru sampai, Matias?"
"Ya, benar. Tuan Carlos memberiku banyak tugas hari ini. Apa kau juga baru sampai?"
Pertanyaan itu belum sempat terjawab, karena si kecil Pamela menyerobot di sela-sela kedua orang tuanya. Gadis itu tampak antusias. Malam itu pun berlalu seperti biasa, seolah hujan telah menyapu hati yang berkecamuk.
Hari berganti, pohon holly di balik jendela kamar Nivea tak berayun seperti kemarin. Namun sejuta titik embun itu tak mampu menghalangi Nivea untuk melangkah ke istana.
"Kau datang lagi, Nyonya?"
"Maafkan aku, Yang Mulia. Tapi kedatanganku kali ini untuk....."
Sebuah ketukan pintu memotong kalimat Nivea. Baginda Raja pun mempersilahkan pengawalnya masuk untuk memberi kabar bahwa pangeran George juga datang.
Setelah meminta persetujuan Nivea, maka Baginda Raja mengizinkan menantunya itu untuk masuk.
"Kebetulan sekali Anda datang, Pangeran. Aku harus mengatakan pada kalian bahwa... Yang Mulia tuan putri Nicole dilindungi oleh seratus penyihir hitam. Nona Eleanor yang mengatakannya padaku. Selama ini ia telah menyelidikinya."
"Apa hal itu ada kaitannya dengan para penyihir di Pulau Aurora?"
"Tepat Pangeran! Anda dan tuan putri harus kembali ke sana dan melakukan ritual pelepasan pada tanggal ganjil. Tapi kau, harus berhasil mengumpulkan seratus penyihir yang tepat. Ketika ritual itu berhasil, maka pusaran hitam yang menyelimuti suamiku akan memudar sendirinya. Maka pengkhianatan tuan putri dengan suamiku jelas akan berakhir."
Pangeran George dan Baginda Raja malah saling melempar pandang. Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh mereka, bahwa putri Nicole yang hatinya dipenuhi dengan ketulusan justru dilindungi oleh para penyihir hitam.(*)