Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Megawati Menggugat Kartini

4 Oktober 2014   16:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:24 54 0
Kita sebenarnya sudah mendekati titik kemajuan yang luar biasa.
Kondusifnya politik sepuluh tahun terakhir, dan diberikannya kebebasan berpendapat minus penistaan.
Tapi hari-hari pasca pilpres kita ditawarkan kembali ke masa kegelapan untuk diterima dengan senang hati. Dimana feodalisme bodoh dijadikan idola.
Partai politik menjadi kerajaan dengan trah yang tak tergantikan. Seolah bangsa ini ingin dibuat seragam, berkasta sudra.
Lihatlah jokowi, mencium tangan mega karena beda kasta. Tak berani menatap mata dan bahupun harus lebih rendah beberapa jengkal.
Saya sedang bercerita tentang megawati, salah seorang warga negara satu bangsa dan satu tanah air bersama saya. Dia bikin malu saya. Padahal saya berdoa untuk kebaikan negeri ini dan dijauhkan dari keanehan negeri.
Di Indonesia , kami terbiasa merasa memiliki satu sama lain. Suka dan duka, sedih dan tawa.
"Satoe tanah air, endonesia. !! "
Itu diajarkan oleh soekarno, presiden saya.
Harga diri bangsa membuatnya berdiri tegak di mana saja. Amerika pun mau diseterika.
Tapi, perempuan feodal itu mengubur demokrasi dengan air cuci kakinya. Bangga dengan tan malaka, yang mengolok-olok kalimat " "ptah, ptah..!! " kalimat suci hindu, dibukunya madilog.
Sekarang saya merasa kasihan kepada raden ajeng kartini, yang digadang-gadang oleh mereka yang liberal menjadi pahlawan gegara suratnya yang menolak disebut bangsawan. Meski tidak ikut perang dan berdarah-darah seperti cut nyak dhien, tapi kartini berusaha tegas.
"Panggil aku kartini." Tegas kartini di suratnya.
Bagi kartini alangkah nggak nyamannya berperilaku bangsawan.
Dia ndak mau disembah puja oleh para abdi istana.
Seperti halnya megawati, kartini juga anak poligami . Bapaknya seorang bupati , raden patih mas ario sosroninggrat.
Ada perlawanan terhadap feodalisme.
Surat-suratnya keras menolak feodalisme.
Alasan itulah ia jadi pahlawan indonesia.
Kitapun menjadi korban selera. Setiap tanggal 21 mei pake peci dan kebaya motif bunga. Tanggalkan jilbab dan letakkan melati disisi telinga.
Jika begini akhir bangsa ini, kurasa surat-surat kartini harus segera dimusnahkan. Dibakar hangus ataupun disiram cuka. Agar terkesan tidak ada yang istimewa.
"Kartini, anda jangan mengada-ngada loh , ya..!"
Buku sejarah harus diganti secepatnya. Tak ada surat-menyurat kartini dalam sejarah indonesia.
Pengadilan belanda harus mencabut status majalah de hollansche lelie, yang sering dibaca kartini dan menyebutkan majalah itu, secara sah dan meyakinkan adalah fiktif, tak pernah ada.
Kartini hanya figuran dan bukan pahlawan nasional. Perlu kiranya mencabut kepres no 108 tahun 1964 yang diberikan soekarno setelah 60 tahun kematiannya. Itu cacat sejarah yang memalukan bangsa kita.
Sekarang ! Tak layak feodalisme diganggu.
Karena feodalisme yang korup ini sedang memimpin negeri.
Feodalisme ini didukung oleh teman-teman saya yang sempat kuliah tinggi-tinggi di beberapa negara, yang kemampuan bahasa inggris- jerman mereka hebat sekali. Seperti air mengalir.
Berinteraksi dengan kemajuan zaman abad 21.
Dan mengaku trauma dengan abad kegelapan yang compang camping nggak karuan.
Mereka modern sekali. Dan khabarnya dulu anti feodalisme dan anti penguasa. Salut saya.
29 september 2014.

#bandara soeta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun