Tak ada lagi yang menyapaku kini. Denting piano atau kicauan burung yang kadang hadir dalam kamar penuh kertas dan baju yang aku diami, hilang bak ditembak serdadu Belanda, burungnya maupun pianisnya. Sunyi, sekarang benar-benar sepi. Memang silih berganti dan sahut-bersahut bunyi-bunyi yang lain, tapi bukan twet twet si burung mungil yang menggemaskan itu, atau denting piano pianis piawai yang aku rindukan. Sudah dua hari ini, kamar ini menjadi begitu mengharu biru, sepi, sedih, dan hampa. Sering aku harus mematikan nada suara di kamarku, karena aku merasa sangat terganggu, tapi tanganku terus meraih handphone hitamku atau putihku, mengangkatnya, dan menyimak, kalau-kalau ada simbol si telepon hijau bertengger di sana. Sesekali ada, tapi ketika aku membukanya, bukan darinya. Dan aku selalu melirik ke identitasnya, belum dibaca. Aneh. Dia bilang dia sangat sibuk kemarin, tapi hingga sore, senja, tarawih berakhir, bahkan hingga malam saat mataku sudah tak sanggup lagi berjaga, tak ada pesan darinya.
KEMBALI KE ARTIKEL