Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Wah, untung kamu pulang tepat waktu! Bantu-bantulah mempersiapkan pernikahan kakakmu, Nduk!" komentar salah seorang kerabat menyambut kedatangan Pelangi.
Kepulangan kali ini membuat hatinya sangat bahagia. Terasa tanpa beban. Tidak sebagaimana sebelum-sebelumnya. Kini tugas sebagai mahasiswa sudah selesai, tinggal bersiap-siap mencari pekerjaan.
Jika masih bisa, ia akan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Itu karena Pelangi ingin memperdalam ilmu. Cita-cita menjadi dosen masih bercokol di hati dan pikiran juga.
Sambil menunggu wisuda yang akan digelar tiga bulan mendatang, Pelangi menghubungi beberapa teman yang memiliki chanel lowongan pekerjaan. Malahan, beberapa teman memberikan rekomendasi beasiswa ke mancanegara.
"Kamu masih muda dan cukup pintar, Angi! Lanjutkan saja kuliahmu!" pesan beberapa dosen di kampus sebelum perpisahan jurusan.
Demikian juga tutur beberapa sahabat dekat yang mengetahui prestasi dan sepak terjangnya.
***
Kurang dua hari pesta pernikahan sang kakak sulung hendak digelar. Persiapan sudah 95%. Tinggal menunggu kepulangan Rinai dari Medan. Seminggu lalu, karena tugas kantor mendadak, putri sulung itu harus terbang ke Medan dalam rangka pembukaan kantor cabang baru. Tugas yang tidak bisa ditolak.
Sesuai pernikahan adat Jawa, pagi itu bleketepe sudah dipasang oleh kedua orang tua si gadis. Malam nanti pengantin wanita hendak didandani sebagai bidadari pada acara midodareni. Akan tetapi, hingga menjelang pukul tiga sore, sang calon mempelai wanita belum tiba. Dikabarkan bahwa pesawat masih delay karena cuaca buruk.
Tentu saja, keluarga besar, khususnya kedua orang tua, panik bukan main. Undangan sudah disebar, acara sudah ready. Akan tetapi, calon pengantin belum berada di tempat.
Tetiba ayah dan ibu mengajak Pelangi memasuki kamar pribadi mereka.
Sambil berurai air mata, di hadapan suami dan putri kedua tersebut, ibu bertutur perlahan.
"Angi ... tolonglah ayah dan ibumu ini, Nak. Selamatkanlah muka kami. Gantikanlah posisi kakakmu yang belum tiba sampai detik ini. Bersedialah untuk menjadi pengganti pengantin, ya, Nak!"
Pelangi sangat terkejut. Tidak menduga sama sekali kalau sang ibu meminta menggantikan menjadi mempelai. Syok! Pelangi lemas tanpa daya. Netra pun mulai merebak siap menjatuhkan embun.
"Benar, Nak. Kami tidak pernah meminta apa-apa darimu, 'kan? Kali ini saja ... tolonglah selamatkan kami! Muka kami, nama keluarga besar dan martabat kita. Tolonglah kami, Angi!" pinta sang ayah dengan suara bergetar terbata-bata.
Melihat ayah dan ibu terisak pilu seperti itu, Pelangi tidak bisa berbuat lain.
"Jangan anggap ini sebagai malapetaka bagimu, Nak! Kami yakin ini adalah awal berkah Allah yang diperuntukkan bagimu!" peluk kedua orang tua tersebut membuat hati Pelangi luluh.
"Jangan berpikir negatif, Nak. Selamatkan saja muka kami," imbuh sang ayah.
Pelangi mengangguk lemah. Hatinya teraduk-aduk sempurna. Berbaur haru biru. Isi kepalanya blank!
Benar-benar tidak menyangka bahwa ia akan menikah secepat ini. Dengan cara yang tidak pernah dipikirkan pula. Apalagi dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenal, baik secara fisik maupun psikis.
Di dekapan kedua orang tua, Pelangi pasrah.
"Baiklah, Ayah ... Ibu ... Pelangi siap. Semoga Kak Rinai cepat pulang," lirihnya.
Ketika tukang rias datang, Pelangi siap didandani. Semua keluarga salut dengan keputusan putri kedua yang bersedia menyelamatkan situasi tersebut.
***
Di rumah calon besan, terjadi keributan pula. Gege, sapaan sayang Gema Wicaksono, putra sulung keluarga Purbo Subroto tidak sedang berada di tempat. Padahal, sore itu ia siap diantar untuk menikahi Rinai Permatasari, putri sahabat sekaligus rekan kerja mereka.
"Ga! Gaga! Gege pamit ke mana?" tanya ayah kepada putra kedua.
"Enggak pamit, Pa! Gege enggak bilang apa-apa!" jawab Gaung Widarsono yang dipanggil Gaga.
"Waduuuh! Kacau nih, anak! La ... kalau sore ini tidak pulang, mau ditaruh mana muka kita?" ceracau ayah sambil mondar-mandir di ruang tamu.