Hari yang ku tunggu pun telah tiba, kini aku telah sampai di Korsel, tepatnya di kota Gwangju. Aku juga telah sampai di rumah seorang nenek yang mempekerjakanku sebagai pengasuh. Bukan untuk mengasuh beliau, tapi untuk mengasuh ketiga ekor anjing dan empat ekor kucing kesayangannya.
"Halmeoni" (baca: halmoni) begitulah aku memanggil nyonya Han So Yun. Tentu saja dengan persetujuan beliau, mana berani aku memanggilnya nenek sebelum beliau sendiri yang memintanya.
Akhirnya sudah sebulan tak terasa, aku tinggal di rumah halmeoni. Beliau juga menyewa jasa seorang pekerja rumah tangga untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, si bibi hanya datang di waktu pagi hari dan kemudian pulang saat semua tugasnya sudah selesai. Begitulah setiap harinya.
Hari ini kami akan kedatangan seorang tamu. Kata halmeoni, tamunya itu ialah cucu yang datang dari kota Seoul. Namun yang membuatku sungguh penasaran, kabarnya cucu halmeoni ini seorang lelaki yang memiliki darah Indonesia. Karena anak lelaki halmeoni menikah dengan perempuan Indonesia.
Matahari kian meninggi, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pagar. Aku yang sedang menemani para kucing bermain di halaman, bergegas menghampiri pagar untuk melihat siapa yang datang.
Seorang lelaki berperawakan tinggi, melangkah kian mendekati pagar. Wajahnya tak seperti kebanyakan pria Korea pada umumnya. Ia lebih mirip Tao Ming Tse, si tampan pentolan F4 dalam serial Taiwan Meteor Garden.
"Kamu... Karisa?"
"Hah? Oh... Iya." jawabku terbata, sepertinya aku tersihir oleh semesta.
"Aku Ryan. Cucunya halmeoni. Halmeoni udah cerita soal kamu. Aku juga pernah tinggal di Indonesia. Apa aku boleh masuk?"
"Hah? Boleh... Boleh, silahkan."
Aku lantas membukakan pagar kayu yang sejak tadi membatasi kami. Mungkin saat ini wajahku tampak seperti orang bodoh. Bagaimana tidak? Aku takjub mendengarnya berbahasa Indonesia dengan sangat fasih.
Dua bulan pun berlalu sejak Ryan berkunjung ke rumah halmeoni. Sejak hari itu kami bertukar nomor ponsel, hingga akhirnya kami jadi sering chattingan. Hari ini Ryan akan menjemputku, ia akan mengajakku berkeliling kota Seoul. Karena halmeoni memintaku untuk beristirahat sejenak dari pekerjaanku.
Awalnya aku ingin menolak, mengingat perjalanan dari Seoul ke Gwangju memakan waktu sekitar tiga jam jika berkendara dengan mobil. Tentu aku merasa sangat tidak enak pada Ryan. Tapi, karena Ryan mengatakan senang bisa mengajakku berkeliling, aku pun tak kuasa untuk menolak.
Oh ya, nama Korea Ryan adalah Kim Wo Jin. Itu karena ayah dan kakeknya bermarga Kim. Sementara usia Ryan empat tahun lebih tua dariku. Ia bekerja pada salah satu kantor stasiun tv swasta di kota Seoul.
Kini kami sudah duduk berhadapan di salah satu kafe, yang terdapat di distrik kota Seoul. Kami sedang menikmati makan malam, setelah hampir seharian kami bersama-sama mengelilingi kota yang indah ini. Kami pun melanjutkan berbincang setelah makanan kami habis.
"Bulan depan aku mau pulang ke Bandung."
"Hah? Serius?" tanyaku yang cukup terkejut.
"Ya. Aku kangen mama. Setelah papa meninggal, mama udah jarang ke sini. Jadi, aku yang harus pulang ke sana kalau mau ketemu mama."
Aku terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Sepertinya saat ini Ryan sedang berusaha membaca mimik wajahku yang sedikit menunduk.
"Kamu betah di sini?"
Aku mengangguk, "Harus betah. Aku kan kerja di sini, lagi pula halmeoni juga baik banget sama aku."
"Karisa, aku mau tanya sesuatu sama kamu. Boleh?"
"Hmm... Iya, mau tanya apa?"
"Apa kamu ngga keberatan kalau kita... berteman lebih dekat?"
"Maksudnya, Ryan?"
"Maksudnya kita... Apa ya namanya? Pacaran. Iya pacaran. Gimana?"
Aku tersedak oleh es kopi yang sejak tadi ku sedot sedikit demi sedikit, sambil mendengarkan Ryan berbicara. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Maka itu, ku akhiri saja kisahnya sampai di sini. Bagaimana, apa penggalan kisah tadi sudah cocok dijadikan naskah dalam sebuah novel? Aku ingin mencoba peruntungan di dunia menulis. Tampaknya, aku hanya perlu mengganti namaku dengan nama gadis lain. Nyatanya aku tetaplah seorang Karisa, rakyat jelata yang bekerja sebagai kasir sebuah minimarket di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Dan kisahku tadi hanya sebatas khayalan.
Belakangan ini, aku dilanda kejenuhan. Maka setiap ada waktu, aku mencoba untuk menulis saja. Hobi lama yang sempat ku tinggal sekian lama. Ingin rasanya aku dapat berlari sejenak dari rutinitas harianku. Menanggalkan semua beban pikiran dan tanggung jawab. Tapi apalah daya, aku harus kembali pada kenyataan. Melanjutkan hidup dan berjuang melawan kejamnya dunia.***