Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Rocky Gerung dan Groupthink

28 Agustus 2023   14:34 Diperbarui: 28 Agustus 2023   16:54 200 0
ROCKY GERUNG DAN GROUPTHINK

Penampilan pertama Rocky Gerung (RG) dalam sebuah diskusi di salah satu televisi sangat menarik perhatian saya. Sebagai psikolog, saya melihat ada beberapa perilaku yang unik. Sebagai wakil dari Peneliti Perhimpuan Pendidikan Demokrasi, RG memulai dengan kalimat: "Saya ingin berselisih dengan pandangan sebelumnya ...". RG menggunakan kata 'berselisih' bukan menggunakan kata 'berbeda pendapat'. Beberapa saat kemudian RG menyampaikan: "Sorri, suara saya agak batuk ...". Kata batuk untuk menggantikan kata 'serak'. RG mengenakan sweater yang dikalungkan di lehernya dengan kedua bagian tangan sweaternya menggelantung di dada kiri dan kanannya.

Tampak sekali, RG masih berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan diskusi di telivisi saat itu yang disiarkan secara 'live'. Gugup, grogi mungkin merupakan kesimpulannya. Tetapi, kata yang digunakan RG untuk 'berselisih' merupakan suatu 'keberanian' tersendiri di tengah kehidupan yang tidak mau 'berselisih'.

Selanjutnya setelah itu, dalam setiap diskusi live di televisi maupun off air (yang dapat dilihat melalui channel youtube), RG tampil 'memukau' (bagi 'pengagum'nya termasuk saya) dan tampil 'menyebalkan' (bagi 'pembenci'nya). Sampai ada istilah ‘No Rocky, No Party. Peserta diskusi lain 'seakan' tidak mau melepas 'mic' nya, saat RG menyampaikan pandangannya karena langsung ingin 'mengcounter'nya. Tampak sekali RG terkadang memberi kesempatan kepada 'lawan' diskusi untuk langsung menanggapi.

Suasana diskusi terkesan 'panas' jika RG menjadi panelis atau pembicara. Tidak heran keluar kata 'Badut'  atau "Saya profesor beneran ..." atau "Kamu siapa? Cuma nyari panggung saja", dan lain sebagainya, dari peserta/panelis lain. Timbul kesan peserta/panelis tersebut terbawa emosi diri masing-masing.

Saya 'menangkap' RG sangat menikmati 'berselisih' dengan peserta diskusi. Dengan 'berselisih', tanpa sadar peserta harus menyiapkan diri dengan argumen-argumen yang bernuansa akademis. Dengan 'berselisih' RG membawa kepada wawasan dan pandangan baru. Saya menganggap RG sebagai 'perpustakaan berjalan' atau 'buku berjalan' yang mampu menyampaikan pemikiran 'oposan'  dalam setiap diskusinya dengan menggunakan pendapat ahli dan bukunya.

RG mampu menjelaskan asal usul suatu konsep bahkan suatu 'kata'. Inilah dasar dari yang dipelajari oleh ilmu filsafat. Saya sebagai psikolog saja masih sering mengalami kesulitan dalam memahami 'silogisme' yang merupakan salah satu dasar untuk memahami fenomena.

Menurut saya, salah satu pernyataan RG yang disampaikan dalam ILC , 13 Agustus 2019 dengan topik #AniesdiBully, menjadi kenyataan. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan selalu 'dibully' sehingga menjadi topik bahasan di ILC. “Kita buat percobaan. Misalnya tiba-tiba Nasdem secara radikal mencalonkan Anies Calon Presiden 2024. Ahok adalah Wakil Presidennya. Kita pikir berhenti itu, bullying itu". Kenyataannya Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024 pada Senin 3 Oktober 2022.

RG merupakan mantan dosen di FIB UI. Dirinya juga merupakan aktivis yang ikut berdemo saat menurunkan rejim Orde Baru. Seorang aktivis terbiasa untuk membaca buku, terbiasa untuk menjadi 'oposan' dan terbiasa 'berdemo'.

Sikap dan perilaku aktivis yang 'oposan' terlihat sekali dalam diri RG. Ketika dirinya 'dinyatakan' (oleh pendukung Jokowi, padahal pengakuan RG tidak mendukung Prabowo) sebagai pendukung Prabowo menjelang Pemilu 2019, maka RG mengeluarkan pernyataan: "Apabila Prabowo dilantik menjadi Presiden pada 2019, maka 10 menit setelah itu saya menjadi oposisi!".

Saat ikut kegiatan kemahasiswaan saat kuliah dulu, saya menyadari bahwa pemikiran aktivis sejatinya 'selalu' oposan dengan penguasa. Menurut saya, kondisi ini tidak perlu dipermasalahkan. Sejatinya seperti itu, karena dengan sendirinya mahasiswa (aktivis) mencari referensi (kata, buku, jurnal, dll) untuk 'me-negasi-kan' pandangan pemerintah. Ada anekdot 'saat menjadi aktivis memakai sandal jepit dan kaos oblong, namun saat sudah menjadi 'bagian pemerintah' memakai sepatu, kemeja dan jas'. Ya begitulah dinamika pergerakan aktivis.

Kita dapat melihat dari aktivis-aktivis yang 'meruntuhkan' Orde Lama. Mereka banyak yang menjadi Menteri di jaman Orde Baru, yang akhirnya mereka juga merasakan 'didemo' saat mereka menjadi bagian pemerintahan, ketika rejim Orde Baru 'dijatuhkan'. Dunia selalu berputar, namun sampai saat ini RG tetap menjadi aktivis dan 'oposan' untuk setiap pemerintahan.

Begitu pentingkah menjadi 'oposan'? Pemikiran-pemikiran oposan yang dilakukan oleh aktivis (termasuk) RG, sejatinya merupakan asupan yang baik dan 'gratis' bagi pemerintah. Terlihat sekali dalam 'menjelaskan', RG tetap menggunakan data-data dan pernyataan dari pemerintah. RG menyampaikannya dari sudut 'oposan'. Apabila terjadinya misinterpretasi, saat itulah sejatinya pemerintah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Setiap K/L memiliki bagian Kehumasan yang sejatinya diisi oleh 'pegawai' yang minimal sekelas RG dalam bacaan dan wawasan.

Tidak perlu lagi dalam berdiskusi mengeluarkan kata: "Itu hoax" atau "Itu memprovokasi" atau "Itu menurut RG atau Bapak itu" atau "Bapak tu siapa?". Jelaskan saja dengan data secara sistematis. Percayalah bahwa yang senang duduk berjam-jam menonton dan mendengarkan diskusi di televisi adalah mereka yang mempunyai kemampuan intelektual dan pemahaman yang tergolong rata-rata ke atas. Mereka ini sudah mampu berpikir dan memahami dengan baik isi dari diskusi.

Mengapa ‘oposan’ perlu? Dalam psikologi sosial, salah satu yang dibahas adalah tentang kelompok, cara berpikir kelompok dan cara mengambil keputusan. Dikenal suatu istilah yaitu groupthink. Mengutip chatgpt, groupthink adalah kecenderungan sekelompok orang untuk berkonformitas dengan pendapat atau keputusan yang konsensus, sering kali dengan mengorbankan pemikiran kritis dan penilaian individu. Ini dapat menghambat pemecahan masalah secara kreatif dan mengakibatkan keputusan yang buruk karena adanya tekanan untuk mencapai kesepakatan mutlak dalam kelompok. Penting untuk mendorong berbagai sudut pandang dan dialog terbuka untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap groupthink.

Groupthink ini dijelaskan dengan menggunakan fakta Invasi Teluk Babi (1961), penyerbuan yang didanai pemerintah AS (JF Kennedy dari Partai Demokrat) ke Kuba untuk menjatuhkan pemerintahan Fidel Castro. Invasi ini gagal. Kennedy menjadi 'bulan-bulanan' kritik Partai Republik.

Kegagalan upaya invasi ini telah dianalisis sebagai kasus ideal tentang groupthink dan pengambilan keputusan yang buruk. Invasi ini gagal karena kurangnya pertimbangan kritis terhadap rencana dan pengambilan risiko yang tidak memadai. Oleh karena itu, mengenali dan mengatasi groupthink sangat penting dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan efektif.

Groupthink terjadi dalam suatu kelompok yang tidak mengenal dan tidak mau mengenal 'kekritisan' anggota kelompoknya. Hal ini dibarengi rasa 'sungkan', tidak berani bahkan sangat takut' untuk 'berbeda' pendapat dan pandangan dari anggota kelompoknya. Dibarengi juga dengan internalisasi primordialism. Dulu dikenal dengan Asal Bapak Senang (ABS).

Menurut saya, kondisi groupthink terjadi di jaman Orde Baru. Karena saya kuliah di masa Orde Baru, saya teringat bahwa begitu 'tidak mengesankan' bahkan 'memuakkan' pernyataan: "Menurut petunjuk Bapak presiden, ...". Pernyataan ini menjadi bahan 'olok-olokan' saat itu.

Tanpa sadar groupthink mengajarkan untuk mempertahankan comfort zone. Apalagi dibarengi dengan kalimat: "Karena kamu yang memberi saran maka kamu sebagai PICnya". Akibatnya peserta rapat 'malas' bersuara dan berpikir kritis karena akan ada beban tugas tambahan. Apalagi bagi orang yang sudah ‘mager', yang sudah cukup puas dengan kehidupan saat ini, yang 'takut' terusik kemapanannya.

Ada istilah 'ganti kepemimpinan, ganti juga kebijakan'. RPN atau RPD atau Road Maps akan dengan mudah ‘menyesuaikan' (menggantikan kata 'tidak dianggap') suatu kebijakan pimpinan baru. Oleh sebab itu, kita sulit sekali melihat continuity dan sustainable suatu kebijakan. Oleh sebab itu, kita hanya dapat mengetahui dan menilai kebijakan seorang pemimpin itu benar atau tidak, baik atau tidak dan bermanfaat atau tidak, saat pemimpin itu tidak lagi menjabat.

Menurut saya, untuk mengatasi groupthink ini, perlu pemikiran 'oposan' dan 'dari oposan'. Hal ini disebabkan karena internal sulit memberikan pemikiran yang kritis bahkan 'oposan'. Pemikiran ‘oposan’ seperti RG sejatinya diterima dengan 'lapang otak' dan 'lapang dada'. Tidak perlu sakit hati atau 'jauhkan' ketersinggungan dalam diri masing-masing. Seperti kata RG 'kedepankan argumen, singkirkan sentimen'.

Ketika kita marah atau tersinggung dengan pernyataan, perkataan atau argumen orang lain dalam diskusi bahkan dalam kondisi apapun, tanpa sadar kita mengakui ada 'rasa' dari perkataan orang tersebut. Jangan kedepankan 'rasa', kedepankanlah 'rasio'.

Oleh sebab itu, saya tidak boleh 'dungu'.

Minggu pagi, 27 Agustus 2023
Novian Pranata, psikolog

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun