Sidang kasus tewasnya Brigadir Josua, mencapai tahapan akhir. Masyarakat semakin 'penasaran' terhadap 'ending' persidangan ini. Sebelumnya, persidangan kasus Brigadir Josua ini menampilkan pendapat-pendapat ahli. Setelah jaksa menampilkan keterangan ahli psikologi forensik yang 'dipakai' penyidik, pengacara Ricard Eliezer menampilkan saksi ahli meringankan yaitu tokoh agama, psikolog klinis dan psikologi forensik. Saya hanya akan membahas keterangan ahli dari psikologi karena sama keilmuannya dengan saya.
Adu keilmuan psikologi ini, memiliki persamaan saat persidangan kasus tewasnya Mirna (sianida) pada 2016. Persidangan Mirna juga disiarkan langsung oleh televisi. Kedua belah pihak yaitu pengacara Mirna (korban) dan pengacara Jessica (pelaku) menghadirkan ahli psikologi untuk melakukan pembelaan masing-masing. 'Perang' pendapat antar psikolog menjadi 'tontonan' menarik.
Inilah yang membuktikan bahwa perilaku manusia itu unik. Kita tidak dapat menyamakan individu satu dengan individu yang lainnya. Anak kembar identik saja, 'pasti' berbeda. Tanyakan saja pada ibu kandung yang merawatnya (atau _baby sitter_ nya) 'pasti' punya 'intuisi' membaca perbedaannya.
Persidangan kasus Brigadir Josua 'mungkin' menjadi tontonan yang paling ditunggu masyarakat. Diawali oleh adanya banyak kontroversi berupa rekayasa kasus diawal terungkapnya kasus yang sangat menggemparkan Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan hakim dalam memutus persidangan ini.
Kesaksian ahli dalam rangka meringankan terdakwa Ricard Eliezer 'terkesan' sekali sangat meringankan Ricard Eliezer. Teori relasi kuasa dan teori pembentukan kepatuhan _(obidience)_ Milgram menjadi dasar ahli untuk meringankan Ricard Eliezer. Digambarkan bahwa Ricard Eliezer sebagai seorang anak muda (dewasa awal) sedang menjalankan pembentukan kepribadian dari lingkungan kerjanya seperti pembentukan kepatuhan, cara berpikir, cara kerja, cara memahami 'perintah', cara mengambil keputusan dan perkembangan kepribadian lainnya. Intinya bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kepribadian individu sekarang dan di masa depan.
Berbicara mengenai keterangan ahli psikologi forensik, saya sampai kepada satu kesimpulan. Kesimpulannya adalah keterangan psikolog (forensik) memang dapat memberatkan dan meringankan terdakwa atau korban. Untuk itu, saya menyampaikan, sejatinya pihak korban dan pelaku dapat melakukan asesmen psikologi secara bersama-sama. Artinya semua data psikologi diperoleh secara bersama-sama namun diinterpretasi sendiri-sendiri.
Setiap psikolog memiliki 'subyektifitas' yang dibatasi oleh hasil alat tes yang dikerjakan seseorang dan metode-metode lain dalam melakukan interpretasi. Untuk perilaku menangis saja, psikolog punya interpretasi masing-masing. Apakah psikolog Ricard Elieser diberikan kesempatan melakukan asesmen terhadap perilakunya menangis ibu PC?
Pengalaman saat kita melakukan _second opinion_ dalam memastikan suatu penyakit terkadang dokter akan melakukan beberapa bahkan pengecekan ulang yang telah dilakukan pasien oleh dokter sebelumnya. Atau semua data pemeriksaan psikologi yang diperoleh oleh psikolog yang ditugaskan oleh penyidik 'diserahkan' kepada psikolog korban atau terdakwa lainnya dalam rangka melakukan interpretasi.
Dari persidangan tersebut, saya yakin ada alat tes yang sama yang diberikan yaitu IST atau CFIT (tes kecerdasan), MMPI dan tes proyeksi (gambar orang, gambar pohon, gambar rumah pohon  orang, dan wartegg). Selain itu juga, psikolog kedua belah pihak melakukan anamnesa (wawancara) kepada yang bersangkutan (autoanamnesa) dan kepada orang-orang dekat yang bersangkutan (alloanamnesa).
Akhirnya memang akan terjadi psikolog (forensik) yang meringankan dan atau memberatkan saksi atau terdakwa. Mengapa terjadi? Menurut saya, karena adanya 'subyektifitas'. Saya yakin semua profesi tidak dapat meniadakan subyektifitas.
Salah satu untuk mengatasi subyektifitas adalah menggunakan _multy tools_ dan _multy psikolog_. Selain itu cara mengurangi subyektifitas adalah melalui pemahaman dan pelaksanaan kode etik profesi.
Kita (sebagai manusia) tidak dapat lepas dari 'first impression' (kesan pertama). Pengalaman kehidupan membuktikan bahwa sering terjadi 'ketidakadilan' akibat kesan pertama.
Menurut saya, semua dasar teori dan pendapat yang disampaikan oleh ahli psikologi, merupakan dasar teori ketrampilan psikolog secara umum, bukan hanya psikolog klinis dan psikolog forensik. Teori Milgram memang dipelajari psikologi sosial dalam memahami dan membentuk perilaku 'patuh atau taat'.
Ketaatan atau kepatuhan seseorang akan selalu terjaga apabila ada otoritas didekatnya atau yang dilihatnya. Itulah sebabnya, berdirinya Polantas di jalan, mampu membuat pengguna jalan raya 'taat' (takut). Itulah sebabnya dibuat patung polisi yang 'hanya berpengaruh' kepada pengguna jalan yang baru sekali melewati jalan tersebut. Akan tetapi, pengguna jalan yang sering melewati jawan tersebut, pastilah berpikir "Ah, itu cuma patung". Taatkah dia?
Tampilan atribut dan pakaian dinas lengkap merupakan salah satu cara untuk menambah efek 'ketaatan'. Kepribadian orang juga dapat mempengaruhi 'ketaatan' seseorang.
Sama halnya kecerdasan berpikir, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual juga saling mempengaruhi di dalam diri seseorang. Itulah sebabnya kita tidak dapat memastikan seseorang itu akan 'taat' kepada kita. Pembantu atau ART 'taat' kepada kita itu karena benar-benar dari hatinya atau karena takut dimarahi bahkah diberhentikan?
Dari uraian di atas, saya ingin menyampaikan bahwa psikologi (forensik dan klinis) merupakan ilmu yang dapat menjelaskan perilaku manusia atau seseorang. Ketika ilmu itu digunakan di lingkungan atau ranah hukum dengan sedirinya diistilahkan sebagai psikologi forensik. Tujuannya membuat terang latar belakang perilaku korban, saksi dan tersangka dalam suatu kejadian tindak pidana.
Selamat datang psikologi (forensik).
Jumat, 27 Desember 2023
Novian Pranata, psikolog