Suami saya adalah seorang dosen tidak tetap di salah satu universitas di Jakarta. Ia baru saja curhat kekecewaannya terhadap salah satu asisten dosen, karena menurutnya benar-benar unexpected, seorang asdos yang ber-IPK tinggi di fakultasnya, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia resourceful dan siap untuk mengajar. Komentar saya mula-mula: “Loh, kan memang tidak ada mata kuliah mengajar, jadi wajar aja kali ya kalau dia ngga terampil…”. Tapi kemudian suami saya cerita bahwa maksud dia, si asdos ini tidak komunikatif sama sekali, tidak bisa menantang mahasiswanya untuk berfikir kritis, sekaligus tidak bisa mengkritisi hasil kerja mahasiswanya. Menghadapi mahasiswa sangat tidak terampil, dia lebih banyak diam atau membaca materi presentasinya secara membosankan tanpa tanda-tanda antusiasme terhadap apa yang dia ucapkan. Pada saat rapat dosen pun dia membiarkan dirinya invisible, tidak bersuara sama sekali.
“Kok bisa ya IPnya tinggi?” keluh suami saya.