Warna kulitnya yang kekuningan lambat laun mulai seirama dengan warna coklat usang yang mengelupas.
Sedari tadi perempuan itu hanya duduk termenung, sepertinya gravitasi bumi sudah berhasil menancapkan kaki-kaki jenjangnya untuk diam tak bergeming. Jangankan bergerak untuk sekedar merubah posisi kakinya sajapun tidak. Padahal aliran darahnya sudah mengugat bahwa beberapa kantong yang berisi cairan kental pekat bewarna merah sudah membengkak penuh.
“Kamu, harus belajar membebaskan hatimu dari segala rupa tentangku. Ibarat bulan purnama, keputusanku sudah berbentuk bulat penuh. Jangan kau anggap istimewa lagi, puisi-puisi yang beranak pinak dari bibirku, sebab itu mungkin kutujukan bukan untukmu lagi”
Di pijitnya kening yang nampak rapuh itu, mungkin jika Tuhan tidak menciptakan perekat yang luar biasa lekat, sudah di pastikan kening perempuan itu akan carut marut oleh pijitan-pijitan gelisah bercampur gusar.
Ucapan lelakinya begitu lincah menari di dalam mebran otaknya. Geraknya rancak seirama kenangan yang mengalir deras. Turun dari otak, menuju ke kening lalu luruh pada kedua bola mata serupa gerimis.
Bukan tanpa usaha perempuan itu menahan ucapan lelakinya. Bahkan beribu surat permohonan berisi kata-kata sesembahan sudah melayang sejak perempuan itu menyadari ada yang harus di selamatkan dari sebuah ke-egoan, adalah KITA.
Kita, ya..KITA. itulah yang tengah di perjuangkan perempuan itu, terlepas dari rasa sakit yang katanya kerap mendera, terlepas dari rasa bersalah yang katanya hasil dari penumpukan-penumpukan kesalahan tanpa ampun, terlepas dari katanya bahwa sebuah hubungan bukanlah episode opera sabun.
Tapi nihil, surat permohonan yang telah di bubuhi stempel sebuah ungkapan bahwa semua akan baik-baik saja rupanya berbalas dengan ucapan “Lupakan agar menjadi lebih baik”
Kali ini, kedua jemari perempuan itu terarah pada wajahnya yang merona warna murung. Mengusapnya dengan gelisah dan letih “Ah..”
Sekarang, kaki yang sedari tadi duduk bersilang kini mulai berubah posisinya, terdengar sorak riang aliran
darah di antara jenjang kakinya.
Tubuhnya melorot, seolah kekuatan hukum fisika tentang gravitasi bumi tidak bisa menyelesaikan keseimbangan tubuhnya.
Lagi-lagi, di usapnya wajah yang merona murung itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
“Pada simpul keberapa lagi ikhlasku akan selesai? Sementara ruang yang bernama kesepian sudah tak memiliki lagi sekat untuk menampung perih ku. Ku sangka-kan, dengan menyimpulkan beberapa helai di ikhlasku mencintaimu. Kita akan berahkir baik-baik saja. Baik-baik yang sebaik-baiknya tanpa mengada-mengada. Tapi ya sudahlah, yang kutahu sebuah rasa cinta bukan sesuatu untuk diminta layaknya pengemis mengharap sedekah dari orang lalulalang. Sebuah cinta itu datang seperti nama-nama hari, ada hari Minggu, Senin, Selasa dan seterusnya. Cinta pun datang seumpama hujan, bisa datang kapan saja walau tanpa mendung dan guntur atau petir.”
Perempuan itu kini beringsut berdiri, di biarkannya kelopak mawar yang sedari tadi di genggamnya luruh mencium bumi kemudian diinjaknya. Wajahnya semurung budak yang di hardik tuannya.
Setangkai mawar tidak akan mampu hidup selamanya bila sudah terlepas dari tangkainya. Sama halnya dengan kata-kata perpisahan yang di ucapkan lelakinya.
Bila hati sudah berpaling, mudah, kah, merengkuhnya kembali dalam rangkuman mahligai sebuah janji ?
Dan pantaskan membuat berhala baru bagi diri sendiri, yaitu hati yang tidak bisa menerima perpisahan.
Sehingga sepanjang waktu hanya di isi oleh ratapan kesia-sia-an belaka.
Sepasti tenggelamnya surya di ujung kalam nan jingga, punggung perempuan itu pun menghilang di balik pintu.
Perempuan itu…