Dalam konteks demokrasi, ungkapan Vox Populi Vox Dei sering digunakan untuk menegaskan bahwa pemerintah harus mengikuti keinginan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Namun, ungkapan ini juga memiliki kritik dan tantangan, terutama dalam situasi di mana suara rakyat tidak mencerminkan kebenaran, keadilan, atau kebaikan. Misalnya, jika ada orang yang menang dalam pemilihan umum dengan cara kecurangan, seperti membeli suara, melakukan intimidasi, atau melakukan manipulasi data, apakah suara rakyat yang dihasilkan masih bisa disebut sebagai suara Tuhan? Apakah pemerintah yang terpilih masih memiliki legitimasi moral dan hukum untuk memimpin? Apakah rakyat yang terlibat dalam kecurangan tersebut masih bisa disebut sebagai warga negara yang bertanggung jawab?
Menurut saya, Vox Populi Vox Dei tidak bisa diterapkan secara mutlak dan tanpa kriteria dalam demokrasi. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan jika suara tersebut tidak didasarkan pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti hak asasi manusia, supremasi hukum, persamaan hak dan kewajiban, partisipasi politik, transparansi, dan akuntabilitas. Suara rakyat juga bukanlah suara Tuhan jika suara tersebut tidak menghormati nilai-nilai universal, seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Suara rakyat yang dihasilkan dari kecurangan, kekerasan, atau ketidakadilan tidak bisa dianggap sebagai suara Tuhan, melainkan sebagai suara setan. Oleh karena itu, Vox Populi Vox Dei harus dipahami sebagai suara rakyat yang cerdas, jujur, adil, dan beradab, bukan suara rakyat yang bodoh, korup, zalim, dan barbar.Â