Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kalau Saya Berusaha Menjadi Guru yang Baik, Maukah Kamu Berusaha Menjadi Murid yang Baik?

5 Desember 2011   04:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:49 292 1
Salah seorang mahasiswa, yang artinya ia adalah orang yang sudah boleh dianggap remaja dewasa, menyapa saya dengan ramah di ruang twiter. Ia meminta pendapat saya, yang lebih tepatnya mungkin berkeluh kesah, tentang cara mengajar seorang dosen yang harus dijumpainya setiap minggu selama beberapa bulan terakhir ini. Mahasiswa saya ini memiliki pribadi yang sopan, iapun seorang pembelajar yang rajin dan senantiasa menunjukkan hasil belajar yang membuat guru-gurunya bisa merasa lega.

Dengan mention nama saya, ia berkata bahwa ia adalah seorang pembelajar tipe visual dan kinestetik, maka dosen yang lebih suka berbicara atau ceramah seringkali membuatnya merasa jenuh dan mengantuk. “Setahu saya,” tulisnya sopan, “seorang guru/dosen kan harus bisa menfasilitasi semua gaya belajar ya Bu.” Gaya belajar yang dimaksudkan mahasiswa itu adalah gaya belajar visual, seperti dirinya yang mementingkan perpaduan gambar, tulisan, warna, grafik dan sebagainya; gaya belajar kinestetik yang melibatkan pergerakan/mobilitas; dan juga auditori seperti dosen yang dimaksudkannya: belajar melalui mendengarkan. Dan menurut mahasiswa saya tersebut, ia sangat kesulitan belajar hanya dengan mendengarkan.

Saya tersenyum membaca curhat mahasiswa ini. Bukan pertama kalinya saya mendengar, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara yang sopan seperti ini maupun yang kasar, keluhan tentang metode ceramah yang dianggap membuat mahasiswa mengantuk. Tentu keluhan yang disampaikan dengan cara yang baik seperti ini saya tanggapi, sementara umpatan dan sindiran lebih suka saya diamkan saja dulu karena saya rasa mereka yang mengumpat bukanlah orang-orang yang sedang ingin belajar, semata-mata mereka hanya ingin didengar.

Ada dua poin yang saya sampaikan sebagai respon saya terhadap curhat tersebut. Pertama, saya usulkan agar ia sampaikan masalahnya dengan sopan kepada dosen yang dimaksudnya. Menurut saya, mungkin saja dosen tersebut lupa bahwa setiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Sangat mungkin dosen itu adalah seorang auditori, sehingga ia beranggapan bahwa metode ceramah adalah cara yang baik, sebab berdasarkan pengalamannya ketika ia berada di posisi mahasiswa, mungkin tidak ada masalah untuknya duduk diam dan mendengarkan. Jadi, menurut saya, apabila mahasiswa tersebut bisa menyampaikan keluh kesahnya dengan efektif, maka ia dapat membantu dosen tersebut untuk menjadi guru yang lebih baik.

Poin kedua yang saya sampaikan padanya adalah pentingnya untuk menyadari posisinya sebagai pembelajar yang sudah dewasa.

Bukan bermaksud membela kolega dosen, tetapi hingga hari ini saya selalu percaya bahwa dosen-dosen di kampus kecil kami tidak lain adalah pembelajar yang tekun dan mereka juga adalah guru-guru yang berambisi untuk mengajar secara efektif, sehingga tidak mungkin mereka mendisain pembelajarannya secara asal-asalan. Tetapi, mungkin saja kami terlewat mengajarkan sesuatu yang penting kepada mahasiswa kami: bahwa mereka adalah pembelajar dewasa, bukan anak-anak lagi.

Saya tuliskan kepada mahasiswa itu bahwa sebagai pembelajar dewasa, ia selalu dapat memilih bagaimana ia merespon situasi belajar yang kurang nyaman untuknya. Beruntunglah ia karena mampu mendefinisikan dirinya sebagai pembelajar visual, sehingga saya pun dapat memberikan saran yang relevan, kira-kira begini bunyinya (tentu tidak persis dengan apa yang saya tulis di twit mengingat di sana saya hanya punya ruang untuk 140 karakter):

“sebagai mahasiswa yang sudah dewasa, kamu bisa menciptakan sendiri suasana belajar sesuai gayamu. Misalnya ketika dosen itu ceramah, kamu buat mind map di bukumu dengan pulpen warna-warni atau dengan gambar-gambar…”

saya juga menekankan pentingnya menjadi mahasiswa yang kreatif, bukan mahasiswa yang terus-terusan mengharapkan kreativitas dosennya.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun