Hari itu adalah hari Minggu yang cerah di bulan Juni, ketika saya dan keluarga memutuskan untuk mengunjungi Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Sudah lama kami merencanakan rekreasi ini, namun baru kali ini semuanya bisa berkumpul. Ayah, ibu, saya, dan adik laki-laki saya, azka, sangat antusias menyambut perjalanan ini. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 8 pagi, menggunakan mobil keluarga kesayangan kami.
Perjalanan dari rumah kami di pinggiran Jakarta menuju Monas memakan waktu sekitar satu setengah jam. Meski ada sedikit kemacetan di tengah jalan, suasana di dalam mobil tetap menyenangkan. Kami bercanda, mendengarkan musik favorit, dan ibu bahkan membawakan bekal nasi uduk yang enak untuk dimakan di perjalanan. Ayah yang mengemudi dengan telaten dan sesekali bergurau membuat suasana semakin hangat.
Sesampainya di Monas, kami disambut oleh pemandangan yang menakjubkan. Monumen emas setinggi 132 meter itu berdiri dengan gagah, memancarkan kilauan sinar matahari pagi. Kami langsung menuju loket untuk membeli tiket masuk dan naik ke pelataran puncak Monas. Antrean cukup panjang, tapi kami menikmatinya sambil berbincang tentang rencana hari itu dan berfoto-foto.
Ketika lift membawa kami naik ke puncak Monas, Azka terlihat sangat bersemangat. Ini adalah pertama kalinya dia melihat Jakarta dari ketinggian. Saat sampai di puncak, kami semua terkesima. Pemandangan 360 derajat kota Jakarta dari atas Monas benar-benar luar biasa. Dari sana, kami bisa melihat gedung-gedung pencakar langit, Masjid Istiqlal yang megah, dan Bundaran HI yang sibuk. Rasanya seperti melihat Jakarta dari perspektif yang sama sekali berbeda.
Setelah menikmati pemandangan dari puncak, kami turun dan menjelajahi bagian lain Monas. Kami mengunjungi diorama sejarah di bagian bawah Monas yang menceritakan perjalanan bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga kemerdekaan. Di sana, ayah banyak bercerita tentang pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan cerita perjuangan nenek moyang kami. Saya dan Azka sangat terinspirasi oleh cerita-cerita tersebut.
Kami juga sempat berjalan-jalan di taman Monas yang luas. Ibu membentangkan tikar dan kami menikmati bekal nasi uduk yang sudah disiapkannya. Makan bersama di bawah rindangnya pohon dengan angin sepoi-sepoi benar-benar membuat suasana semakin sempurna. Setelah makan, kami melanjutkan dengan bermain layang-layang yang kami bawa dari rumah. Tawa ceria Azka saat layang-layangnya terbang tinggi menjadi salah satu momen paling mengesankan hari itu.
Perjalanan pulang di sore hari penuh dengan cerita dan canda tawa. Meski lelah, hati kami semua terasa hangat. Kesan dari rekreasi ke Monas bersama keluarga ini sangat mendalam bagi saya. Kami tidak hanya menikmati keindahan Jakarta dari ketinggian, tetapi juga mempererat ikatan keluarga melalui kebersamaan dan cerita-cerita yang kami bagi.
Itulah kenangan yang tak terlupakan bagi saya tentang perjalanan ke Monas bersama keluarga. Sebuah pengalaman yang tak hanya memberikan pengetahuan baru tentang sejarah, tetapi juga membangun kenangan manis bersama orang-orang tercinta