Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Pagi itu tetiba gawaiku berdering. Nomor tak kukenal masuk membuatku galau, antara kuterima atau kubiarkan tanpa kuangkat. Sebentar kemudian sebuah pesan singkat masuk memberitahukan identitas, memperoleh informasi nomorku dari siapa, dan dengan tujuan apa melakukan pemanggilan. Masih belum kurespons karena trauma penipuan dan belum yakin dengan pesan yang disampaikan. Penelepon berinisiatif merekam foto dan pesan lewat video pendek. Barulah kuyakini. Sambil  tersenyum manis, puzzle memoriku pun berputar ke masa silam.
Saat aku masih berusia sepuluh tahun, sepupu jauhku itu masih berusia empat tahun. Kondisi desa dipenuhi sawah dan ladang ditanami tebu. Lumayan  dekat  pabrik gula,  bahkan di depan rumah pun terdapat rel kereta tebu. Jika musim panen, bisa dipastikan memiliki stok beberapa batang tebu. Si sepupu imut yang datang dari Jakarta bersama keluarga keheranan melihatku mengupas tebu. Dia pun berteriak-teriak kepada mamanya, "Mama ... minta bambu yang enak dimakan!" sambil menunjukku yang sedang mengupas sebatang tebu. Ahahaha ... dasar  balita  ibu kota, tebu dikatakan bambu yang enak dimakan! Spontan kami tertawa mendengar teriak tantrumnya. Kalimat itu kujadikan contoh materi sintaksis baik di sekolah maupun kampus.
Setelah empat dasawarsa terpisah, kami bisa bertemu kembali. Memasuki parkiran hotel tempatnya menginap, kukirim pesan. Berlarian dari seberang, kulihat lagi sosoknya. Usia sudah sama-sama senja! Terbahak-bahaklah ketika kuingatkan kalimat yang pernah disampaikan saat usia balita!