Kubu satu butir telur dan satu ekor ayam berebut pendapat jika masing-masing dari merekalah yang terlebih dahulu hidup. Kubu Telur memiliki argumen kuat jika awal mula kehidupan ya dari dalam telur baru kemudian muncul seekor makhluk hidup dari dalamnya. Sedangkan Kubu Ayam berpendapat tak mungkinlah telur mengada dengan sendirinya jika tak didahului oleh si pembuat Telur (dalam hal ini Ayam). Pergesekan pendapat ini hanya terjadi pada kubu-kubu tersebut, mengapa? mereka hanya melihat wadahnya tak masuk atau bahkan tak ikut basah-basahan nyemplung ke dalam wadah di mana Telur dan Ayam berharmoni. Apabila Telur ada maka meniadalah Ayam, meniada bukan berarti tak ada, meniada itu ada yang tak ada. Begitu juga Ayam, saat Ayam ada meniada telur yang ada dalam tak ada. Telur dan Ayam tak mendahului dan tak didahului mereka sesungguhnya menyatu tapi tak jadi satu, Telur ada di dalam Ayam, pun juga Ayam ada di dalam Telur. Binasa membinasa salah satu jika mengada yang satu. Abu Nawas konon pernah bilang jika Ayam dululah yang ada baru kemudiam Telur, karena Ayam dapat mengenali Telur sedangkan Telur tak dapat mengenali Ayam. Lalu Ayam tahu dari mana jika Telur yang dia anggap telurnya itu ternyata bukan telurnya? bagaimana jika Telur itu telur Ayam lain? atau Telur spesies lain yang dari konteks dan sifatnya jauh berbeda?. Setiap Telur memiliki Ayamnya masing-masing, pun sebaliknya, mereka satu tapi tak satu. Telur ayam si Anu belum tentu sama dengan Telur ayam si Ani, begitu juga sebaliknya (dan ini berlaku juga pada Ayam). Baik Ayam atau Telur baiknya mencari tahu apa sejatinya mereka, jika sudah sampai mereka pada sejatinya hidup, tak ada lagi pertanyaan "mana lebih dulu Telur atau Ayam?". Loh untuk apa ada pertanyaan semacam itu jika Si Ayam dan Telur sudah tak bisa beda pun juga tak bisa sama, mereka sudah tak tahu lagi mana kulit Telur mana kulit Ayam, mana cairan Telur mana cairan Ayam, dan seterusnya.
Sama halnya ketika lubang yang tak tembus lubang diberi sebuah pelita digelapnya lubang. Pelita ini terbuat dari cahaya yang hanya dioles minyak dapat bersinar terang (tanpa perlu disulut api), terangnya melebihi terang bungkus pelita yang terbuat dari mutiara terindah alam semesta. Siapa pemberi cahaya itu? Dia yang memberi di dalam setiap Sang Aku manusia. Sebelum Sang Aku ada, terlebih dulu ada Cahaya itu. Lantas ketika manusia ada apa Cahaya itu hilang? jelas tidak! Cahaya itu ada tapi adanya tiada. Terbungkus fisik, terbungkus lapis demi lapis hingga jauh tak terjarak namun juga dekat tak terjamah. Cahaya itu tak rupa arah angin namun ada di segala penjuru angin, bukan sisi-sisi namun ada disetiap berpaling wajah. Maka dengan segala Sabda Cinta, Ayam dan Telur musnah saling binasa membinasa.