Itu penggalan pidato pertama saya sebagai Presiden Republik Indonesia pada saat pelantikan nanti. Mengapa penting untuk memberikan pengakuan hak kelola pada masyarakat adat? Mari kita melakukan kilas balik perjalanan pembangunan di Indonesia, khususnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan kita oleh pemerintah melalui pihak swasta (baca: perusahaan).
Penguasaan hutan yang tidak adil
Sejak Era Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia lebih banyak dikuasai oleh perusahaan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), pertambangan, dan perkebunan skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit.
Data Kementerian Kehutanan Indonesia menunjukkan bahwa hingga tahun 2011 ada 531 konsesi kehutanan yang menguasai 35,8 juta hektare sementara baru ada 57 izin hutan kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk 33.000 desa di dalam dan di sekitar hutan dengan total luas lahan 0,32 juta hektare.
Luasan yang tersebut di atas baru untuk konsesi kehutanan, belum termasuk wilayah konsesi untuk pertambangan dan perkebunan. Data yang dimiliki oleh Sawit Watch menyebutkan hingga tahun 2013 luas perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 13 juta hektare.
Konflik dan pelanggaran HAM
Indonesia memiliki luas hutan di daratan dan perairan lebih dari 130 juta hektare dan 128.225.146,02 hektare berada di daratan. Dalam kawasan hutan tersebut ada masyarakat yang sudah mendiami hutan tersebut secara turun temurun, dari generasi ke generasi dan sudah mengelola hutan dengan kearifan hukum adat yang diwariskan dari leluhur mereka.
Meski sudah jelas ada kelompok masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengelola dan tinggal di dalam dan sekitar hutan, namun dalam hal pemberian izin pembukaan hutan tidak pernah sekalipun pemerintah melibatkan mereka. Pemikirannya, bahwa pemerintah selaku penyelenggara negara mempunyai hak untuk menguasai sumber daya alam termasuk hutan yang ada di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Indonesia.
Dampak dari pengakuan penguasaan hutan secara sepihak ini adalah, terjadi banyak perampasan lahan milik masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat tempatan di hampir seluruh wilayah adat di Indonesia. Perampasan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan berujung pada konflik lahan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Di Jambi, beberapa waktu lalu seorang petani dari Suku Anak Dalam meninggal dengan tubuh lebam seperti habis dipukul dan bekas tangan terikat. Diduga pembunuhan ini dilakukan oleh satuan pengaman perusahaan besar perkebunan kelapa sawit yang dibantu oleh kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia.
Di Kalimantan Timur, seorang petani ditemukan tersungkur berlumuran darah karena diserang oleh orang perusahaan karena bertani di lahan yang berada di dalam konsesi Kaltim Prima Coal (KPC) anak perusahaan Bumi Resources Tbk.
Laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2011-2012, ada empat kasus kekerasan dan pelanggaran HAM dengan jumlah korban yang tidak tidak sedikit akibat konflik pengelolaan sumberdaya alam dan agraria.
Mengakui hak kelola masyarakat adat
Masyarakat adat sudah mengelola hutan sejak turun temurun, jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan diri sebagai sebagai sebuah negara. Pengelolaan hutan yang mereka lakukan terbukti mampu menjaga kelestarian hutan dan tanpa menimbulkan konflik. Mereka mengelola hutan dengan aturan adat yang mereka wariskan dari generasi ke generasi.
Dalam pengelolaan hutannya, mereka mengutamakan hak komunal. Sebagai contoh kita bisa melihat pengelolaan hutan pada masyarakat Meratus di Desa Juhu, Kalimantan Selatan. Mereka membagi hutan berdasarkan tingkat kegunaan dan kepemilikan. Kepemilikan pribadi per keluarga hanya diperbolehkan untuk rumah tinggal dan kebun sayur. Wilayah adat yang bisa dimiliki secara pribadi oleh masyarakat namun bersifat sementara adalah a) pahumaan yaitu wilayah perladangan yang sedang dimanfaatkan; dan b) jurungan, yaitu wilayah perladangan yang dengan sengaja dibiarkan untuk nantinya setelah 5-8 tahun dikerjakan kembali. Wilayah adat yang dimiliki secara komunal atau bersama, a) utan katuan yaitu hutan primer; b) utan larangan, yaitu hutan yang diyakini sebagai tempat roh-roh suci leluhur berdiam; dan c) karamat, yaitu areal pemakaman dan tempat-tempat suci.
Belajar dari kearifan masyarakat adat maka sebagai Presiden Republik Indonesia, hal pertama yang akan saya buat adalah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden tentang Pengakuan atas Wilayah Kelola Masyarakat Adat di Indonesia.
Langkah selanjutnya adalah, saya akan memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memulai program sertifikasi wilayah kelola adat di seluruh wilayah Indonesia dengan mengacu pada peta partisipatif wilayah yang sudah atau akan dibuat oleh masyarakat adat dan atau masyarakat tempatan.
Saya juga akan mulai mengkaji ulang perizinan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pada periode sebelumnya. Mulai menghitung ulang berapa luas perizinan sudah diberikan dan berapa luas wilayah yang masih dimiliki oleh masyarakat.
Dari situ saya akan melakukan revolusi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Saya akan membatasi hak penguasaan hutan/lahan untuk tiap kelompok perusahaan. Tiap-tiap kelompok perusahaan besar hanya boleh menguasai dalam batas yang ditentukan. Kalau kelompok perusahaan itu memiliki usaha pertambangan, kebun, HPH atau HTI maka luasan keseluruhan lahannya tidak boleh lebih dari batasan yang akan ditetapkan nanti.
Di setiap wilayah adat akan berlaku hukum adat setempat. Jika perusahaan ingin meneruskan usahanya di wilayah hutan masyarakat maka mereka harus mentaati aturan adat setempat. Selain itu mereka juga harus mau duduk bersama masyarakat dan memberi kesempatan pada masyarakat untuk melakukan pengambilan keputusan atas dasar informasi yang benar dan tanpa paksaan (Padiatapa/FPIC).
Pihak Kepolisian dan TNI harus kembali ke tugas awal mereka, yaitu melakukan pengamanan buat negara bukan untuk perusahaan. Mereka boleh ikut hadir ketika proses pertemuan antara masyarakat dengan Perusahaan berlangsung tetapi dalam kapasitas sebagai pengamanan untuk kepentingan masyarakat, sebagai pemilik lahan.
Dengan demikian, amanat Undang-Undang Dasar Pasal 33 tentang hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bisa dipenuhi. Sumber daya alam hutan yang menguasai hajat hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia dikuasai oleh negara, pemerintah dan masyarakat. Di era kepemimpinan saya, pemerintah bukan sebagai penguasa sumberdaya alam melainkan sebagai mediator dan pengatur keseimbangan pengelolaan sumber daya alam Indonesia, khususnya hutan.
Jika saya mampu mewujudkan semua mimpi ini, saya yakin bukan hanya hutan Indonesia yang bisa diselamatkan tetapi juga jutaan kehidupan masyarakat Indonesia yang mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan utama mereka bisa diselamatkan.
-----