Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

RI-PNG: Wilayah Perbatasan di Papua Itu Bernama ....

17 April 2011   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 1171 6
Papua bila kita perhatikan merupakan pulau yang mirip dengan bentuk burung cendrawasih, disana terdapat sekitar 350 suku. Dimana tiap-tiap suku mempunyai bahasa nya sendiri sehingga bisa dipastikan terdapat 350 jenis bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Banyak kekayaan alam yang belum terjamaah di dalam gunung dan hutan yang menjulang tinggi maupun di beberapa daerah yang mempunyai pantai.

Walaupun begitu kita pasti sudah mengenal pantai yang kata teman saya indah banget, namanya raja ampat, yang terletak di Propinsi Papua barat.

Selain itu juga terdapat sumber daya alam yang berada di Timika berupa tambang yang sampai sekarang masih terus dieksplor oleh perusahaan asing bahkan sering masuk berita mengenai penembakan misterius di sekitar sana.

Lalu yang sempat beritanya naik turun mengenai OPM dan penyiksaan oleh TNIkepada kelompok separatis ini (walaupun kata teman saya bukan separatis)

Atau perang antar suku yang suka terjadi di tanah Papua, kalau kata teman saya itu hal yang lumrah terjadi.

Ah ketinggalan, pasti pecinta sepakbola Indonesia tahu dengan nama Boaz, Tibo, dan beberapa lagi

Ya itulah beberapa hal yang sering jadi perbincangan publik di negeri ini. Sekarang saya sedikit mau membawa ke wilayah perbatasan antara RI – Papua New Guinea, mungkin sebagian orang sudah tahu. Tapi bagi saya itu informasi yang baru ketika ngobrol-ngobrol sama teman kuliah saya, Roland dan Tabi (kalau mau di add FB nya silahkan, tapi minta izin dulu yah sama dia hehe)

Pertama kali ngobrol saya sudah berasumsi bahwa wilayah perbatasan itu akan jauh tertinggal dari kemajuan pembangunan, apalagi sering saya dengar, di beberapa tempat jalan itu belum ada atau pun ada tapi tidak layak. Oleh mereka berdua dibenarkan, memang ada dibeberapa tempat di kabupaten apalagi dipedalaman, mana ada jalan hot mix. Tapi tidak untuk jalan ke perbatasan ini.

Teman saya, Ronald, tinggal diwilayah Distrik Abepura bagian dari Kota Jayapura. Dia bilang, kami biasanya ke perbatasan hanya untuk berlibur dan mengisi waktu santai, jadi hanya lewat saja. Tujuan kami sebenarnya ya mincing, di Muara Tami.

Bila menggunakan kendaraan mobil sekitar 2 jam sampai di wilayah perbatasan itu, kata dia.  Saya masih penasaran apakah jalannya masih hutan-hutan. Dia bilang ia, tapi jangan salah kata teman saya. Jalanan menuju perbatasan sudah di hot mix. Bagus banget. Waktu itu saya masih tidak percaya, tapi dia bilang akan ditunjukkan fotonya.

Koq bisa , tanya saya ?

Ternyata sebelum wilayah perbatasan ada kampung yang dulunya menjadi daerah transmigrasi di era soeharto, sekitar tahun 70 – 80 , tapi saya search di internet engga ada. Apa dia yang salah ngasih informasi mengenai tahun. Nama kampung itu, Koya, yang terbagi atas Koya Barat dan Timur. Wilayah timur itu dekat dengan perbatasan.

Sehingga wajar, bila infrastruktur bagus, sudah ada sekolah, bahkan tower telekomunikasi juga ada, di Koya.

Lalu sebelum masuk ke Koya kita akan bertemu nama kampung yang namanya Nafri, nah disini jalanan mulai naik. Disini masih hutan-hutan, dulu sekitar tahun 1990 – 2000 masih sedikit rawan. Tapi kalau sekarang sih sudah engga, menurut teman saya itu. (pas search di gugle ketemu sini)

Berbeda ketika kita memasuki wilayah Koya yang merupakan daerah trans, dikanan kiri kita bisa melihat persawahan. Wilayah nya aman dan sudah ramai. Teman saya bercerita kalau di Koya itu mayoritas Islam. Tapi dia tidak pernah mendengar adanya kerusahan berbasis agama disana, apalagi konflik dengan penduduk asli. Tidak seperti di Jawa ini, lanjut teman saya.

Nah selanjutnya dari Koya timur akan menuju wilayah perbatasan itu. Selepas meninggalkan Koya, perjalanan kembali lagi ditemani oleh Hutan yang lebat. Rumah-rumah pun masih berjauhan. Sekitar 30 menit lah menuju wilayah perbatasan itu.

Akhirnya setelah melewati beberapa rute mulai dari Abepura – Nafri – Koya, sampai juga kita di Wutung. Sekitar 2 jam dari Abepura – Wutung.

Yah daerah perbatasan itu bernama Wutung.

Saya tanya, disana ada apa pace ?

Disana ada pasar, tapi bukan pasar setiap hari, paling hari-hari tertentu saja, lanjut teman saya. Apalagi kalau ada pejabat pemerintahan yang datang, wah bisa ramai itu pasar. Isinya ya dari dua negara itu, papua dan PNG. (sayang teman saya tidak punya foto untuk pasarnya)

Teman saya melanjutkan, disana terdapat lapak-lapak yang menjual barang-barang elektronik, vcd-dvd, alat komunikasi, minuman, makanan, kaos-kaos dan bahan baku. Nah kalau orang PNG itu kan tipikal yang instant jadi dia itu jarang membeli bahan baku, lebih banyak membeli barang-barang elektronik, vcd-dvd, alat komunikasi dan siap makan. Berbeda dengan orang papua, kalau kesana kan kaya wisata, jadi istilahnya membeli oleh-oleh. Seperti twist, semacam chiki potato itu , jelas dia kepada saya. Atau juga minuman bir kaleng satu dus. Harganya lebih murah dibanding di Jayapura.

Lalu bagaimana transaksinya ? lanjut saya

Disana, Wutung, sudah terdapat tempat pertukaran uang. Jadi kalau ada orang PNG mau membeli barang dari penjual Indonesia ya dituker dulu dan sebaliknya. Kami ini bisa dibilang masih ada hubungan kekerabatan dengan orang PNG, namun ketika kita bertransaksi ya menggunakan bahasa Indonesia. Tidak ada bahasa khusus, karena ya itu, kalau pakai bahasa daerah, bisa tidak mengerti satu antara lain yang berbeda suku. Kata teman saya, mungkin kita yang menerapkan pancasila secara utuh. Mulai dari bahasa dan keberagaman suku serta agama. (terlepas dari OPM, mungkin tanya hati saya, kalau saya debat ini pasti sudah tahu lah jawabannya sama hal nya dengan ketika saya membahas timor leste dengan teman TL saya)

Disana ada post penjagaan, TNI, Brimob, Bea Cukai.

Selain itu disana ada Mercusuar, itu merupakan tempat favorit orang-orang untuk berfoto ria, tawa teman saya.

Dan uniknya mobil-mobil yang dari PNG itu putih semua, sejenis Toyota pick up.

Walaupun begitu ada kekurangan yaitu pada penerangan jalan, apalagi itu menembus hutan. Saran teman saya kalau kesana jam 3 sore WIT harus sudah pulang ke rumah, kecuali di Koya yang memang ramai.

Ada beberapa pertanyaa sebenarnya, tapi teman saya tidak mengetahuinya. Namun saya sedikit mendapatkan jawaban disini dan disini.

Diakhir ngobrol-ngobrol, dia pun mengajak main kesana biar tahu sebenarnya. Kalau dari cerita begini mungkin tidak puas. Jangan takut mas, disini banyak orang jawa. Bisa dibilang disini rasa menghormatinya besar sama pendatang, selain sama pendeta, kami sangat menghormati guru atau pengajar.

Saya membalas, yah kalau Uncen butuh dosen saya siap kesana, kita melakukan penelitian mengenai kebijakan perbatasan Wutung itu, kita pun tertawa.

Saya pun pamit, setelah itu harus nya saya bisa mendapatkan cerita mengenai perbatasan timor – leste dengan Indonesia, tapi teman saya belum pulang dari TL sana. Mudah-mudahan masih bisa saya share disini walau lomba tentang batas sudah berakhir

Tabea, kata teman saya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun