Indonesia yang kini berada dalam euphoria reformasi, penuh dengan segala penerapan prinsip demokrasi. Tidak bisa lagi menjalankan struktur, kultur, dan prosedur pembinaan PNS melalui cara lama, yang lebih berfokus pada spoil system.
Walaupun sedari dulu, secara aturan, merit system telah diteriakan begitu lantang. Tapi, kenyataannya masih sangat jauh kata ideal.
Itu telah menjadi sebuah rahasia umum. Kalian pasti mengetahui walaupun tidak pada batas memahami.
Secara sederhanya, budaya organisasi publik di Indonesia masih sangat tertutup. Tidak berjalan efektif apalagi efisien. Pelayanan publik yang seharusnya bermuara pada kepuasan pada masyarakat, masih harus terjebak pada pola-pola lama yang hanya berusaha untuk membuat bahagia atasannya.
Maka dengan segala permasalahan tersebut, DPR melalui hak inisiatif untuk membentuk sebuah UU mengajukan RUU ASN yang juga dibantu oleh beberapa ahli, yang salah satunya adalah, Prof. Mifta Thoha. Dan RUU ASN itu kini telah disahkan menjadi UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Lalu apa yang ingin saya bahas pada tulisan ini? Saya ingin mencoba untuk mengkaitkan UU ASN itu dengan eksistensi lembaga pendidikan kepamongprajaan IPDN yang memproyeksikan lulusannya untuk menjadi seorang PNS.
Kenapa? Karena secara sangat singkatnya, apabila UU ASN itu telah mempunyai aturan pelaksana, berupa Peraturan Pemerintah (PP), maka pada saat itu juga IPDN tidak lagi relevan untuk tetap ada.
Mengapa saya berpikir radikal seperti itu? Ini analisis singkat dan mungkin dangkal yang bisa saya berikan kepada anda semua.
Penyebutan ASN atau Aparatur Sipil Negara, menurut Prof. Mifta Thoha, sebagai salah satu perumus RUU tersebut, dilandasi oleh kenyataan bahwa selama ini di Indonesia belum ada penyebutan khusus atau spesifik terhadap profesi dari PNS itu sendiri.
UU terdahulu UU No. 8/1974 yang kemudian direvisi oleh UU 43/1999 menggunakan istilah kepegawaian. Sedangkan kepegawaian itu sendiri berarti hal ihwal tentang orang yang bekerja di dalam pemerintahan.
Dan di dalam kepegawaian itu sendiri telah terkumpul berbagai macam sebutan profesi, seperti Polri, Jaksa, Guru, Hakim, TNI, dan sebagainya.
Masih menurut Prof. Mifta Thoha, sebutan PNS tidak menunjukan gugus profesi karena di dalamnya terdiri dari berbagai macam profesi seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, dipilih-lah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai salah satu gugus profesi yang spesifik bagi PNS yang selama ini kita kenal bekerja di setiap instansi pemerintahan.
Kenapa ASN? Kenapa tidak pamong praja? Yang sebenarnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia dan bahkan telah memiliki perguruan tinggi yang khusus menciptakan kader-kader pamong praja yang setiap lulusannya mendapat titel Pamong Praja Muda?
Alasan yang dikemukakan oleh Prof. Mifta Thoha sangat sederhana, sungguh terlampau sederhana. Beliau menyebutkan bahwa pamong praja tidak lagi popular dan bahkan cenderung dekat dengan pengertian Satpol PP. Yang terlanjur identik buruk di mata masyarakat, khususnya masyarakat kecil.
ASN sendiri dipilih karena menurut perkembangan Manajemen Sumber daya Manusia telah dikenal profesi pegawai yang bekerja di pemerintahan, yakni Public Civil Servant (Service).
Berdasarkan data sederhana tersebut, dilihat dari segi penamaan maka profesi PNS tidak akan lagi dikenal dalam aturan kepegawaian.
PNS hanya menjadi sebutan umum. Sedangkan nanti di masa depan profesi itu dikenal dengan sebutan ASN.
Lalu kita lihat dalam Pasal 2 Permendagri No. 36/2009 tentang Statuta IPDN, yang menyebutkan bahwa IPDN berkedudukan sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan Departemen Dalam Negeri.
Kepamongprajaan? Profesi apa itu? Berarti seharusnya nanti menjadi ke-aparatur sipil negarawanan, iya ‘kan?
Mungkin sebagian dari anda kemudian akan mengerutkan dahi lalu berkata, “ahh itu kan hanya sekedar istilah!”. Kemudian meneruskan dengan berkata, “tinggal revisi aturan tentang statutanya, dan ganti istilahnya, beres!”.
Seandainya saja UU ASN itu hanya merubah istilah penyebutan gugus profesi, seandainya saja kawan.
Tapi nyatanya, struktur, kultur, dan prosedur dalam pembinaan PNS atau perlu mulai saya gunakan istilah ASN, juga mengalami perubahan besar. Ini revolusi kawan!
Maka tidak berhenti pada perubahan istilah, tapi substansi pendidikan di lembaga ini pun harus mengikuti setiap perubahan aturan tersebut.
Karena IPDN tidak membentuk lulusannya untuk menjadi dosen tapi pekerja yang siap pakai di setiap instansi pemerintah yang ada di Indonesia. Sehingga titik beratny ada pada aturan, bukan teori!
Di dalam UU ASN, telah digunakan management yang sangat terbuka menekankan sangat berat pada kompetensi. Tidak lagi pada sistem karir yang mengedepankan senioritas.
Bahkan persaingan itu akan semakin berat karena juga terbuka untuk mereka yang berada di swasta. Benar-benar kompetisi berdasarakan kompetensi. Suka atau tidak, tapi itu-lah dunia kepegawaian dewasa ini!
Maka secara sangat, sangat, sangat sederhananya, ketika paradigma UU ASN terimplementasikan dalam dunia kepegawaian di birokrasi Indonesia, masih relevan kah pendidikan kepamongprajaan di Lembaga ini yang menekankan pada senioritas? Terpisah sangat jelas oleh tingkatan hierarki? Penekanan pada pembentukan sikap loyal, respect, dan disiplin tapi tak mampu diimbangi oleh kualifikasi pendidikan yang mumpuni?
Ini hanya analisa sangat dangkal.
Memang struktur dan prosedur itu bisa cepat untuk dirubah dengan cara melakukan pembaharuan terhadap aturan yang ada. Tapi perubahan kultur pasti akan mengalami waktu dan benturan yang cukup lama.
Terlebih mindset kepegawaian kita yang telah lama dibentuk dalam kungkungan orde baru, tapi pertanyaannya sampai kapan budaya lama itu mampu bertahan melawan perubahan manajemen yang ada dewasa ini?
DKI Jakarta, Kota Bandung, dan Kementerian PAN & RB, dalam lingkup yang kecil, telah juga menerapkan sistem Fit & Proper Test dalam pengisian jabatannya atau bahasa yang lebih dikenal masyarakat kita adalah, lelang jabatan.
Dan ketika UU ASN mempunyai aturan pelaksananya, maka hal itu berlaku secara nasional bahkan rekan-rekan swasta bisa ikut terlibat memperebutkannya. Siap kah kita?
Ini menjadi sebuah persaingan terbuka, sangat terbuka. Saya yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan ini, harus menjawab dengan jujur bahwa pendidikan di kampus ini tidak akan mampu untuk mengikuti ritme aturan tersebut. Harus ada perubahan radikal di dalamnya!
Iklim pendidikan harus benar-benar dibentuk dan terinternalisasi. Tidak bisa seperti sekarang ini, tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa.
Jangan artikan ini sebagai sebuah bentuk caci maki terhadap lembaga yang selama ini telah membentuk saya.
Ini justru sebuah bentuk kekhawatiran terhadap eksistensi lembaga ini di masa depan. Bentuk rasa cinta, dalam sebentuk tulisan kritikan yang saya harap bisa membangun.