Sejarah hukum penyiaran di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode karena perubahan dan perkembangan teknologi dan kebijakan pemerintah. Gambaran pokoknya sebagai berikut: Tahun Awal (1963-1997) Keputusan Presiden (Kepres): Penyiaran di Indonesia pada mulanya diatur dengan Keputusan Presiden seperti Kepres No.215 Tahun 1963.
Kepmen No. 54 (1971) dan No.111/1990 tunduk pada peraturan seperti keputusan Menteri Penerangan. Keputusan Menteri Penerangan: Penyiaran televisi juga tunduk pada Keputusan Yayasan dan Direktur Jenderal Televisi.
 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses perkembangan hukum di bidang penyiaran di Indonesia. Masa Reorganisasi (1997-2002) UU No.24 Tahun 1997: UU Penyiaran No. 24 Tahun 1997 menggolongkan penyiaran sebagai bagian dari instrumen kekuasaan yang hanya melayani kepentingan pemerintah. Penyiaran dikuasai oleh negara dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masa Reformasi (2002-2024) UU No.32 Tahun 2002: UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 memberi kerangka bagi penyiaran bahwa pengelolaan sistem penyiaran berada pada ranah publik dan harus dikelola oleh pihak yang independen.  Otoritas  mengubah semangat , bebas dari campur tangan investor dan penguasa.
 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk untuk menyelenggarakan sistem penyiaran yang lebih demokratis dan berorientasi pada kepentingan umum. Komisi Penyiaran Provinsi Indonesia  (KPID): KPID dibentuk untuk mengelola sistem penyiaran di tingkat daerah, menjamin keberagaman konten dan kepemilikan, serta menghindari sentralisasi informasi.
 Hal ini bertujuan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak-hak sosial budaya masyarakat lokal. Kontemporer (pasca 2024) Amandemen UU Penyiaran: Amandemen UU Penyiaran di Indonesia saat ini sedang berjalan, dengan fokus pada regulasi digital, pelarangan konten, dan penegakan regulasi yang lebih efektif.  Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas program siaran dan menjamin kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital.
Dalam beberapa tahun terakhir, revisi undang-undang penyiaran di Indonesia telah menjadi perhatian utama, dengan penekanan pada peraturan digital, pelarangan konten, dan penerapan peraturan yang lebih efektif. Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas program  siaran dan menjamin kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital.
Sejarah dan Perkembangan UU Penyiaran
Evolusi Undang-Undang (UU) Penyiaran di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan sejak tahun 2002. Berikut gambaran pokoknya: Periode Awal (2002-2013) UU No.
 32 Tahun 2002: UU Penyiaran ini menjelaskan tentang asas, tujuan, fungsi dan arah lembaga penyiaran nasional.
Dalam undang-undang ini, penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berlandaskan asas kepraktisan, keadilan dan kesetaraan, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, independensi, kebebasan, dan tanggung jawab mengatur. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): KPI dibentuk untuk menyelenggarakan sistem penyiaran yang lebih demokratis dan sejalan dengan kepentingan masyarakat.
KPI juga berperan dalam memantau dan mengatur penyiaran serta perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Masa Reformasi (2013-2024) Perubahan Pasal 58: Perubahan ini melanggar Pasal 18(1), Pasal 33(1), Pasal 34(4) dan Pasal 46(3) yang mengatur sanksi bagi  yang melakukan hal tersebut (melanggar). Sanksi ini berupa pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta rupiah untuk penyiaran radio dan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak 5 miliar rupiah untuk penyiaran televisi.
Perubahan Pasal 59: Pasal ini mengatur bahwa barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 46 ayat 10 tentang pengaturan jam siaran oleh lembaga penyiaran, tidak dapat memperoleh hal yang sama, kecuali dalam hal negara memperolehnya.
 Perubahan Pasal 30: Perubahan ini mengatur  persyaratan isi program  siaran yang harus dipenuhi oleh lembaga penyiaran. Persyaratan tersebut mencakup aspek keselamatan, mutu, dan etika dalam penyiaran.
Kontemporer (pasca 2024) Amandemen UU Penyiaran: Reformasi UU Penyiaran sedang berlangsung dengan fokus pada regulasi digital, pelarangan konten, dan penegakan regulasi yang lebih efektif. Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas program siaran dan menjamin kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital.
 Pasal 56 (2) berbunyi: Pelarangan penyiaran konten  seperti program yang berhubungan dengan narkoba, perjudian, tembakau, alkohol, kekerasan dan unsur mistik membatasi hak warga negara untuk menerima berbagai konten.Larangan ini juga mempunyai interpretasi yang beragam dan dapat diterapkan secara sewenang-wenang.Dalam beberapa tahun terakhir, revisi undang-undang penyiaran di Indonesia telah menjadi perhatian utama, dengan penekanan pada peraturan digital, pelarangan konten, dan penerapan peraturan yang lebih efektif.
 Perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas program siaran dan menjamin kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital.
Problematika dalam Revisi UU Penyiaran
Amandemen Undang-Undang (UU) Penyiaran  Indonesia telah menimbulkan beberapa pertanyaan dan permasalahan  terkait  kebebasan pers, kreativitas, dan penegakan peraturan. Di bawah ini adalah beberapa contoh masalah dan masalah yang mungkin terjadi.
Persoalan dan Persoalan Kurangnya Transparansi dan Partisipasi: Proses penyusunan RUU Perubahan UU Penyiaran dinilai kurang transparan dan partisipatif sehingga menuai kritik dari berbagai pihak.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Rancangan perubahan UU Penyiaran dapat membahayakan kebebasan pers dan hak asasi manusia, antara lain dengan melarang penyiaran yang hanya memuat konten  investigasi dan memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Memperluas Definisi Penyiaran: Memperluas Definisi  Penyiaran Membahayakan Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi di Platform Digital dan Menargetkan Konten Buatan Pengguna yang Dapat Berdampak pada Kebebasan Berekspresi Publik Kemungkinan besar akan ada.
Melarang Konten Berlebihan: Melarang konten yang berkaitan dengan narkoba, perjudian, tembakau, alkohol, kekerasan, unsur mistis, atau LGBTQ+ dianggap berlebihan dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran dan penyalahgunaan.
Yurisdiksi yang Bias: Yurisdiksi yang menggabungkan sanksi terhadap penyiaran digital dan tradisional berpotensi menimbulkan bias dan menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
Solusi Definisi yang jelas: Definisi yang jelas dan komprehensif diperlukan untuk menjamin perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi. Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
Koordinasi KPI: Untuk mengoptimalkan kelembagaan KPI dan memastikan keberagaman konten dan kepemilikan, koordinasi antara KPI pusat dan daerah harus diperkuat.
 Penerapan peraturan yang tepat: Untuk menjamin perlindungan yang seimbang antara kepentingan umum dan kebebasan berekspresi, perlu ditetapkan peraturan yang lebih tepat dan komprehensif.
Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, amandemen UU Penyiaran di Indonesia harus mempertimbangkan isu-isu terkait  kebebasan pers, kreativitas, dan implementasi peraturan, serta memastikan definisi yang jelas dan koordinasi yang efektif antara KPI pusat dan daerah. Hal ini akan membantu mengoptimalkan kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital serta memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi
Tanggapan dan Kritik Terhadap Draf Revisi
Dalam beberapa bulan terakhir, reaksi dan kritik terhadap rancangan perubahan Undang-Undang (UU) Penyiaran di Indonesia menimbulkan kekhawatiran yang besar. Di bawah ini adalah  contoh reaksi dan kritik  terkait  kebebasan pers, kewenangan, dan penegakan peraturan.
Reaksi dan Kritik Kritik terhadap Larangan Konten Eksklusif dalam Laporan Investigasi: Pasal 50 Ayat B Â (2) RUU Penyiaran Perubahan memuat larangan hanya menyiarkan laporan investigatif; Ayat 2 UU Pers yang mengatur bahwa organisasi berita nasional tidak dikenakan sensor, pemblokiran, atau pelarangan siaran.
Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): Perluasan kewenangan KPI dalam rancangan perubahan UU Penyiaran menimbulkan kekhawatiran bahwa KPI akan diberikan kewenangan yang terlalu besar  dan  Dewan Pers akan dipermudah dalam perselisihan jurnalistik .
Memperluas definisi penyiaran: Memperluas definisi penyiaran  dalam rancangan perubahan UU Penyiaran dapat membahayakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi pada platform digital dan menargetkan konten buatan pengguna (UGC).
Melarang konten yang berlebihan: Melarang konten yang berkaitan dengan narkoba, perjudian, tembakau, alkohol, kekerasan, unsur mistis, atau LGBTQ+ dianggap berlebihan dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran dan penyalahgunaan, yang dapat mempengaruhi kebebasan pers dan kreativitas.
Pembahasan dengan transparansi dan partisipasi rendah: Proses penyusunan RUU Perubahan UU Penyiaran dinilai rendah dalam hal transparansi dan partisipasi sehingga mendapat kritik dari berbagai kalangan.
Solusi Definisi yang jelas: Definisi yang jelas dan komprehensif diperlukan untuk menjamin perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi.
 Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
 Koordinasi KPI:  Untuk mengoptimalkan kelembagaan KPI dan memastikan keberagaman konten dan kepemilikan, koordinasi antara KPI pusat dan daerah harus diperkuat.
 Penerapan peraturan yang tepat:  Untuk memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi, peraturan yang lebih tepat dan komprehensif harus dikembangkan.
 Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, perubahan UU Penyiaran di Indonesia perlu mempertimbangkan isu-isu terkait  kebebasan pers, kewenangan, dan implementasi peraturan, serta memastikan definisi yang jelas dan koordinasi yang efektif antara KPI pusat dan daerah.
Hal ini akan membantu mengoptimalkan kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital serta memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi.
Kasus dan Contoh Internasional
Berikut adalah  contoh litigasi dan peraturan internasional mengenai penyiaran.
1. Litigasi Internasional Litigasi BBC v.
Indonesia: BBC mengajukan tuntutan hukum terhadap Indonesia atas pelarangan siaran BBC di Indonesia. BBC berpendapat bahwa larangan tersebut tidak sesuai dengan prinsip kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
2.Al Jazeera v.
Indonesia: Al Jazeera mengajukan gugatan terhadap Indonesia atas larangan penyiaran Al Jazeera di Indonesia. Al Jazeera berpendapat bahwa larangan tersebut melanggar prinsip kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
 Peraturan Internasional International Telecommunication Union (ITU): ITU mengatur perjanjian internasional mengenai penyiaran yang menjamin kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Â
ITU juga mengatur  sanksi terhadap negara-negara yang tidak mematuhi Konvensi.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR): Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur  hak asasi manusia seperti kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
 UDHR juga mengatur  sanksi terhadap negara yang tidak menghormati hak asasi manusia.
 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR): ECHR mengatur  hak asasi manusia seperti kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
 ECHR juga mengatur  sanksi terhadap negara yang tidak menghormati hak asasi manusia.
 Konstitusi Amerika Serikat (USC): USC mengatur  kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
 USC juga mengatur  sanksi terhadap negara yang tidak menghormati hak asasi manusia.
Piagam Hak dan Kebebasan Kanada: Piagam Kanada mengatur  kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia.
Piagam Kanada juga mengatur  sanksi terhadap negara-negara yang tidak menghormati hak asasi manusia.
Oleh karena itu, contoh dan peraturan internasional mengenai penyiaran dapat membantu kita memahami bagaimana negara-negara lain mengatur dan melindungi hak asasi manusia dan bagaimana negara-negara lain mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan penyiaran.
Solusi Terhadap Problematika
Berikut  beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan perubahan Undang-Undang (UU) Penyiaran di Indonesia: Solusi Definisi yang jelas: Menjamin perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan publik, kebebasan berekspresi.Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
Koordinasi KPI: Â Untuk mengoptimalkan kelembagaan KPI dan memastikan keberagaman konten dan kepemilikan, koordinasi antara KPI pusat dan daerah harus diperkuat.
 Penerapan peraturan yang tepat:  Untuk memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi, peraturan yang lebih tepat dan komprehensif harus dikembangkan. Peraturan yang memiliki celah dapat menghambat kreativitas konten dan kebebasan berekspresi.
Partisipasi Masyarakat: Partisipasi masyarakat, termasuk organisasi jurnalis dan komunitas berita, perlu ditingkatkan dalam proses penyusunan amandemen UU Penyiaran. Hal ini  membantu memastikan bahwa peraturan yang dibuat sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan pers  Indonesia.
Konsultasi mendalam: Agar peraturan yang dihasilkan dapat mengatur industri penyiaran secara efektif tanpa mengorbankan kebebasan pers, konsultasi yang lebih mendalam  dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil, sangatlah penting perlu dilakukan.
Perdebatan yang transparan: Proses penyusunan amandemen UU Penyiaran harus dibuat lebih transparan dan partisipatif sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan berpartisipasi dalam proses tersebut.
Oleh karena itu, amandemen UU Penyiaran di Indonesia memerlukan definisi yang jelas, koordinasi yang efektif, penegakan peraturan yang tepat, partisipasi masyarakat, konsultasi  mendalam, dan diskusi yang transparan. Hal ini akan membantu mengoptimalkan kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital serta memastikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan publik dan kebebasan berekspresi.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa KPI memiliki peran penting dalam memastikan kebebasan pers dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. KPI harus lebih banyak menjalin kerja sama dengan lembaga yang berpengaruh terhadap kinerja penyiaran Indonesia. Selain itu, RUU Penyiaran harus memperhatikan substansi prinsipil yang menjadi perhatian di atas, seperti pelanggaran hak asasi manusia, pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan perluasan kewenangan KPI.