Dua puluh tahun setelah film Nagabonar ditayangkan, tahun 2007 Deddy Mizwar kembali memproduksi sekuelnya. Kali ini Deddy Mizwar memberi judul filmnya dengan Nagabonar Jadi Dua. Seperti film pertamanya, film kedua ini pun berhasil menjadi film terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2007. Untuk menyegarkan kembali ingatan penonton terhadap film Nagabonar yang pertama, Deddy Mizwar pun kembali menayangkan film itu di bioskop Indonesia pada pertengahan 2008. Penonton pun membludak. Walaupun diproduksi puluhan tahun silam, film Nagabonar itu tetap menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya kalangan dewasa yang bernostalgia, para remaja belasan tahun pun ikut ramai menyaksikan film yang telah diproduksi jauh hari sebelum mereka lahir.
Film Nagabonar ini merupakan salah satu contoh film yang sukses meraih perhatian masyarakat Indonesia. Saat ini, puluhan film lainnya juga turut menuai sukses menarik perhatian banyak orang di negeri ini. Sebut saja film Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, Eiffel I’m in Love, Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku hingga film fenomenal Ayat-Ayat Cinta. Bahkan, film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi juga ditonton oleh Presiden SBY dan beberapa pejabat tinggi negeri ini.
Menurut Yan Widjaja, pengamat sekaligus kritikus film, kesuksesan film Indonesia saat ini bukan berarti berjalan mulus tanpa hambatan. Jika menoleh ke belakang, industri film Indonesia telah melalui jalan yang berliku dan mengalir layaknya pasang surut air laut. Yan menambahkan, jauh sebelum negeri ini merdeka, masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal film.
HM. Johan Tjasmadi dalam bukunya yang berjudul “100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000)”, menjelaskan bahwa film masuk ke Indonesia sejak tahun 1900. Pada masa itu, film yang ada merupakan gambar hidup tak bersuara. Tahun 1903 mulai muncul bioskop-bioskop di beberapa kota besar di Indonesia. Film-film yang berkembang pada masa itu merupakan film bisu yang diproduksi di luar negeri, Hollywood dan juga China. Namun, bioskop-bioskop yang ada masih diperuntukkan untuk pejabat Hindia Belanda dan beberapa bangsawan pribumi.
Perkembangan industri film tanah air mulai terlihat ketika di Bandung diproduksi film Loetoeng Kasaroeng. Film Loetoeng Kasaroeng merupakan film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Loetoeng Kasaroeng disutradarai oleh dua orang warga Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi. Produksi film ini juga didukung penuh oleh Wiranatakoesoemah V, Bupati Bandung pada masa itu.
Dalam buku karangan HM. Johan Tjasmadi itu, dijelaskan juga bahwa kesuksesan produksi film Loetoeng Kasaroeng mulai membangkitkan semangat penduduk pribumi terhadap film. Walaupun belum banyak berkembang, namun setidaknya puluhan film sudah mulai diproduksi di tanah air. Sebagian besar film yang diproduksi berasal dari cerita dan legenda masyarakat. Bahkan, etnis Tionghoa pun turut serta memproduksi film yang bercerita tentang legenda rakyat di China. Awal tahun 1930, bioskop Indonesia mulai dipenuhi oleh film berbicara. Puluhan film produksi Hollywood mulai masuk ke pasar Indonesia. Hal ini mengakibatkan beberapa tahun kemudian, film bisu sudah tidak lagi diproduksi.
Rentang tahun 1930 hingga 1940, perkembangan film di Indonesia semakin meningkat. Beberapa perusahaan film seperti Java Industrial Film dan Cino Motion Picture, mulai giat memproduksi film dalam negeri. Kemunculan bioskop pun semakin meningkat. Bahkan, dalam rentang waktu ini, puluhan judul fim dalam negeri sudah beredar di bioskop. Genre film pun sudah semakin berkembang, mulai dari legenda rakyat, aksi laga, percintaan, hingga tema keluarga.
Dalam buku tersebut, Johan juga menjelaskan bahwa tahun 1940 hingga akhir 1949, film Indonesia mengalami kemunduran. Hal ini dipicu oleh suasana perang Dunia ke-II dan juga berpindahnya kekuasaan atas Indonesia dari Belanda ke Jepang. Masa penjajahan Jepang, film di Indonesia tidak berkembang bebas. Jepang melakukan pengontrolan ketat terhadap produksi film. Beberapa industri film pun dibubarkan. Selama penjajahan Jepang, film dijadikan salah satu sarana untuk propaganda mendukung kekuasaan Nippon di Asia Raya.
Yan Widjaja menjelaskan, tahun 1950 menjadi pertanda kebangkitan awal film Indonesia. Pada awal periode ini, film Indonesia sudah semakin berkembang. Pada tahun ini pula muncul nama-nama sineas tanah air seperti Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan juga Nja Abbas Acup. Salah satu sineas tersohor pada masa itu ialah Usmar Ismail. Nama Usmar Ismail dikenal karena berhasil memproduksi film “Darah dan Doa”, film pertama yang diproduksi secara penuh oleh orang Indonesia. Bahkan yang lebih menarik, hari pertama syuting film Darah dan Doa ini, 30 Maret 1950, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Dekade 1950 hingga tahun 1960, perkembangan film Indonesia semakin meningkat. Film-film Indonesia sudah banyak menguasai pasar bioskop dalam negeri. Bahkan, pada tahun 1955 diadakan Festival Film Indonesia (FFI) . Pada FFI yang pertama ini, film garapan Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, tampil sebagai pemenang dengan meraih gelar sebagai film terbaik.
Rentang waktu 1960 hingga 1970 menjadi masa yang berat bagi film Indonesia. Pergolakan politik dalam negeri mempengaruhi perkembangan film tanah air. Keberpihakan media pada situasi politik juga turut serta menyeret film dalam arus propaganda massa. Pada masa ini film-film garapan anak negeri sarat ditunggangi oleh kepentingan politik. Persaingan antar organisasi kebudayaan pun turut serta memecah belah pelaku industri film. Perseteruan yang hebat terjadi antara Organisasi kebudayaan PKI, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dengan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang pro terhadap pemerintah. Organisasi pekerja film dan persatuan artis pun ikut dipecah belah oleh dua kekuatan besar ini. Alhasil, produksi film pada masa itu banyak mengalami kendala dan hambatan.
Dekade 1970 hingga 1980 menjadi titik tolak untuk bangkit kembali bagi film Indonesia. Pada rentang ini mulai muncul sineas berbakat seperti Teguh Karya, Syuman Djaya, Arifin C. Noer dan Wim Umboh. Menurut Yan Widajaya, wartawan senior dan pengamat film, pada dekade ini muncul film-film Indonesia yang cukup berkualitas. Film-film itu antara lain, Pengantin Remaja (1971), Si Doel Anak Betawi (1973), Cinta Pertama (1973) dan Badai Pasti Berlalu (1977). Yan menambahkan, film-film Indonesia pada dekade 1970 ini berhasil menguasai pasar perfilman tanah air. Minat masyarakat untuk menonton film pun semakin bertambah.
Memasuki era 1980, Rano Karno menjadi bintang idola berkat Gita Cinta dari SMA (1979). Selepas sukses Gita Cinta, Rano Karno dan Yessy Gusman mendominasi film-film remaja awal 1980-an. Yan menjelaskan, berkat kesuksesan Gita Cinta pula, Banyak sineas lain juga turut memproduksi film tentang kisah cinta remaja. Di awal 1980-an, film horror juga digemari. Dalam Katalog Film Indonesia ditulis bahwa Nyi Blorong (1982) yang dibintangi Suzanna, menjadi salah satu film yang laris ditonton pada masa itu. Film laris lainnya antara lain Arie Hanggara (1985) dan film-film yang dibintangi pelawak Dono, Kasino, Indro. Tidak hanya itu, film si Raja Dangdut, Rhoma Irama juga menjadi box office di pasar film Indonesia sejak era 1970 hingga awal 1990-an.
Menurut aktor senior, Deddy Mizwar, perkembangan genre film pada masa ini sudah semakin bervariasi. Kisah cinta remaja, komedi, horor, dan juga tema-tema perjuangan menjadi ide pokok para pembuat film masa ini. Selain film Nagabonar, film Tjoet Nja’ Dhien (1986) menjadi salah satu film perjuangan yang juga banyak digemari penonton tanah air. Menjelang penghujung 1980-an, popularitas Rano dan Yessy digantikan o¬ngky Alexander dan Merriam Bellina. Keduanya jadi idola baru remaja lewat Catatan si Boy (1987). Film ini menjadi salah satu film yang sangat dikenal pada dekade 1980-an.
Kemunculan televisi swasta menjadi salah satu alasan kenapa produksi film di Indonesia sempat menurun pada era 1990-an. Menurut Yan Widja, suguhan sinetron dan siaran yang atraktif di televisi swasta membuat masyarakat lebih tertarik untuk menonton televisi daripada datang ke bioskop. Bisnis bioskop mulai redup, pembuat film pun murung karena susah produksi.
Namun, pada masa ini bukan berarti film Indonesia mati suri dan berhenti produksi. Yan mengatakan bahwa pada masa krisis itu, masih ada beberapa sineas yang mampu menghasilkan film berkualitas. Beberapa judul film yang cukup laris pada masa itu ialah Cinta dalam Sepotong Roti (1990), Ramadhan dan Ramona (1991),Nada dan Dakwah (1991), serta Kuberikan Segalanya (1991).
Deddy Mizwar menambahkan, salah satu penyebab kemunduran perfilman Indonesia era 1990-an juga disebabkan oleh peran pemerintah yang terlalu ikut campur urusan industri film dalam negeri.
“Pemerintah saat itu terlalu represif, sehingga terkesan menekan kreatifitas pembuat film untuk berkarya”, ujar Deddy Mizwar.
Deddy juga menambahkan, peran Departemen Penerangan pada masa itu cukup berpengaruh besar terhadap perkembangan film. Seperti pengontrolan yang dilakukan terhadap pers, industri film pun juga ikut serta diawasi dengan ketat. Melalui Lembaga Sensor Film, pemerintah dapat dengan mudah mengawasi perkembangan film Indonesia.
Yan juga mengatakan, muramnya wajah perfilman Indonesia era 1990 juga diperparah dengan berhentinya pesta penganugerahan FFI, ajang film bergengsi di tanah air. Festival Film Indonesia terakhir digelar pada tahun 1992. Setelah itu, FFI tidak lagi digelar untuk waktu yang cukup lama.
Kehadiran film musikal Petualangan Sherina (1999) menjadi titik tolak baru kebangkitan film Indonesia. Setelah sempat meredup selama beberapa tahun semenjak awal 90-an, industri film tanah air mulai bangkit dari tidur panjangnya. Menurut Yan Widjaja, film yang disutradarai oleh Riri Riza ini mampu mendatangkan 1,6 juta penonton ke bioskop. Kesuksesan film yang dibintangi Sherina Munaf ini membuka babak baru perfilman Indonesia.
Pada tahun 2001, Nicholas Saputra dan Dian Sastro tampil menjadi icon baru dunia film Indonesia. Berkat aktingnya yang memukau, film Ada Apa dengan Cinta? Meledak di pasar film Indonesia dan berhasil menggaet 2,6 juta penonton. Bahkan sang sutradara, Rudi Soedjarwo, berhasil meraih piala citra pada FFI 2004 kategori sutradara terbaik.
Yan Widjaja mengungkapkan, semenjak kesuksesan Ada Apa dengan Cinta?, film Indonesia perlahan-lahan mulai bangkit. Beberapa sineas muda pun lahir dengan karyanya yang cukup berkualitas, diantaranya ialah Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Nia Dinata, Hanung Bramantyo, John de Rantau dan banyak lainnya.
Bangkitnya film Indonesia juga ditandai dengan penyelenggaraan kembali Festival Film Indonesia. Tahun 2004 FFI bangkit dari tidur panjangnya selama 14 tahun. Pada saat itu, Film garapan Nia Dinata yang berjudul Arisan! (2003) menjadi film terbaik pilihan dewan juri. Pasar bioskop kembali menggeliat. Produksi film Indonesia mulai meningkat. Era tahun 2000-an, film-film karya anak bangsa kembali diproduksi. Kita tentu mengenal beberapa karya yang fenomenal seperti Eiffel I’m in Love (2003), Gie (2005), Berbagi Suami (2005), Nagabonar Jadi 2 (2007), Ayat-ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2008).
Hingga saat ini, perkembangan film Indonesia semakin meningkat dan membanggakan. Setidaknya hal itu yang diungkapkan oleh Deddy Mizwar kepada penulis beberapa waktu silam.
“Perkembangan film Indonesia saat ini sudah semakin baik. Dari segi teknis tentunya sangat jauh berbeda dari beberapa tahun ke belakang. Walaupun kualitasnya masih dipertanyakan, dari segi kuantitas, jumlah film Indonesia saat ini sudah meningkat pesat”, ujar Deddy Mizwar.
Hal senada juga disampaikan oleh Yan Widjaja. Menurut Yan, film Indonesia mencapai rekornya pada tahun 2008. Berdasarkan data yang ia peroleh, Yan menyimpulkan bahwa sepanjang tahun 2008 diproduksi sebanyak 87 judul film. Hal ini berarti, pada 2008 rata-rata diproduksi 2 judul film per minggu.
“Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi perkembangan industri film di Indonesia. Yah…, walaupun belum tentu semua film yang diproduksi itu berkualitas, tapi setidaknya, secara kuantitas, geliat film Indonesia sudah kembali bangkit dan menampakkan taringnya”, Ujar Yan Widjaja yang juga ketua dewan Juri Festival Film Jakarta 2008.