Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kaltim Menuntut Bagi Hasil yang Adil dari Sektor Pertambangan Minyak

19 Oktober 2011   04:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46 552 1
[caption id="attachment_136570" align="aligncenter" width="451" caption="KILANG MINYAK BALIKPAPAN. Lokasi pengolahan minyak mentah yang beroperasi di Refinery Unit (RU-5), Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (24/11) Kilang minyak Balikpapan mampu menghasilkan Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa Premium 88, Kerosene, Solar, Avtur, Pertamax, non-BBM LPG, Wax, serta Naphtha dari sumber minyak mentah Kalimantan (17,5 persen), nasional (28 persen), import (55,5 persen). FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma/ss/hp/1. Sumber foto: http://www.antarafoto.com/bisnis/v1290676201/kilang-minyak-balikpapan"][/caption] Pada tanggal 30 September lalu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) bersama Majelis Rakyat Kaltim Bersatu (MRKTB) secara resmi telah mengajukan judicial review (uji materil) terhadap Pasal 14 huruf e UU No. 33 Tahun 2004 (UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah). UU ini mengatur tentang komposisi bagi hasil antara pemerintah pusat  dan daerah. Alasan pengajuan judicial review ini adalah karena Pemprov Kaltim merasa pola bagi hasil terhadap eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi , tidak berkeadilan dimana daerah hanya mendapatkan 15,5 % dari hasil pendapatan di sektor itu. Bagi hasil ini dirasa masih belum cukup untuk menanggung ongkos kerusakan lingkungan yang diakibatkan, apalagi untuk membiayai pembangunan Kaltim secara proporsional baik di kota, pedalaman dan perbatasan. Untuk lebih jelasnya, saya kutip Pasal 14 huruf e  UU No. 33 Tahun 2004 berikut ini: "Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah." Selain pola bagi hasil Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi antara pusat dan daerah, dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai  bagi hasil Penerimaan Kehutanan,  Penerimaan Pertambangan Umum,  Penerimaan Perikanan,   Penerimaan Pertambangan Gas Bumi dan Penerimaan  Pertambangan Panas Bumi. Tentu dengan angka yang berbeda-beda untuk setiap pengusahaan. Namun, Pemprov Kaltim hanya akan mengajukan Pasal 14 huruf e UU No. 33 Tahun 2004 karena pola bagi hasil pada sektor pertimbangan minyak bumi lah yang dirasa paling merugikan Kaltim. Tidak heran mengingat Kaltim adalah provinsi penyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang besar dari sektor pertambangan minyak bumi. Tim Inisiator Judical Review UU 33 Tahun 2004 mengusulkan untuk merevisi pasal 14 huruf e itu agar pembagiannya menjadi 50 persen pemerintah pusat dan daerah 50 persen atau perhitungan lain yang adil. Pola bagi hasil minyak dimana daerah hanya mendapatkan bagian sebesar 15, 5%  sebetulnya sangat kecil dibandingkan pola bagi hasil di Nanggroe Aceh Darussalam dan di Papua. Melalui otonomi khusus, kedua daerah ini mendapatkan bagian sebesar 70 %, sedangkan pemerintah pusat hanya mendapatkan 30% dari pembagian pertambangan minyak bumi. Alasan pemerintah memberikan otonomi khusus kepada dua daerah tersebut adalah untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Namun kenapa hanya dua daerah tersebut? Bukankah masih banyak daerah lain yang tertinggal? Sebagaimana Kaltim, data pada Bulan Maret 2011 dari Badan Pusat Statistik Prov Kaltim menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Kaltim sebesar 247,90 ribu orang (6,77%). Hal inilah yang menimbulkan sentimen negatif bahwa pemberiaan otonomi khusus di Aceh dan Papua adalah sebagai salah satu langkah untuk meredam gerakan separatisme yang gencar di kedua daerah tersebut.  Seyogyanya, apabila penerapan otonomi khusus ini dinilai cukup berhasil untuk mempercepat pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Aceh dan Papua, maka hal serupa harus juga diterapkan di daerah-daerah lain yang selama ini setia pada NKRI. Jangan sampai daerah-daerah yang kaya sumber daya alam ini, terus dikeruk kekayaannya tanpa ada bagi hasil yang setimpal untuk dapat membangun daerahnya. Untuk dapat mengajukan  Pemohon judicial review, maka Pemprov Kaltim dan MRKTB harus dapat menguraikan  hal yang menjadi dasar permohonan, meliputi:

  1. kewenangan Mahkamah;
  2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon       tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
  3. alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun