Kadang agak bersalah juga dengan pengakuan ini, tapi saya jujur mengakui bahwa saya menyukai serial drama Korea dan membenci sinetron Indonesia. Ada beberapa alasan yang dapat saya kemukakan.
Cerita yang Tidak Diulur-ulur Ngawur Serial drama Korea punya alur cerita yang dikemas dengan menarik dan tidak bertele-tele. Biasanya serial drama Korea hanya dibuat sekitar 16-20 episode saja. Dari awal pembuatan sudah dirancang dengan patokan jumlah episode sekitar itu dan mereka disiplin mengikuti konsep awal yang ada. Tidak perduli setinggi apa pun rating serial tersebut setelah ditayangkan di televisi, bila konsep awalnya hanya 16 episode maka akan tamat dalam 16 episode. Contohnya saja serial drama “Oh, My Lady” yang kemarin baru saja selesai ditayangkan di sebuah stasiun televisi nasional. Saat ditayangkan di Korea rating serial itu begitu tinggi, sekitar 9. Tapi serial tersebut tetap hanya tamat dalam episode ke-16. Ini sangat berbeda dengan sinetron-sinetron di Indonesia. Bila kelihatan ratingnya tinggi maka produser akan mencari berbagai cara untuk mengulur-ulur cerita. Cerita menjadi ruwet tidak karuan, muncul berbagai kejadian “kebetulan” dan tidak logis. Semua itu membuat sinetron Indonesia menjadi membosankan. Apakah ini juga membuktikan kurangnya kreativias penulis naskah dan produser sinetron Indonesia?
Karakter Tokoh yang Tidak Membosankan Dalam serial drama Korea baik tokoh antagonis maupun protagonis mempunyai sisi manusiawi yang menarik. Jadi, tokoh antagonis tidak digambarkan jahat sejahat-jahatnya. Ada sisi baik yang mereka miliki dan seringkali ditunjukkan dengan cara yang menyentuh. Sedangkan tokoh protagonis pun tidak ditunjukkan dengan kebaikan yang sempurna. Mereka biasanya juga ditunjukkan punya kekurangan dan kebiasaan buruk. Semua ini membuat serial Korea terasa menarik untuk diikuti. Saat melihat serial Korea saya pernah beberapa kali malah jatuh hati pada tokoh antagonis dan sering juga dibuat gemas dan jengkel dengan tokoh protagonis. Berbeda dengan sinetron Indonesia. Biasanya penggambaran tokohnya seperti Angels Vs Demons. Kalau sudah jahat dibuat mendekati sejahat iblis dan kalau jadi tokoh baik dibuat mendekati malaikat. Terasa kurang manusiawi. Belum lagi penyiksaan tiada akhir dari tokoh jahat kepada tokoh baik. Saya mengutip sedikit kalimat yang diucapkan Shireen Sungkar pada salah satu wawancara infotainment tentang perannya di sinetron “Cinta Fitri”. Shireen berkomentar, “Nggak lah…, saya nggak pernah ngalami seperti Fitri gitu. Rasanya juga di kehidupn nyata nggak ada orang yang hidupnya sebegitu tersiksa seperti tokoh Fitri.” Nah, pemeran utamanya saja mengakui bahwa penggambaran tokoh sinetron tersebut jauh dari realitas.
Pengaturan Adegan dan Latar belakang Musik yang Manis Dalam serial drama Korea, setiap adegan diatur begitu manis dan mendekati realitas. Baik adegan menegangkan maupun adegan romantis, semuanya mendatangkan haru dan terasa benar dapat menyentuh hati pemirsa serta meninggalkan kesan mendalam. Alasan saya menyukai serial drama Korea juga karena musik latar yang seringkali terdengar begitu manis di telinga. Dalam serial drama Korea walaupun kadang endingnya bisa ditebak dan kadang juga ada sedikit kesamaan cerita serial satu dengan yang lain tapi pemirsa tetap dibuat penasaran untuk mengikuti tiap episode yang ada. Setiap proses seringkali menyajikan adegan-adegan serta dialog yang menyentuh hati, membuat pemirsa tertawa, tersenyum sendiri dan bahkan meneteskan air mata haru. Sinetron Indonesia seringkali mendramatisir suatu adegan dengan berlebihan. Diikuti akting yang berlebihan dari pemerannya pula. Adegan terkejut misalnya, tampak si pemeran melotot dengan mata hampir copot, Direkam berkali-kali dengan musik latar yang bertalu-talu. Rasanya begitu berlebihan dan malah menjauhi realitas. Ada kesan pula berusaha mengaduk-aduk emosi pemirsa. Padahal akhirnya bikin geregetan saja.
Tidak Mengandalkan Penampilan Fisik Tokoh Utama Kategori cantik dan tampan di tiap negara memang berbeda-beda. Saya tidak begitu paham kategori cantik dan tampan di Korea. Tapi dari yang saya amati banyak pemeran utama serial drama Korea yang wajahnya bisa dikatakan biasa-biasa saja. Malah kadang lebih cantik atau lebih ganteng tokoh pendukungnya. Ini semua tampaknya memang disesuaikan dengan isi cerita. Bila memang digambarkan tokoh utamanya adalah wanita yang biasa-biasa saja maka memang pemerannya tampak berwajah sangat biasa dan tidak secemerlang wajah tokoh pendukung. Ketika saya sedang melihat serial drama Korea, beberapa kali suami saya yang kebetulan lewat berkomentar, “Kok wajah tokohnya biasa saja sih, Ma. Lebih cantik wajah tokoh pendukungnya?” Saya sih menjawab memang ceritanya dia adalah wanita sederhana yang tidak menonjol penampilannya. Sekali lagi, ini yang membuat serial drama Korea lebih mendekati realitas kehidupan. Berbeda dengan sinetron Indonesia. Mudah ditebaklah, yang paling cantik dan paling ganteng pasti itulah tokoh utamanya. Tidak perduli apakah dia berperan sebagai pembantu. Pasti tetap paling cantik. Membuat kita berpikir beribu kali, masak iya ada pembantu secantik itu di kehidupan nyata? Bukan bermaksud menjelekkan karya anak bangsa. Harapan saya supaya produser sinetron Indonesia dapat belajar dari serial drama Korea. Buktinya, serial drama Korea telah diminati di banyak negara lain. Sebenarnya, menurut saya, untuk produksi film dan FTV Indonesia telah sangat baik. Tidak kalah dengan produksi film-film Korea. Memang Korea sudah ahlinya bikin film romantis yang membuat banyak penonton wanita jatuh hati. Indonesia telah mampu menggarap film-film bermutu dengan berbagai tema. Sayangnya, sinetron Indonesia masih saja belum ada kemajuan padahal penonton kita sudah tambah cerdas.
KEMBALI KE ARTIKEL