Seoulmate Becomes Soulmate By: Nana Nino (118)
Seoul Suara mesin mengaduh, meramaikan malam yang tak pernah tidur di jantung negeri ini, Seoul. Tak hanya besi, manusianya pun berlomba menghidupkan malam. Entah dengan motifnya masing-masing, mereka memertaruhkan kemapanan dan hari depan. “Perempuan loe boleh juga, Bro?” ucap Tono sembari melongok layar HP Nino. “Awas ya, senggol cipok,” sahut Nino tanpa menoleh sahabatnya itu. Ia asyik dengan sebuah pesan dari seseorang di Subang sana.
Subang Aku tergeragap dengan bunyi prendule jam dinding yang berdentang Diamku terusik Angin menelisik Gelombang suara pada gendang telinga membatku sepurna terjaga. Seoul Gelapnya malam yang dingin sedingin hatiku yang tak kau temani Aku merindukan bulan yang terang Seterang sinar mataku di kala memikirkanmu yang jauh Meski raga ini tak ada di sampingmu Hati ini selalu ada bersamamu Bersama hujan salju di malam yang kelabu Juga rintiknya yang tak kunjung reda Membekukan rindu yang jauh di seberang sana _ Jari-jari manusia itu menekan keyboard dan menyentuh keypad. Lalu pesan singkat itu terlempar di langit, bergelung bersama ribuan bahkan milyaran data di stasiun luar angkasa, tidak tertukar. Kemudian langit melemparnya lagi ke belahan bumi lain. Sambung menyambung, tak terhitung.
_ Subang: Masih kerjakah?
Seoul: Sebentar lagi istirahat. Sesibuk apapun, akan selalu ada waktuku untukmu. Apa sih yang
enggak buat kamu. Kamu minta hati pun aku kasih.
Subang: Pada berapa gadis kamu ucapkan kalimat itu?
Seoul: Pada berapa bujang kau tetar kata-kata itu?
Subang: Baiklah, lupakan.
Aku ijinkan kalau kamu mau mendua, meniga atau mengempatkanku. Asal maduku lebih cantik dari aku, lebih kaya dari aku, lebih cerdas dari aku, dan lebih agamis dari aku serta lebih cepat bertemu malaikat maut daripada aku. Seoul Mengempat atau menigakanmu? Jangan uji aku seperti itu Menduakanmu pun aku tak mampu Aku seperti lilin tanpa api yang tak bisa sinari kegelapan hati tanpa kamu Subang Percuma menjadi api Jika itu hanya akan membakar lilin cintamu Lalu kamu meluruh tak ada bentuk tuk disentuh Kuinginkanmu menjadi matahariku Yang tak hanya memberi kehangatan Tapi juga menyibak kabut kebekuan dan melumerkan keangkuhan Serta bisa ngasih diskonan Seoul Panas matahari cukup menyengat tubuh Tapi panasnya cintamu seperti neraka Yang selalu menyiksaku dengan rindu yang senantiasa terbakar Jangan buatku tergelepar Subang Aku tak mau menjerumuskanmu dalam kubangan api cinta Bila nantinya hanya membunuhmu dalam gelora rindu tak sampai Jarak yang terbentang memang suatu hambatan Namun, aku takut kamu akan mengguyurkan hujan dari mataku Lalu sebuah tangan pemuda lain mengeringkan pipiku Dan kamu menyesal di sisa usiamu Seoul Jika itu yang terjadi aku Akan kembali bertanya pada hatimu Apakah ada nafasku di dalam lubang cintamu _ Subang: Mau tau aja apa mau tau banget?
Seoul: (。-_-。) <--- spikles!
_ Subang Bolehlah kau hitung rima jantungku Lalu kau raba hembusan nafasku Di sana kan kau temukan lagu merdu senandung namaku namamu (nanana nonono nanonano)
_ Seoul: Baik-baik di sana. Jam kerja memanggilku.
_ Subang “Nanaaa, cepetan tidur. Besok harus ke Sukabumi antar pesanan batik Ses Saropah,” Pintu kamar Nana terbuka. Seorang wanita setengah baya berdiri di tengahnya. “Yaaa, Ibu. Bentar lagi, Bu.” “Ayayaya, kamu ngobrol sama kotak ajaib itu?” Ibu Nana menunjuk foto profil Nino di chat-box. “Anak muda jaman sekarang….ckckck,” dilanjut memencet tombol shutdown di CPU.
Huaaa, aku belum ngucap see you soon ke Nino, teriak hati Nana. Layar monitor telah padam.
Ah, hujan salju dan hujan rindu mengguyur jiwa-jiwa. Adakah hujan emas mengakhiri hujan batu di negeriku sehingga sebutan Seoul-mate ini benar-benar menjadi soulmate? Bila masa itu tiba, tentunya nikmat bersua dua anak manusia yang terpisah ruang dan waktu, yang hanya disatukan dari dunia maya kan direguk sesegera. Kota S, Nov-Des 2012
Untuk menemukan gombal spesial untukmu, klik di sini ya.
KEMBALI KE ARTIKEL