Karena merasa risih, Neni hanya "membuang muka" ke jendela dan "mengumpat" dalam hati. Sampai akhirnya tidak tahan dan turun dari bus yang ditumpanginya. Mahasiswi salah satu universitas negeri di Semarang ini mengaku tidak hanya sekali mengalami pengalaman tidak mengenakkan itu.
Di kesempatan berbeda saat berada di bus langganannya ini, Neni juga mendapati seorang laki-laki dengan penampilan perlente yang berdiri menempel dan menggesek-gesekkan organ genitalnya di belakang tubuh Neni. "Padahal, busnya juga tidak penuh, tapi ia terus menempel badanku meski aku sudah berpindah tempat. Jadi risih banget deh, apalagi beberapa orang juga memandangiku dengan mimik aneh," aku Neni.
Sama halnya dengan pengalaman Lita Monica(20). Ia pernah bertemu dengan laki-laki yang suka memperlihatkan organ genitalnya tanpa malu-malu. "Waktu itu kami sedang menunggu taxi di kawasan Simpanglima. Tiba-tiba ada mobil mewah warna hitam melintas pelan di depan kami berdiri."
Tampang seorang laki-laki paruh baya ini "menyembul" ketika kaca mobilnya terbuka perlahan. Pada awalnya Lita tidak merasa curiga pada laki-laki yang ingin bertanya padanya. "Jalan Majapahit arahnya mana ya?," ujar Lita menirukan pertanyaan lelaki itu. Karena tidak terdengar jelas, Lita pun mendekat dan meminta lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Tapi bukannya pengulangan pertanyaan yang dimaksud Lita, lelaki itu justru bertanya lagi. "Tahu obat buat "INI" ?," katanya sambil menunjukkan organ vitalnya.
"Aku kaget, langsung balik kanan dan lari ketakutan karena orang itu tidak memakai celana. Tapi anehnya, dia malah tertawa, kemudian langsung menutup kaca mobil dan berlalu begitu saja," tambah Lita sambil tersenyum kecut.
***
Menurut dr. Ismed Yusuf, Sp KJ, Neni dan Lita hanya sebagian kecil orang yang secara tidak sengaja bertemu dengan seorang ekshibisionis. Yakni orang yang mempunyai penyimpangan seksual dengan cara memperlihatkan atau menunjukkan alat vital / alat kelamin kepada orang lain untuk kepuasan seksualnya, tanpa berniat untuk berhubungan lebih akrab.
"Eksibisionis mendapatkan kepuasan secara seksual dengan mempertunjukkan organ genitalnya kepada orang lain yang bukan haknya," ujar psikiater yang juga Dosen Paska Sarjana Universitas Diponegoro ini.
Reaksi seperti yang dialami Neni atau Lita merupakan reaksi yang wajar dan spontan, karena seorang eksibisionis tidak mempunyai gejala tertentu yang mudah dikenali. Secara fisik, mereka terlihat sehat-sehat saja, meski secara kejiwaan mereka sakit. Eksibisionis kecenderungan dialami laki-laki dan melakukan "kepuasan seksualnya" itu tidak hanya dikerumunan tapi juga kepada perseorangan sesuai target yang diinginkan.
Tapi biasanya, jika kita jeli sebenarnya eksibisionis sudah menunjukkan gelagat dengan mempertunjukkan tanda terlebih dahulu. Misalnya sengaja tidak memakai celana dalam.
"Kalau sebelum itu terjadi, sangat sulit untuk mengenali apakah orang yang ada di hadapan kita ini eksibisionis. Tapi kalau sudah terjadi, bisa langsung dikenali," tambah dr. Ismed.
Dokter mitra RS Tlogorejo ini menyebutkan, ada dua hal mendasar yang melatarbelakangi munculnya eksibisionis yakni faktor bawaan dan pengaruh lingkungan.
"Faktor kejiwaan itu berasal dari naluri karena pendidikan seks yang salah dari orang tua sehingga muncul perilaku menyimpang. Sedangkan faktor lingkungan itu terjadi bila seseorang itu mendapat informasi yang salah lewat pergaulannya atau media. "
Sebenarnya pendidikan seksual dari orang tua mempunyai 4 fase penting sesuai tumbuh kembang. Fase pertama adalah pembentukan identitas jenis yakni dengan cara memberi nama, pakaian, mainan dan panggilan untuk anak. Biasanya ini terjadi pada umur 1,5 tahun.
Kedua, identitas gender. Fase perilaku yang diberlakukan anak sehingga bisa mengenali jati dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Bisa pemberian identitas itu terlihat dari mainan dan pakaian. Ini terjadi pada anak usia 4 tahun. Pada fase ini, orang tua harus lebih berhati-hati. Misalnya, anak laki-laki menjadi kemayu, perempuan menjadi tomboi, sadis, kepuasan dengan menyakiti orang lain. "Sepertinya, hal ini sepele tapi justru perlu diwaspadai karena mengakibatkan identitas gender anak menjadi bias. Pada fase inilah kemungkinan besar penyimpangan mulai muncul. Pada anak umur 4 tahun keatas sudah terlihat."
Ketiga adalah orientasi seksual, yakni fase dimana seorang anak mempunyai kecenderungan kepuasan untuk melakukan hubungan psikologis dengan lawan jenis. Biasanya ini terbentuk setelah remaja. Misalnya, mulai senang bergaul dengan lawan jenis.
Dan yang terakhir adalah fase ke empat yang disebut sebagai fase perilaku seksual. Ini terjadi ketika seseorang sudah tumbuh menjadi dewasa.Dimana mereka mulai merasakan jatuh cinta, keinginan membina hubungan rumah tangga.
Dalam fase-fase tersebut ketika seseorang mendapatkan informasi yang salah maka akan muncul kecenderungan atau resiko terjadinya eksibisionis.
Meskipun Eksibisionis sebenarnya termasuk penyimpangan seksual yang prosentasenya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jenis penyimpangan seksual lain. Tapi bukan berarti ini menjadi hal sepele. Karena Walau kasusnya berbeda-beda, tapi orang yang memiliki penyakit Ekshibisionis mempunyai kecenderungan sangat berbahaya.
"Eksibisionis bisa masuk kategori kriminal apabila berlanjut merusak jiwa, dan keamanan misalnya perkosaan, membuat orang ketakutan, atau bisa mengganggu orang yang melihatnya," tandasnya. (non)