Pertama, koalisi Prabowo diisi oleh para politikus yang lihai. Sebut saja di dalamnya ada arsitek dan ahli strategi komunikasi politik Akbar Tandjung. Akbar Tandjung adalah the master of Indonesian politics. Akbar Tandjung adalah orang kuat Indonesia - selain Setya Novanto yang tak tersentuh oleh hukum.
(Dalam kasus dana non-budget Bulog pun Akbar Tandjung bebas, meskipun anak buahnya dipenjara. Ciri orang kuat adalah tidak terlalu mengumbar omongan yang keras dan kontroversial. Hal seperti ini ada pada eyang saya Presiden Soeharto yang lebih banyak diam atau tersenyum untuk menghadapi masalah serius. Bahkan dalam melakukan perintah pembunuhan terhadap simpatisan PKI kepada Sarwo Edhie Wibowo pun eyang saya Presiden Soeharto tidak jelas sisi perintahnya. Hal yang sama disampaikan kepada Pangkopkamtib Soedomo ketika memerintahkan pembunuhan yang dikenal dengan nama Petrus alias penembakan misterius terhadap para preman hanya dengan senyum dan manggut-manggut.)
Akbar Tandjung memiliki instink politik luar biasa. Setya Novanto belajar banyak dari Akbar Tandjung.
Gambaran kekuatan dan kelihaian politik ala Akbar Tandjung akan dieksekusi cara memojokkan Presiden Jokowi tanpa kekuatan mayoritas di DPR. Maka langkah persiapan awal pun dilakukan dengan menggolkan UU MD3 sebagai sedia payung sebelum hujan. Maka seluruh kekuasaan dan pimpinan serta alat kelengkapan DPR dan MPR pun dikuasai oleh Koalisi Prabowo. Tujuannya adalah (1) untuk menghambat kerja dan kinerja pemerintahan Jokowi, (2) mencari kesalahan dan kelengahan Presiden Jokowi, (3) melemahkan citra politik Presiden Jokowi. Tujuan akhir dari semua itu adalah menjungkalkan Presiden Jokowi.
Itulah konsep awal yang akhirnya ditunjukkan dengan gaya politik demokrasi ugal-ugalan ala Fahri Hamzah dan Fadli Zon.
Kedua, koalisi Prabowo memiliki para pendukung pengusaha dari kelas atas sampai menengah dan kuat, mayoritas anggota DPR berlatar belakang pengusaha dan berbagai profesi. Kekuatan ekonomi ini awalnya didukung oleh harapan memerbesar kesempatan mengeruk keuntungan ekonomi dengan mengandalkan Aburizal Bakrie, Prabowo, Hatta Rajasa, koneksitas mafia hutan dengan pentolan Syarif Hasan, para pentolan dan mafia migas, hukum dan sebagainya.
Janji Ical dan Prabowo serta Hatta Rajasa kepada para pengusaha dan anggota DPR bahwa dengan melakukan tekanan - maka kompromi pembagian kekuasaan di eksekutif akan didapatkan oleh koalisi Prabowo dengan menekan melalui DPR. Intinya, kekuasaan di DPR akan dijadikan alat sepenuhnya untuk menekan pemerintahan Jokowi agar berbagi kue ekonomi dan kue kekuasaan.
Artinya DPR menempatkan diri seperti masa pemerintahan SBY, meskipun dalam makna dalam posisi melawan setiap keputusan populis Jokowi. Salah satu senjata yang secara kasar dan blatant diyakini oleh Ical dan Prabowo - atas nasihat dan pandangan politik dangkal Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang memandang bahwa menjungkalkan Presiden Jokowi hanya melalui interpelasi.
Ketiga, Ical dan Prabowo serta Akbar Tandjung memahami sepenuhnya bahwa Hatta Rajasa, SBY adalah kekuatan penyumbang kedua setelah Golkar dalam koalisi Prabowo - sekaligus titik kritis lemah dominasi koalisi Prabowo. Hatta Rajasa dikenal sangat dekat dengan Riza Chalid dan mafia migas. Ical dan SBY bahkan Hatta Rajasa pun rentan tersangkut kasus hukum.
Dalam kondisi seperti itu, maka hanya Golkar yang paling bisa diandalkan untuk menopang koalisi Prabowo. Golkar adalah pilar koalisi ilusif dan delusif Prabowo. Rancangan awal strategi Akbar Tandjung dalam mendorong koalisi Prabowo dengan berbagai strategi untuk menaikkan Prabowo dan menjungkalkan Presiden Jokowi - yang disampaikan secara terbuka oleh Hashim Djojohadikusumo yang berencana menjungkalkan Presiden Jokowi, mengikuti darah pemberontak dan makar ayah mereka Soemitro Djojohadikusumo yang pemberontak Permesta. Itulah sebabnya Prabowo mati-matian memaksa Ical, dan Ical mati-matian akan tetap berada di koalisi Prabowo karena janji-janji politik dan strategi politik Akbar Tandjung untuk membawa kejayaan koalisi Prabowo.
Menghadapi strategi Akbar Tandjung - yang sayangnya dipengaruhi oleh megalomania Prabowo dan obsesi Ical karena data-data menyesatkan yang dipasok oleh PKS - maka Presiden Jokowi pun melakukan langkah-langkah strategi politik untuk melawan koalisi Prabowo.
Secara singkat - karena sudah disampaikan dalam berbagai artikel sebelumnya - strategi Presiden Jokowi dalam menghadapi strategi Prabowo adalah dengan memanfaatkan kekuasaan sepenuhnya (TNI, Polri, BIN, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK) untuk menerapkan enam strategi yakni (1) hukum-politik dan politik-hukum dengan melakukan penanganan secara tebang pilih kasus korupsi dan kejahatan hukum. Para kroni dan pendukung koalisi Prabowo dicokok KPK seperti KH Fuad Amin Imron - yang akan menyeret banyak orang lain. Kasus SDA akan melebar dengan ancaman hukuman seumur hidup kepada Suryadharma Ali jika menolak menjadi justice collaborator.
Lalu (2) melakukan pembagian kue ekonomi kepada partai pendukung dan tokoh pendukung dengan melakukan seleksi ketat perusahaan terkait koalisi Prabowo, aneka proyek akan ditenderkan dengan menyingkirkan perusahaan terkait pengusaha koalisi dan kroni Prabowo dan Ical.
Seterusnya (3) membenturkan para mafia dengan mafia lain dengan politik devide et impera, dengan mengankat Sudirman Said dan Rini Soemarno maka terbuka peluang untuk mengadu domba antar mafia migas: paling tidak Jokowi menghancurkan setengah dari mafia migas dan membiarkan sebagiannya.
Tak ketinggalan, dengan tegas Presiden Jokowi tak melakukan kompromi seperti yang dirancang oleh koalisi Prabowo yakni (4) menguasai seluruh jabatan dan mengganti para pejabat di BUMN, eselon 1-3, dan berbagai kementerian. Hal ini jelas merugikan partai dan kalamngan yang membutuhkan kekuasaan.
Dan, dalam hal hukum Presiden Jokowi menyinergikan kekuatan pendekatan dan penegakan hukum dengan (5) menggandeng kejaksaan, KPK, Polri untuk mendorong penegakan hukum secara tebang pilih.
Untuk lebih melemahkan maka Presiden Jokowi mendekati Akbar Tandjung (6) mendongkel keberadaan Ical sebagai Ketum Golkar. Presiden Jokowi menyampaikan melalui Om Handropriyono terkait pendekatan untuk menarik Akbar Tandjung dari lingkaran Golkar. Jokowi paham betul bahwa tanpa Akbar Tandjung, Ical hanyalah sosok tanpa kekuatan. Disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa, Ical adalah orang bangkrut secara politik dan ekonomi. Bangkrut karena membawa Golkar ke dalam perpecahan karena Ical memergunakan Golkar sebagai kendaraan memenuhi kepentingan pribadi.
Disampaikan pula kepada Akbar Tandjung, bahwa tanpa kekuatan AMPG, AMPI, organisasi pendiri Golkar seperti MKGR, Kosgoro, jelas posisi Ical sangat lemah. Fakta lemahnya kekuatan Ical adalah tidak adanya suara sama sekali dari Setya Novanto - yang memiliki instink politik tinggi seperti Akbar Tandjung.
Mendukung Ical menjadi Ketum Golkar dan memertahankan Golkar untuk mendukung megalomania Prabowo akan merugikan Golkar pada pileg 2019 dan pilpres 2019. Maka diambillah jalan kompromi untuk agar Golkar minimal akan memosisikan diri seperti Partai Demokrat. Artinya Golkar tidak berada dalam posisi langsung mendukung pemerintahan Presiden Jokowi namun juga bukan dalam posisi seperti PKS dan Gerindra.
Dan, satu syarat itu dipenuhi dan tetap Ical harus tersingkir karena Ical adalah biang kerok terpuruknya Golkar dan terbentuknya polarisasi kekuatan koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi yang tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara. Keberadaan koalisi Prabowo hanya untuk memenuhi kepentingan nafsu politik balas dendam Ical - yang ditolak Presiden Mega ketika ingin menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi - dan Prabowo yang merasa dikhianati oleh Presiden Mega karena kasus Perjanjian Batutulis.
Dengan demikian, maka dapat dipastikan Akbar Tandjung akan surut mendukung Ical, dan itulah akhir kisah strategi rancangan Akbar Tandjung yang justru diakhiri oleh Akbar Tandjung sendiri yang memorak-porandakan koalisi Prabowo. Maka dapat dipastikan, Ical akan terjungkal - dengan cara halus ala Akbar Tandjung dan Presiden Jokowi - dan kisah koalisi Prabowo pun berakhir di tangan Akbar Tandjung dan Presiden Jokowi. Tinggal Ical dan Prabowo gigit jari melihat maneuver Akbar Tandjung. Tak heran Akbar Tandjung memuji-muji Presiden Jokowi - satu tanda pergeseran dukungan dari Ical ke Agung Laksono; lebih lagi Agung Laksono juga ke Istana menemui Presiden Jokowi.
Jadi, dengan enam strategi tadi, kekuatan koalisi Prabowo benar-benar dihancurkan oleh 6 strategi Presiden Jokowi. Selamat datang Golkar baru, selamat tinggal koalisi Prabowo.
Salam bahagia ala saya.