Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sebuah Frasa

24 Oktober 2014   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:51 66 3

"dari sayap-sayap burung kecil itu
berguguran sepi, sepi ku
saat terhenti di sebuah taman kota ini
daun jatuh di atas bangku, bagai mimpi
di antara datang dan suatu kali pergi
beribu lonceng berbunyi
kekal sewaktu bercakap kepada hati
lalu kepada bumi. Disini aku menanti"

-Sebuah Taman Sore Hari-


(Sapardi Djoko Darmono)

***

Di ceritakan alkisah seorang perempuan yang saat ini lebih memilih untuk mencintai aroma tanah basah selepas hujan.

Daripada harus memejamkan mata kemudian pada pelupuknya tergambar kisah kenangan, yang makin tawar dan jauh dari rasa manis.

Rupanya, waktu yang kian berkarat sudah mengenyahkan sejuknya pagi, yang mengingkari dirinya sendiri.

Lantas, bagaimana sebuah rindu di pagi hari akan merekam jejaknya sendiri bila kini tak bertuan ?

***

Kerap kali bertanya, andai saja sebuah rindu bisa di olah dalam secangkir kopi pahit yang sudah bercampur manisnya gula, tentu perempuan itu tak akan merasa bak di rejam rindu tak bertuan.

Gerimis yang dulu pelan-pelan membuatnya jatuh cinta pada lelakinya, kini sudah menyaru sebagai badai yang angkara.

Kini, perempuan itu hanya bisa menunduk murung, ada yang harus diakhiri walau sebenarnya takkan pernah berahkir.

Berlembar-lembar sajak yang dulu di tulisnya, kini menjadi lembab termakan duka cita nya

Sajaknya kini berupa sunyi, yang tersusun dari ribuan hening dan jutaan diam. Sejak ingatannya memilih untuk membisu, dari sebuah kisah.

Hanya jari-jemarinyalah yang terus asik, menorehkan kisah kecewanya pada dinding-dinding waktu.

Konon menurut cerita, perempuan itu tak pernah ijinkan lagi indra pengingatnya untuk berfungsi dengan baik.

Membiarkan saja semua yang dirasakan mengalir, membuatnya merasa lebih baik. Daripada terucapkan namun semua terabaikan tanpa alasan.

Dan daripada tak terbalas dan terabaikan, maka perempuan itu menjadikan kisahnya menjadi frasa sunyi.

Jadi, pada sudut mana lagi perempuan itu harus meletakkan rasa rindunya. Pada trotoar yang pilu, kah ? Atau pada lampu-lampu jalanan nan redup pilu, yang sinarnya begitu karib meremang merupa siluetmu.

***

“Kau,

Tahukah kau yang bukan milikku lagi, bahwa rindu ini sudah mengejang begitu hebat. Tangan dan kakinya mengapai-gapai resah. Mencari jalan demi memecah rahim risaunya penantian.

Bagiku, berjauhan darimu laksana rumi tanpa tariannya, bisakah ?”

Duh, lelaki, penikmat kopi.

Haruskah perempuanmu mempusarakan rindunya pada gigil-gigil malam yang getas ? Kemudian membaringkannya perlahan-perlahan tepat searah matahari tenggelam.

Lantas menaburinya dengan helaian kelopak-kelopak kenangan kalian yang sudah mengabu-abu. Kemudian menandainya dengan nisan bertuliskan kekecewaan milik kalian.

Apakah nampaknya, di sini. Di tempat ini. Kenangan kalian sudah memilih sendiri pembaringannya yang terahkir.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun