Kebijakan pembatasan usia mobil 10 tahun yang digagas Gubernur DKI Jakarta (Kompas.com 14 Januari 2015) tentu membawa kegamangan baik bagi penduduk Jakarta yang memiliki keterbatasan daya beli, maupun bagi penduduk yang menjadikan mobil tua sebagai wahana penyaluran hobi dan pelestarian bukti sejarah. Risiko biaya yang bisa dimitigasikan akan menjadi beban sudah terukur kalkulasinya, terlebih jika usulan Gubernur DKI Jakarta untuk memberlakukannya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diwujudkan oleh penguasa daerah lainnya. Mengesampingkan wacana tersebut, pertama-tama perlu dicermati sudah sejauh mana upaya yang ditempuh pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi kongesti/kemacetan lalulintas di Jakarta, yang menjadi kambing hitam terjadinya pembatasan usia mobil. Memperbandingkan suatu kebijakan yang akan diambil dengan kebijakan di negara lain seyogianya dilakukan secara integral dan dipertimbangkan aspek-aspek dampak kebijakannya kelak. Tidak hanya memilih ide besar berupa pembatasan tahun produksi mobil yang boleh beredar, namun juga mengkaji serta mengkritisi diri apa upaya yang ada di negeri lain dan memilki keefektifan mengurangi beban kemacetan lalulintas, yang feasibel, namun belum kita terapkan di sini.