Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Manisnya Sebuah Pertemuan

31 Mei 2024   11:32 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:37 128 4
Manisnya Sebuah Pertemuan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu


Eyang Yuchi, demikian beliau disapa. Nama lengkapnya Ruchi Wiyanti, seorang ibu sepuh pensiunan guru dengan usia lebih dari 60 tahunan. Semula beliau tinggal seorang diri di rumah lama yang sebenarnya sudah harus direnovasi. Konon sang suami telah meninggalkan sejak putri kedua bernama Endang Margayanti yang kini berusia 40-an tahun itu berusia tiga bulan. Sementara putra pertama, seorang lelaki gagah bernama Bambang Sumaryanto, berusia tiga tahun lebih tua daripada si adik. Konon kedua putra putri tersebut diberi nama mengambil dari bagian nama sang ayah dan ibunda, Sumargo dan Ruchi Wiyanti.

Sang suami yang pamit menjadi buruh  migran di negeri jiran telah meninggalkan dengan alasan kerja, tetapi tidak pernah pulang sejak keberangkatannya. Entah apa yang terjadi dan bagaimana nasibnya tidak diketahui dengan pasti.

Masyarakat cukup mengenal sosok beliau. Sejak muda terkenal sebagai wanita mandiri yang lincah. Sudah puluhan tahun ditinggal sendiri di rumah lama itu. Si sulung, Bambang, katanya telah berumah tangga dan menjadi orang terpandang di luar pulau. Namun, belum sekali pun dia pulang menjenguk sang ibu. Demikian pula dengan Endang yang kabarnya dinikahi pejabat dari Timor Leste. Sejak pernikahannya dua puluhan tahun silam itu juga belum pernah pulang ke kampung halaman. Lengkaplah sudah! Keluarga yang konon merupakan harta paling indah itu tidak lagi dimiliki sejak puluhan tahun silam!

Pagi itu seperti biasa Eyang Yuchi yang tinggal di desa sudah ramban di tegalan dekat rumah. Ada saja yang bisa dipetik, seperti pucuk daun pepaya, daun singkong, daun ubi jalar, beluntas, dan kenikir yang tumbuh liar. Sedangkan cabai dan jeruk sambal ada di pekarangan rumahnya sendiri. Eyang juga menanam labu siam yang tumbuh subur dengan diberi anjang-anjang rambatan seadanya.  Kalau masalah sembako, setiap tanggal muda saat gajian pasti Eyang menyempatkan diri membeli beras, gula, minyak goreng, susu kaleng, dan beberapa kebutuhan lain di toko grosir langganan. Untuk mengambil gaji, Eyang biasa diantar Darto tetangga desa yang sudah menjadi langganannya.

Gajinya per bulan untuk memenuhi kebutuhan sesehari asal bisa mengatur dengan baik cukuplah. Ada tunjangan gaji suami pula sebab tak pernah dilaporkan kalau sang suami sudah tidak bersama lagi. Ya, bisa dibilang janda, tetapi tidak pernah memiliki surat cerai. Namun, nyatanya memang sudah menjanda. Ada untungnya sih, dia tidak melapor ke kantor dinas karena masih ada sedikit tunjangan suami walau tak seberapa. Cukuplah bisa digunakan sebagai pembeli terasi, bahan paling utama dalam hidup karena kesukaannya mengonsumsi kulupan dedaunan kukus ditambah sambal tomat terasi.

Namun, sejak purnatugas, Eyang berinisiatif mengumpulkan empat pemuda kampung yang mau diajak bekerja sama. Beliau sudah merasa puas dengan bekerja kantoran dan kini ingin mengembangkan sayap sebagai wirausaha. Bersyukur, diperoleh empat tenaga yang sudah diuji kejujuran dan keseriusannya.

Beliau juga mengambil seorang asisten rumah tangga. Diperolehlah seorang asisten rumah tangga yang cukup prigel5  dalam hal memasak. Bu Sur nama ART yang sekian tahun lamanya telah ikut sebagai ART di kota dan di sisa usianya ingin pulang kampung dengan ikut Eyang. Jadi, kini Eyang tidak sendiri lagi. Oleh karena itu, dana taspen yang diterima digunakannya sebagai modal awal usaha membuat makanan rumahan.

Dipilihlah 'kue pancong', 'serabi miring', atau disebut juga 'rangin' sebagai dagangan yang akan dijajakan petugas. Adonan sudah dipersiapkan oleh Eyang atau kadang Bu Sur sehingga keempat pemuda tinggal mencetak adonan itu sesampai di tempat berjualan. Keempat mereka dipersilakan memilih sendiri hendak berjualan ke mana sesuai kemauan masing-masing.

Dipersiapkanlah lima cetakan kue serabi miring, empat untuk para pedagang keliling, juga beberapa LPG semangka, dan perlengkapan lain yang bisa dibawa di sepeda motor masing-masing. Adapun sepeda motor, dibelinyalah sepeda motor bekas yang masih bisa dimanfaatkan untuk berdagang. Segala sesuatu dipersiapkan hanya dalam hitungan sebulan saja.

Yang paling utama dikemukakan kepada pemuda desa itu agar ulet melakukan pekerjaan mereka. Daripada menganggur, biarlah bekerja agar bisa menabung untuk persiapan masa depan mereka. Itu prinsipnya. Membuka lahan pekerjaan bagi pemuda desa yang masih belum memperoleh pekerjaan. Maka, dilatihlah keempatnya untuk mencetak kue rangin dan menjajakannya ke mana mereka suka.  

Mengapa Eyang membeli lima cetakan lengkap dengan kompornya? Siapa tahu ada masyarakat sekitar yang berkenan membeli dagangannya di rumah. Jadi, sekalian teras rumah dijadikan lapak. Eyang atau Bu Sur bisa melayani pembeli kue pancong di rumah selain empat pemuda yang berdagang keliling.  

"Eyang, Bligo mau berangkat," pamit seorang petugas.

"Sudah lengkap peralatanmu?"

"Sampun!"

"Oke, ati-ati, mugo-mugo laris!" doa Eyang.

"Aamiin!" sahutnya.


Selain Bligo ada tiga lelaki lain yang menjajakan dagangan ke kota sekitar tujuh kilometer dari rumah. Ya, Eyang mempekerjakan empat penuda desa untuk berjualan rangin alias serabi miring ke kota-kota sekitar desanya. Meskipun sudah sepuh, Eyang masih memikirkan kesejahteraan warga desa dengan cara membuat usaha rangin. Harusnya menggunakan  pikulan, tetapi daripada berjalan kaki jauh dan panas, Eyang berinisiatif membelikan sepeda motor. Maka, dengan kendaraan tersebut, praktis jajanan bisa dijajakan lebih jauh dibandingkan dengan berjalan kaki menggunakan pikulan.


Empat pemuda tersebut berangkat pukul 06.00 WIB dan pulang sekitar pukul 11.00 WIB. Sementara, Bligo sebagai kapten diminta belanja tepung beras, tepung ketan, tepung terigu, gula halus dan gula pasir. Gemplo sebagai wakil kapten saat pulang harus membeli sekitar 10 butir kelapa ukuran sedang dan langsung diparutkan dengan mesin.  Jarot harus membeli pisang ambon atau nangka untuk isian, sementara Darko mengurus LPG semangka yang harus dipersiapkan agar saat jualan dalam keadaan masih berisi. Dengan demikian, keempat pemuda tersebut harus rukun dan saling bekerja sama mempersiapkan dagangan untuk keesokan harinya.

Eyang mempersiapkan membuat adonan setiap pukul 04.00 WIB sehingga manakala keempat pemuda sudah siap menjajakan dengan sepeda motor masing-masing, Eyang beristirahat. Namun, dibantu seorang asisten rumah tangga Eyang pun mempersiapkan makanan untuk keempat anggota, yakni para pemuda pedagang yang dikader dengan kasih sayang. Ya, dengan kelima orang teman tersebut, Eyang tidak merasa kesepian. Tidak dipikirkan dan dihiraukan lagi apakah kedua putra putrinya mengingat keberadaannya. Bagi Eyang, yang penting hidupnya bermanfaat dan masih diberi kesehatan saja sudah merupakan anugerah luar biasa.

Minggu pertama dagangan keempat pemuda bisa habis tetapi membutuhkan waktu lama dan harus berpindah-pindah tempat. Jika pagi Gemplo berdagang di depan sebuah sekolah dasar yang berdekatan dengan Taman Kanak-Kanak. Agak siangan dia harus pindah ke depan Pasar Kliwon hingga dagangan habis. Beruntung, dalam waktu cepat dagangan bisa habis karena memang rasanya gurih campur manis.

Rute Jarot berbeda dengan ketiga temannya. Jarot memilih mangkal di dekat pasar induk sehingga mudah mencari pelanggan. Ya, tukang panggul dan para sopir serta kenek truk pengangkut sayur dan buah. Sementara Darko memilih berdagang di dekat rumah sakit umum hingga dagangannya habis.  Adapun Bligo memilih berjualan di dekat proyek jalan tol atau megaproyek perumahan agak di luar kota yang laris manis dicari pelanggannya. Dagangan Bligo pun lumayan cepat habis karena piawai memilih tempat strategis. Setelahnya, dia harus segera ke pasar membeli bahan baku.

Suatu sore keempat pemuda itu berdiskusi di serambi depan rumah. Sementara bunyi cimblek ngganter saja.

"Kok ... dari kemarin cimblek berbunyi terus. Konon pertanda akan ada tamu!" kata salah seorang.

"Eh, mosok sih?"

"Iya, loh. Cobalah dengarkan!"

Mereka mencoba menyimak kicau si burung pewarta sambil mengangguk-angguk.

"Kalau kita sudah bisa membuat adonan dan menjualnya, bolehkah kita keluar dari sini, Kang?" tanya Jarot kepada Bligo.

"Boleh, tetapi ada syaratnya!" jawab Bligo.

"Syaratnya apa, Kang?" kejar Jarot.

"Satu, kita harus mencarikan pengganti seorang pedagang supaya anak buah Eyang tetap empat. Dua, kita tidak boleh berjualan di kota seputar kita ini. Kita harus mencari lahan lain. Atau, tiga, kita tetap bekerja sama dengan Eyang, tetapi menggunakan motor dan peralatan sendiri berpencar ke kota lain!"

"Yang terakhir ini, kita tetap menggunakan merek milik Eyang. Bahan adonan tetap mengambil dari sini, tetapi kita jual di tempat beda. Namanya kerja sama franchise, kata Eyang begitu!" jelas Bligo.
 
"Wah, begitu ... ya!" ujar Darko yang sering dipanggil Kodhok.

"Iya, modalnya katanya sembilan jutaan!" sambut Bligo.

"Wadhuuuuhhh!" sahut Gemplo.

"Mereknya apa sih?" tanya Jarot.

"Masih didaftarkan katanya. Kayaknya, Semangat 45!" kata Bligo.

"Wah, ternyata susah dan ribet ya, Kang!" kata Gemplo.

"Iya. Kalau kamu mau jualan, yang banyak dicari para tukang bangunan itu nasi jagung dan teh manis, sepertinya!" saran Bligo.

"Hmmm, ... ya sudahlah. Kita ikut orang saja dulu sambil nabung. Nanti kalau uang kita cukup, kita bisa mikir mau jualan apa!" ujar Jarot.

"Iya, toh di sini kita juga nyaman. Makan tidur gratis. Cucian pun bisa diatasi bersama. Eyang orangnya juga baik. 'Kan memang tujuannya hanya mencari teman dalam sisa usianya!" lanjut Bligo.

"Iya, sih! Dua anaknya kok bisa ya ... tahunan nggak pernah pulang gitu!"

"Hmmm ... masing-masing orang punya pemikiran sendiri. Kita juga tidak bisa menyalahkan mereka. Bukan urusan kita pula!" jelas Bligo.

"Tapi, Kang. Segoblok-goblok kita, kalau tidak pernah mengunjungi orang tua itu ... ya tetap saja salah. Bener nggak?" Gemplo berargumen serius.

"Iya, harusnya mumpung7 beliau masih hidup, harusnya disempatkan. Syukur-syukur dibahagiakan! Kapan lagi kita berbakti kepada orang tua? Ya, 'kan?" sahut Darko.

"Hmmm ... iya. Makanya aku kok nggak tega kalau harus meninggalkan Budhe. Masalahnya seperti sudah jadi ibuku sendiri. Aku yang sudah yatim piatu gini nih ... kalau kangen palingan nyekar ke kuburan. Yang sudah meninggal tidak tahu apa-apa alias sia-sia saja sebenarnya, 'kan? Kenapa nggak dulu saat beliau masih hidup? Mending ketika masih hidup kita bisa nywargakake8 ibu!" Bligo menyepakati.

"Apa maksud nywargakake, Kang?" tanya Jarot.

"Ya, mengusahakan supaya si ibu hatinya senang seperti merasa di surga! Gitu, loh!" jelas Bligo.

"Iya ... makanya ada pepatah seorang ibu bisa memelihara sepuluh anak dengan kasih sayang sama, tetapi sepuluh anak belum tentu bisa membahagiakan ibunya. Iya, kan?" seru Jarot.

"Benar. Coba kita bisa memberitahu kondisi Eyang kepada kedua anaknya, ya! Kita yang dekat saja nggak tahu bagaimana kalau menjelang tidur Eyang merasakan kesepian di kamarnya. Ini kondisinya masih sehat, loh. Bagaimana kalau dalam keadaan sakit? Ngenes9, 'kan? Anak diasuh, disekolahkan, dikasihi ... eh, setelah jadi orang hilang plassss10 ... tanpa bekas. Padahal, masih hidup!" jelas Gemplo berapi-api sambil menggunakan lengannya untuk menjelaskan.

Diskusi mereka terhenti saat dua mobil bagus memasuki halaman luas rumah Eyang. Keempat pemuda itu tercengang. Siapa gerangan tamu yang datang? Gemplo segera memberitahukan kedatangan tamu itu kepada Eyang.

Ternyata, beberapa orang dengan berpakaian bagus-bagus turun dari kendaraan. Seorang bapak berusia tujuh puluh tahunan lebih berjalan dengan kaki agak pincang digandeng perempuan berusia empat puluhan. Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lebih memberi tahu kepada kedua sopir untuk menurunkan barang-barang yang cukup banyak. Empat remaja semuanya lelaki yang tampan dan seorang gadis sepuluhan tahun berjalan menuju teras.

"Kulo nuwwwuuuunnn ...!" sapa seorang bapak berusia renta.

Eyang tergopoh-gopoh datang dari arah dapur. Beliau sangat kaget dengan kehadiran tamu tidak diundang yang datang tiba-tiba itu.

"Ibuuuuu ...!" tubruk seorang perempuan cantik langsung memeluk ibunda.

"Ya, Allah!" seru Eyang tak kuasa menahan rindu di dada.

Bertangis-tangisanlah tamu dengan tuan rumah beberapa saat hingga lupa mengajak masuk ke dalam rumah.

Konon ceritanya suami yang renta itu ditemukan oleh Bambang si putra sulung di negeri jiran dan kemudian dibawa pulang ke tanah air untuk menjumpai sang ibunda. Si adik Endang yang berada di luar pulau segera dihubungi untuk bertemu. Selanjutnya, mereka langsung dijemput di bandara tempat pertemuan pertama. Semua dibawa mengunjungi ibunda yang sudah puluhan tahun ditinggalkan seorang diri.

Gemplo dan kawan-kawan hanya melongo menyaksikan pertemuan antara Eyang dengan keluarga besarnya hingga cucu remaja seperti itu.

"Syukurlah ... apa yang kita diskusikan tadi dikabulkan Tuhan, ya Allah ...!" tak urung semua yang ada pun turut menangis. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangisan bahagia!

***

Catatan Khusus

ramban mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai lauk
tegalan lahan tak bertuan, pekarangan yang ditumbuhi segala macam tanaman
anjang-anjang bambu yang ditata agar tanaman merambat itu tumbuh rapi
kulupan dedaunan kukus
prigel  terampil
ati-ati, mugo-mugo laris  hati-hati semoga laris
mumpung senyampang
nywargakake  membawa ke surgaloka, membahagiakan
Ngenes mengenaskan
plassss hilang lenyap entah ke mana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun