Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ketika Aku Ditangkap Polisi Jepang

22 Oktober 2012   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:32 1016 4
Musim dingin 2010. Sore itu langit cerah di hari minggu walau udara dingin memaksaku untuk memakai baju lengan panjang dan jekat. Hari minggu bagiku suatu hari khusus untuk melakukan semua hal yang ingin aku lakukan. Tetapi tidak melulu untuk bersenang-senang seperti pergi bermain bersama sahabat, keluarga atau relasi. Seperti kebayakan orang Jepang, akupun mengadakan pengecekan fasilitas perlengkapan rumahtangga yang kurang atau perlu dilengkapi. Saat itu, aku teringat satu barang yang paling aku butuhkan dan inginkan, yaitu sebuah lampu meja untuk belajar, bekerja ataupun yang bisa untuk menerangi komputer saat aku gunakan walaupun dengan mematikan lampu ruangan yang ada di langit-langit kamar. Pergilah aku sendirian ke Home Centre, sebuah supermarket yang menjual semua kebutuhan rumahtangga. Aku percaya sekali kalau lampu meja itu pasti dijual di sana. Berhubung tidak ada Angkutan Kota (Angkot) ataupun alat transportasi lainnya seperti di kampungku Indonesia, dari rumah aku mencoba pergi dengan mengendarai mobil sendirian. "Bisa sambil nyetir keliling kota nyari pemandangan indah musim dingin nih !", pikirku sendirian sambil siap-siap berangkat. Aku melaju di jalan raya dengan tenangnya. Berusaha patuh pada aturan dasar lalu lintas yang berlaku dan yang aku pernah pelajari dan lakukan setiap hari. Seperti selalu melihat kanan-kiri jalan sebelum memotong jalan atau saat menyeberangi perempatan, menyalakan lampu rating sebelum belok, menjaga kecepatan mobil saat melaju dijalanan kota sesuai yang batas kecepatan yang telah ditentukan dan lainnya. "Kalau sempat terjadi kecelakaan payah ahh ", pikirku selalu sewaktu mengemudikan mobil. Seperti yang telah banyak orang tahu, di Jepang pengemudi tidak boleh sembarangan mengemudikan mobil. Semua orang dituntut untuk berhati-hati dalam berkendaraan. Jepang adalah negara yang menerapkan kedisiplinan berlalu-lintas. Tidak ada alasan pengemudi untuk melanggar aturan lalu lintas, karena selain fasilitas lalu lintas jalan raya sangat lengkap dan hukum yang berlaku juga sangat tegas sekali. Polisi tidak mengenal kompromi apapun di Jepang ! Aku sudah hampir sepuluh menit melaju saat itu dan sudah mendekati Home Centre yang akan aku kunjungi. Aku lewati belokan kekanan terakhir, saat tepat dimana lampu lalu lintas menyala hijau. "Hampir sampai nih", aku bicara sendiri dalam hati. Aku lihat kombini yang ada di pojok kanan jalan tanpa menghiraukannya, karena tak punya maksud untuk beli sesuatu barang seperti biasanya yang aku beli makanan kecil dan minuman kesukaan. Aku pacu mobilku kira-kira seratus meter dari lampu lalu lintas itu dijalanan kecil dekat dengan Home Centre. Beberapa puluh meter sebelum aku sampai tempat tujuan, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbicara dengan pengeras suara. Aku tetap saja berkonsentrasi untuk sampai ke tempat tujuan sambil berpikir apakah ada tempat parkir yang enak untukku. beberapa saat setelah itu, aku lihat kaca spion sebelah kanan dan juga kaca spion yang ada di atas kepalaku. Aku kaget  ! Ternyata aku sedang dibuntuti mobil patroli polisi lalu lintas, dan polisi yang ada didalamnya memanggil-manggilku dan memerintahkan supaya aku menghentikan laju mobilku di sebelah kiri jalan secepatnya dengan pengeras suara. Merahnya lampu bagian atas mobil patroli yang menyala dan bunyi sirene yang berbunyi keras semakin mengejutkanku. "Mae no kuruma sugu tamatte kudasai ! (Mobil yang ada di depan harap segera berhenti !)", kata polisi menyuruhku berhenti dengan pengeras suara. Kalimat tersebut sempat dikatakannya beberapa kali sebelum aku mendengarnya dan berhenti. Aku segera menghentikan mobil disebelah kiri jalan yang lumayan sempit. Aku nyalakan lampu rating tanda aku sanggup berhenti dan tidak akan menghindarinya sebelumnya. Mobil patroli lalu lintas yang gagah itu juga berhenti tepat di belakangku. Aku lihat ternyata ada dua orang polisi laki-laki. Aku buka jendela sebelah kanan mobil sambil berpikir tidak mengerti telah berbuat kesalahan apa  dalam mengendalikan mobil saat itu. Salah seorang polisi yang duduk di sebelah kiri membuka pintu, keluar dari mobil dan berjalan menghampiriku. "Sumimasen (Maaf)", katanya ramah meminta maaf padaku. Aku hanya menjawabnya dengan kata "Hai (Ya)" saja. "Muko kara kuruma wa migi ni magatta dame desu yo (Dari arah sana mobil dilarang belok kanan)", katanya menjelaskan kesalahanku. "Aa, soo desuka. Sore wa zenzen wakarimasen ne (Oh, begitu yaSaya tidak tahu sama sekali hal itu), "jawabku membela diri. ”Hajimete desu ka. Maaku ga arimasu yo ! (Apa baru pertama kali? Ada rambunya kok !)", kata polisi itu menjelaskannya lagi. "Muko kara zenzen mienai desu yo ! (Dari arah sana sama sekali tidak kelihatan lho !)", kataku membela diri lagi dengan lebih bersemangat. "Toriaezu, kuruma kara dete moraemasuka? (Bagaimanapun, mohon turun dari mobil !)," polisi itu menyuruhku dengan kata-kata sopan. Aku turun dan keluar dari mobil tanpa mematikan mesin dan lampu yang masih menyala. Polisi itu langsung mengajakku berjalan mendekati mobil patroli dan berkata, "Samui desu kara kurumaa ni hairimashoo ka ? (Karena dingin mari kita masuk mobil !". Polisi itu membukakan pintu mobil patroli untukku dan akupun langsung mesuk dan duduk di dalam mobil bersama kedua orang polisi lalu lintas itu. "Untenmenkyoosho o misete kudasai (Perlihatkan SIM anda) !!", katanya memintaku. Aku segera mengeluarkan SIM ku yang aku cari dengan penuh perjuangan karena sulitnya lulus ujian dari dalam dompetku. Aku lihat wajah polisi itu terkejut setelah memegang, membaca dan mengamati SIM ku. "Aa, Indonesia no kokuseki desune (Oh, Warga Negara Indonesia ya?", katanya agak heran. Dia ternyata langsung membaca SIM ku bagian kiri atas yang tertulis nama dan kewarganegaraan dibawahnya. Tapi hal semacam itu sudah tidak ada lagi ada. Sekarang, tepatnya mulai tahun 2012 SIM milik orang asing di Jepang tidak tertulis lagi kewarganegaraannya. Hal itu katanya untuk melindungi privasi pemegang SIM tersebut. Memang, Jepang sangat menghargai privasi seseorang dalam hal apapun. Aku menjawab pertanyaan polisi itu dan membenarkan kalau aku memang orang Indonesia. Dia mencatat data-data ku sesuai dengan yang tertulis didalam SIM ku sambil manggut-manggut mendengarkan penjelasanku. Dilihatnya wajahku dan membandingkannya dengan foto wajahku yang tertempel dalam SIM itu. "Tak ada masalah !", pikirku dengan penuh keyakinan. Polisi itu menerangkan kesalahanku dan menerangkan sebaiknya bagaimana aku lain kali bila ingin melewati jalan ini tanpa melanggar jalan larangan berbelok ke kiri. Setelah  itu, dia menunjukkan buku undang-undang yang memuat kesalahanku beserta biaya dendanya. Diterangkannya dengan baik masalahnya dan pastinya aku harus membayar dendanya. Untuk kesalahanku mengemudikan mobil dan berbelok dijalan larangan dikenakan denda  sebesar 6000 Yen (Sekitar Rp. 660.000, bila kurs 1Yen = Rp. 110 ). Perlu diketahui, bahwa uang sebesar itu di Jepang bisa digunakan untuk makan siang kira-kira sebanyak 12 kali karena sekali makan rata-rata sekitar 500 Yen saja. "Aduh, kena denda nih !", aku bergumam sendirian sambil terdengar olehku suara radio komunikasi yang ada di dalam mobil yang menginformasikan beberapa kejadian lalu lintas di kotaku. Polisi mulai menulis surat tilang mulai dari namaku, nomor SIM, jenis pelanggaran dan juga nomor rekening bank milik kantor polisi. Polisi itu menerangkanku lagi kalau aku harus mentransfer uang dendanya ke nomor rekening itu sampai batas waktu yang telah ditentukan, yaitu seminggu setelah hari kejadian pelanggaran itu lewat Kantor Pos manapun di Jepang. Terpikir olehku saat itu bahwa sistem pembayaran dendanya sangat praktis dan juga cara polisi itu menangkapku serta cara menjelaskannya sangat sopan, tetapi tetap saja tegas menegakkan aturan lalu lintas dengan memberi sanksi denda. "Shikata nakute, haraimasu (Apa boleh buat, saya akan membayarnya) ",  kataku pada Polisi itu dalam Bahasa Jepang. "Jaa, wasurenaide kudasai ne ! ( Jadi, jangan sampai lupa ya !)," kata polisi itu lagi mengingatkanku. Aku juga diingatkannya lagi jika aku sampai lupa atau tidak mentransfer uang denda tersebut akan menerima sangsi hukuman lagi nantinya. Aku karena tak mau berbuat menambah masalah dengan kejadian itu, aku mengingat-ingat benar tanggal batas waktu yang telah ditentukan. Surat tilang akhirnya aku terima sambil mendengarkan pesan polisi terakhir kali supaya aku lebih berhati-hati dan mentaati peraturan lalu-lintas dengan melihat, belajar dan bertanya kepada siapapun demi keselamatanku sendiri dan orang pemakai jalan lainnya. "Ima kara ki o tsukete kudasai ! (Mulai sekarang berhati-hatilah)", pesan kedua polisi itu saat aku sebelum keluar dari mobil patroli. "Hai", jawabku pendek saja. "Siang yang sial !", kataku sendiri sambil menghirup udara dingin saat itu. Dinginnya udara musim dingin waktu itu memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobil yang aku parkir tanpa mematikan mesin dan lampu rating yang masih berkedip-kedip. Aku hanya masuk dan duduk tanpa langsung meneruskan perjalananku menuju Home Centre yang sebenarnya hanya tinggal 100 meter saja jaraknya. Teringat saat itu akan harga lampu meja yang akan aku beli yang menjadi sangat mahal dengan adanya kejadian tertanggapnya aku oleh polisi. Lampu meja tersebut sebenarnya satu buah hanya berharga 1500 Yen (sekitar  Rp. 165.000), tetapi karena aku harus membayar denda pelanggaran lalu lintas sebesar 6000 Yen (sekitar Rp. 660.000), maka harga lampu meja itu menjadi 7700 Yen atau sekitar Rp. 825.000. "Wah, harga lampunya jadi mahal sekali !", pikirku sambil berusaha melupakan hal itu demi ketenangan. Tetapi, usaha untuk menenangkan pikiran tidak bisa secepat yang kuinginkan karena justru malah teringat dengan kejadian pelanggaran lalu lintas yang beberapa bulan sebelumnya pernah aku lalukan. Waktu itu, di siang bolong di saat setelah istirahat makan siang di kantor tempat aku bekerja. Aku mengendarai mobil menuju stasiun kereta terdekat dari kantorku untuk sekedar mencoba mengetahui kondisi mesin mobil yang baru saja di-service oleh mekanik bengkel langganan. Tidak jauh dari tempat parkir, kira-kira setelah 5 menit setelah aku melaju di jalan raya, tertangkaplah aku oleh sekelompok petugas polisi lalu lintas. Laju mobilku dihentikan oleh seorang polisi yang melambai-lambaikan bendera di pinggir jalan. Akupun mengerem mobilku dan siap berhenti dan memarkirnya tetapi polisi yang menghentikanku itu segera mengarahkanku untuk memarkir mobil di tempat yang sudah ditentukan. Akhirnya, aku berhenti dan bersamaan dengan aku membuka kaca jendela, polisi tadi datang dan menghampiriku. "Kuruma o toobashimashita yo (Anda mengemudikan mobilnya ngebut)", katanya sambil menyuruhku turun dari mobil. "Mosok aku ngebut sih ?", pikirku dalam hati. Sewaktu aku turun dan setelah melangkahkan kaki beberapa kali, seorang polisi yang lain datang menghampiriku menunjukkan sebuah alat digital pengukur kecepatan mobil yang melaju. "Ini angkanya berapa?", tanyanya padaku. "Enam puluh", jawabku sambil membaca angka digital warna merah alat pengukur kecepatan itu. Mendengar jawabanku, polisi itu mengulang dan memastikan dengan mengucapkan kata enampuluh dan kemudian menunjukkan tanda batas kecepatan yang diperpolehkan yang ada di pinggir jalan. Aku diterangkannya kalau sebenarnya kecepatan yang diperbolehkan di jalan tersebut yaitu maksimal 40 Km/ Jam. Karena aku mengemudikan mobil melampai batas kecepatan yang diperbolehkan itu maka dinyatakan melanggar peraturan lalu lintas. Aku tidak bisa menolak pernyatan yang menyedihkan dan memalukanku itu, karena aku lihat sendiri kalau di pinggir jalan tersebut, kira-kira 100 meter dari tempat aku dihentikan, terdapat alat pengukur kecepatan yang dioperasikan oleh seorang polisi yang bertugas untuk itu. "Wah, aku ditangkap dengan bukti-bukti yang meyakinkan rupanya", pikirku tak berdaya. Hal itu langsung mengingatkanku sewaktu dikejar dan dihentikan seorang polisi yang menangkapku di Indonesia dengan hanya berkata kalau aku ngebut mengemudi dan ditambah salah ini dan itu. Saat itupun aku juga tidak berdaya membela diri. Polisi mempersilakan aku untuk masuk ke dalam bus yang khusus digunakan untuk menerangkan dan berbincang dengan pengemudi mobil yang dinyatakan melakukan pelanggaran. Aku masuki bus itu dan aku langsung disambut oleh polisi yang bertugas di dalam bus besar warna biru itu. "Doozo okake kudasai ! (Silakan duduk !)", katanya padaku dengan sopan. Akupun duduk dikursi khusus dan langsung mendapatkan penjelasan lengkap tentang pelanggaranku beserta bukti otentik seperti hasil pengukuran melampaui kecepatan dalam mengemudi dengan alat pengukur khusus. Akupun harus menerima pernyataan atas kesalahanku dan pastinya aku harus membayar denda atas pelanggaran tersebut. Polisi yang ada di depanku segera setelah aku duduk meminta SIM ku dan mencatatnya di Surat Tilang yang telah disediakannya. Semua data yang terdapat di SIM ku disalinnya di kertas dokumen itu dan pastinya disertai nomor rekening kantor polisi untuk tujuan mentranfer uang pembayaran denda di kantor pos. Saat itu aku kaget luar biasa, melampaui kagetku sewaktu mendengar harus membayar denda sebesar 6000 Yen karena melanggar larangan membelok di perempatan jalan tadi. Aku dinyatakan harus membayar uang denda sebesat 15.000 Yen (sekitar Rp. 1.650.000 bila kurs 1 Yen = Rp.110) atas pelanggaran mengemudikan mobil melampauai batas kecepatan yang dianjurkan. "Payah, dendanya mahal sekali !", pikirku tak kuasa menolak di dalam bus. Polisi pun akhirnya menyerahkan Surat Tilang itu padaku sambil berkata, "Yuubinkyku ni iku no o wasurezu ni okane o furikonde kudasai ne ! ( Jangan sampai lupa pergi ke kantor pos untuk mentransfer uang dendanya ya !)". "Hai, wakarimashita (Iya, saya mengerti)", jawabku sambil berdiri. "Jaa, ki o tsukete kudasai ! (OK, berhati-hatilah !)", pesan polisi ramah itu tapi tetap tegas menindak aku yang lalai mematuhi peraturan lalu-lintas. Aku meninggalkan arena kemalangan itu dengan langkah kekecewaan, dan berpikir seandainya aku tidak iseng mencoba mengemudikan mobil siang itu atau seandainya aku melewati jalan lain pasti tidak akan tertangkap oleh polisi yang super tegas tak kenal kompromi itu. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Pengalaman pahit siang bolong yang mengajarkan aku supaya lebih berhati-hati dan mematuhi peraturan lalu lintas di Jepang, negara yang tak kenal kompromi dalam hal kedisiplinan. Salam Hati-Hati Kyoto, 22 Oktober 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun