Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Anu

31 Oktober 2013   15:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:46 114 0

Berbicara tentang diriku, aku tidak sempurna. Fisikku tidak genap. Dengan hanya berkaki sebelah kanan, dengan tangan yang berjari mirip sirip ikan, dan dengan tubuh yang lebih menyerupai lontong.

Dari semua ketidaksempurnaan fisik yang kumiliki, satu-satunya yang nampak normal adalah “anu-ku”. Karena kondisinya masih taat aturan alam dan kodratku.

Mungkin karena hal inilah perawanku begitu menyayangi ku, bahkan dia rela berlaku bodoh dengan tetap setia berada di dekatku. Bahkan mengikhlaskan diri terikat janji sehidup semati.

Dirinya kerap di anggap bodoh. Karena sukarela mengabaikan cibiran beberapa bahkan ratusan pasang mata. Bahkan mengacuhkan monolog-monolog kampungan yang menurutnya picik dan penuh aroma dengki.

Namun bagiku sendiri ocehan mereka – mungkin - karena rasa cemburu. Sebab mereka tidak bisa mempersunting perawan cantik nan ranum. Mereka terusik oleh ketidaksempurnaan fisikku namun ber-anu- sempurna. Mereka terganggu oleh wajah perawanku yang selalu tampak berseri seusai kita bersatu di waktu-waktu khusuk. Mereka juga merasa tersingkir, manakala dengan adzan aku komatkan saat menjadi imammu.

&&&

“Dinda, apakah kau pernah menyesal memilih hidup denganku ?” Tanyaku disuatu malam yang hening seusai keringat kita saling bertukar tempat.

Dari keremangan cahaya, tiada jawaban yang meluncur dari bibir ranumnya. Bibir yang kerap aku cecap dengan hasrat lelakiku. Bibir yang (juga bodoh) mau saja mendaratkan kecupan-kecupan hangat di sekujur tubuh tak sempurna ini.

Tak ada jawaban “Iya” atau “Tidak” kudapat. Namun pelukannya makin erat, dan aku sadari ternyata aku sudah berada dalam gulungan kulit lembutnya.

Aku bahagia terlahir seperti “lontong”. Karena hal tersebut, aku menjadi sosok yang berani menghadang ketidaksempurnaanku.

“Ah..persetan dengan celoteh tidak berguna itu” Rutukku dalam hati, sesekali geramku muncul mendengar celoteh pedas mereka.

&&&

Seiring waktu yang berjalan. Aku masih saja sama, tidak sempurna. Namun “anu-ku” makin sempurna.

Karena pada ladang rahimnya, pada bibit yang kusemai setiap waktu, akhirnya menunjukan buahnya.

Apakah aku bahagia ? Tidak. Aku tidak berbahagia. Dasar bodohjika ada pertanyaan seperti itu meluncur dari mulut seseorang.

Tentu-lah aku bahagia.

Seperti malam terdahulu, kali ini aku ajukan lagi pertanyaan yang nampak sama bodohnya, padanya.

“Dinda, apakah kau bahagia, bersamaku ?” Tanyaku. Dan tanganku menelusup dibalik gaun tidurnya. Mengelus lembut gundukan kenyalnya yang begitu aku puja keindahannya.

“Plak” Sebuah tamparan telak aku dapatkan.

“Kau…kenapa selalu bersikap bodoh, sudah cukuplah kebodohan yang mengikutimu selama ini.” Nadanya ketus.

Aku hanya terpana, tanganku refleks melepaskan gundukan itu dan menariknya keluar. Menatapnya tak percaya, karena inilah kali pertama peawanku bersikap begitu padaku.

“Dinda..kenapa?! Adakah yang salah dengan pertanyaan yang kau anggap bodoh itu” Tanyaku dengan tatap mata cengeng seperti banci yang kehilangan waktu onaninya.

Tiba-tiba pagutan liar mengkoloni bibirku. Lidahnya bermain liar pada setiap rongga mulutku.

“Aku mencintaimu karena kamu mirip lontong. Aku mohon tetaplah menjadi begini, agar kita terus bersama” pintanya.

“Dan jangan pernah lagi mengucapkan pertanyaan yang menjijikan itu padaku” Lirihnya dengan lembut menggoda.

Tatapan cengengku perlahan memudar. Dan berubah menjadi tatapan jalang seekor kucing yang melihat seonggok ikan segar. Memerah dan mengeong.

“Arghhh… Dinda..betapa aku menginginkanmu sedari dulu, kini bahkan hingga mati.”

“Aku pun demikian adanya, Sayang. Terutama inginkan “anu-mu” untuk tetap sempurna, menutupi kekurangan fisikmu.”

Waktu-waktu malampun terlewati dengan banyak kisah berpeluh.

&&&

Aku kerap bercermin, memperhatikan betapa buruknya fisik ini. Mulai dari anggota tubuh paling atas hingga paling bawah, kuperhatikan dengan seksama. Tidak sempurna. Tidak normal. Tidak bagus.

Tanganku kini menyusuri sesuatu yang berada tepat di antara tulang selangkanganku, adalah “anu-ku”. “Sempurna” batinku puas.

Ya..ya..ya..pada akhirnya aku mengerti bahwa cinta dan kepuasan seperti dua sisi mata uang. Saling terkait.

Rupanya bagi sebagian orang sebuah cinta juga membutuhkan campur tangan kepuasaan “anu” didalamnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun