Ninik Sirtufi Rahayu
"Saudaraku, kita tahu apa makna tangan kanan, bukan?" tanyanya kepada pendengar.
Saat itu Anin menjeda beberapa saat agar pendengarnya menyimak apa yang hendak disampaikannya. Ya, sebagai opening dalam rangka membicarakan masalah remeh, tetapi cukup penting.
Setelah beberapa saat, ia melanjutkan.
"Ya, benar. Tatkala putra-putri kita masih balita, kita selalu menanamkan bahwa menerima pemberian orang lain selalu dengan tangan kanan, yang disebut tangan baik itu. Padahal, bagi seseorang yang mengalami kidal, tentu saja kurang cekatan mempergunakan tangan kanan sebab ia terbiasa mempergunakan tangan kiri sebagai sarana beraktivitas!"
***
Tetiba terlintas di memori ingatannya. Bagai film pendek yang diputr ulang. Saat itu bulan September 2012. Dia bersama beberapa teman hendak mengisi acara Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia di kotanya hendak mengikuti drama pendek. Mereka harus berlatih di salah sebuah gedung di kampus Universitas Negeri Malang.
Dalam rangka berangkat bersama-sama itulah, Anin mengantar jemput setidaknya tiga orang menumpang di kendaraan pribadinya. Kendaraan mungil itu sudah terparkir di area parker kampus. Ia masih bertengger di belakang kemudi.
Namun, seorang kawan menutup pintu kiri belakang kurang pas. Ia pun berteriak mengatakan bahwa pintunya kurang rapat.
Sementara, telapak tangan kirinya masih menggapai dan berada di pintu kiri tersebut. tetiba, salah seorang teman membuka dan menutup pintu itu sekencang-kencangnya. Tentu saja, jemari tangannya tergencet. Ia berteriak dan meminta teman membukakan pintu itu. Ia pun menjerit-jerit. Panik bukan kepalang.
Secara spontan ia melajukan kendaraan kembali ke klinik kampus. Dokter mengatakan secara fisik tidak apa-apa, hanya memar. Namun, meminta untuk segera melakukan rontgen tulang.
Hari itu, ia tidak mengikuti acara latihan, tetapi segera meluncur untuk rongten di Klinik Melati. Hasilnya tidak apa-apa tulang dan persendiannya. Akan tetapi hingga sebulan rasa sakit itu tidak kunjung sembuh. Nyut-nyutan dan tidak dapat ditekuk. Akhirnya, diantar teman yang menutup pintu hingga jemarinya tergencet, ia berangkat ke RST Supraun.
"Tendon putus, harus operasi secepatnya!"
Dua hari berikutnya, ia harus menjalani operasi tendon jari tengah yang putus. Tepat di hari ulang tahunnya. Meskipun operasi yang tampak sederhana, harus bius total. Dengan demikian, ia tidak merasakan sakit sama sekali saat operasi berlangsung.
Namun, dampaknya ... sebulan lebih ia tidak dapat memanfaatkan telapak tangan kirinya untuk aktivitas vital. Tahu, kan ... fungsi utama telapak tangan kiri adalah untuk membersihkan area vital seusai kita buang hajat. Nah, sungguh ... bukan sesuatu yang mudah! Terpaksa harus meminta tolong sang suami untuk melakukannya.
Sebenarnya dengan rasa tidak enak hati banget! Segan, sedih, malu ... bercampur aduk! Juga rasa kasihan karena telah merepotkannya. Dengan demikian berjuta rasa berpadu saat menunggu perban dibuka.
Pada saat operasi, ia ditangani oleh dokter senior yang profesional. Namun, sang dokter militer tersebut terkenal berwajah angker, begitu disiplin, tanpa senyum, dan pelit bicara. Itulah sebabnya Anin pun merasa takut dan kurang nyaman setiap kali kontrol jemari tengah tangan kiri yang terbalut semacam gips itu.
Beruntung, saat buka jahitan, bukan dokter berwajah sadis yang menanganinya. Justru kali ini ia mendapatkan dokter yang sangat ramah, care, dan humoris. Barangkali mengetahui wajah tegang Anin yang cukup lucu, maka sang dokter pun sejak awal sudah mengajaknya bercanda. Mungkin sang dokter pun melihat aura ketakutan terpancar dari wajah lugunya.
"Ibu ... apakah ini pengalaman pertama operasi?" tanya sang dokter sambil tersenyum grapyak.
"Tidak, Dokter. Ini operasi kedua saya di rumah sakit ini! Operasi yang pertama adalah pengangkatan usus buntu tahun 1995. Tepat tujuh belas tahun silam!"
"Oooh ... ternyata Ibu pasien di sini sejak lama, ya!?"
"Benar, Dokter!"
"Kok Ibu fanatik dengan Rumah Sakit Tentara, apa ada latar belakangnya?" selidiknya.
Dokter pun mengajak Anin berdiri di sampingnya. Dimintalah Anin menceritakan mengapa tidak memilih rumah sakit lain. Padahal, secara tersirat itu sebenarnya mengalihkan perhatian Anin dari ketakutannya. Anin pun menceritakan bahwa sang ayah kandung adalah seorang perwira angkatan bersenjata yang kala purnawirawan sudah menduduki posisi pangkat mayor. Entah bagaimana, Anin sangat menyukai kedisiplinan yang dimiliki dan diterapkan di kemiliteran.
Bersamaan dengan cerita yang disampaikan Anin, tetiba sang dokter mencabut kawat yang sengaja digunakan sebagai pengganti gips.
Saat pencabutan itu, Anin berteriak, tetapi sang dokter tertawa. Sambil menunjukkan alat yang sebelumnya digunakan untuk menjaga agar jemarinya bisa tetap lurus itu, sang dokter berkata lantang.
"Terpujialh Tuhan! Semoga sendi jemari tengah ini selanjutnya tidak bermasalah, ya Bu!" ujar sang dokter.
Anin merinding begitu melihat kawat tebal berukuran sekitar sepuluh sentimeter itu.
"Ya, Allah ...!"
"Ya, dengan kawat ini, jemari Ibu yang 'dibetulkan' tersangga sempurna! Kawat ini telah berjasa, kan?" sang dokter mengangkat sambil tersenyum lebar.
***
"Nah, demikianlah kisah mengenai tangan kiri yang saya alami. Jadi, ... jangan pernah menyepelekan tangan kiri, ya! Almarhum ayah kandung saya yang invalid karena tangan kanannya diamputasi hingga sesiku, beliau menulis dan melakukan segala sesuatu dengan tangan kiri secara baik dan sempurna. Tangan kiri yang kata kita bukan tangan manis itu, terlalu vital bagi kelangsungan aktivitas kita, kan? Bisakah kita sepelekan? Karenanya mari ... jangan abaikan tangan kiri kita! Bagaimana? Sepakat?" pungkasnya sambil menutup acara kala itu.