Apalagi pasca penetapan Undang-undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, semakin meneguhkan bahwa desa-desa Kabupaten Malinau telah siap mengelola Alokasi Dana Desa yang besarannya sekitar Rp 1,4 M/desa/tahun. Penerapan otonomi daerah sejak tahun 1999 melalui UU No 22/1999 kemudian direvisi menjadi UU 32/2004 menegaskan daerah memiliki kewenangan mengatur daerahnya. Nampaknya hal ini difahami betul sebagai pemberian mandat seperti dari kabupaten ke desa oleh bupati.
Rupanya di Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Malinau melakukan gebrakan dengan melimpahkan otonomi ke desa dengan nama program Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Dari sisi tata bahasa, kata "Gerakan Desa Membangun" menempatkan DESA sebagai subyek pembangunan, menjadi kunci utama, fokus yang memang memegang peranan penting. Makna desa tentu tidak sekedar masyarakatnya (Pemerintah Desa, LPM, BPD, Petani, Guru dan lainnya), namun juga ekonominya (pasar desa, pertanian, koperasi), budayanya (tari, bahasa, perilaku, adat istiadat, tradisi) dan beragam hal lainnya fokus pada peningkatan perbaikan/kesejahteraan desa.
Di era otonomi daerah tidak banyak banyak kepala daerah yang memiliki inovasi dengan memfokuskan pada masyarakat desa. Banyak kepala daerah melakukan inovasi dibidang pelayanan sebut saja Sragen saat dipimpin Untung Wiyono (Pelayanan satu atap), Tri Rismaharini/Surabaya (Perbaikan Taman), Ridwan Kamil/Kota Bandung (penciptaan ruang publik), Dr I Gde Winasa/Jembrana (Pendidikan gratis 12 tahun) dan masih banyak lagi.
Berarti DR Yansen TP, MSi melakukan terobosan yang tepat serta belum ada yang melakukannya. Belum lagi Tahun 2014, UU Tentang Desa disyahkan sehingga secara tidak langsung beliau menata, melatih serta menyiapkan masyarakatnya. Dengan bahasa lain, beliau memiliki pemikiran visioner sehingga gebrakan GERDEMA mendahului UU Desa tersebut. Konsep ini sangat dikuasainya karena selain memang terlahir di Malinau kemudian mulai mengabdi di Malinau sejak 1993 sebagai Camat hingga kini menjadi orang nomor satu di Malinau.