Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Damar Derana (Part 14)

20 Mei 2024   07:28 Diperbarui: 20 Mei 2024   07:37 136 0
Part 14

Setelah Prasojo dan Vivi resmi sebagai suami istri, Nadya lebih banyak tinggal di rumah lama. Alasannya sambil mengemasi barang-barang yang ada, sementara Nadya minta izin tinggal di rumah lama. Selain itu, dimintanya pula agar Vivi belajar menjadi calon istri sekaligus calon ibu bayinya tanpa direcoki siapa pun.

"Lebih cepat mandiri, akan lebih baik bagi perkembangan baik ibu maupun baby, kan?" dalihnya dengan nada manja bercanda.

Namun, ternyata Nadya membeli rumah yang lain lagi untuk dirinya sendiri karena dia tidak mau sendirian di rumah yang cukup besar itu. Nadya ingin berganti suasana baru agar hatinya pun tetap bisa bersyukur. Dengan  tidak melihat tiap jengkal kenangan di rumah lama itu, syukurnya akan makin melimpah. Ini juga mengantisipasi jika ternyata Prasojo tidak mau meninggalkan Vivi. Atau lebih tepatnya  sebagai persiapan diri karena ia harus berpisah dengan Prasojo.

Nadya membeli sendiri rumah tersebut dengan tabungan pribadi sehingga Prasojo sama sekali tidak mengetahuinya. Hal itu pun sengaja disembunyikannya sebab ia merasa Prasojo tidak perlu tahu. Sama  halnya seperti ketika Prasojo melakukan pengkhianatan dan perselingkuhan dengan Vivi. Nadya tidak mengetahui sama sekali. Seandainya Vivi tidak hamil, mungkin sampai kini pun Nadya tetap tidak mengetahui petualangan suaminya itu.

Berdasarkan beberapa pemikiran, Nadya bertekad harus mandiri pula. Harus segera menata masa depannya sendiri tanpa merecoki atau direcoki oleh Prasojo dan keluarga barunya. Harus dilakukannya sesegera mungkin tanpa bertangguh.

Ia yakin, cepat atau lambat suaminya itu pasti akan lebih memilih kemenakannya. Jelas sekali, kan. Dari segi usia, kemenakan masih sangat muda. Dari segi kemampuan memberikan keturunan, jelas Vivi sudah membuktikannya. Apa lagi? Bukankah cinta pun bisa saja luntur?

***

Di kontrakan baru, jika Prasojo sedang bekerja di siang hari, Vivi ditemani oleh asisten rumah tangga yang diizinkannya datang pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00 menjelang Prasojo pulang dari kantor. Selain agar Vivi ada teman yang menjaganya dengan aman, juga membantu agar  tidak kewalahan melakukan tugas rumah tangga. Ini mengingat kehamilan perdana yang cukup riskan di usia yang ke-17 menjelang 18 tahun.

Kadang Prasojo menjemput Nadya untuk bersama-sama di rumah kontrakan baru mereka, tetapi Nadya lebih banyak berkilah masih menyelesaikan tugas kantor. Nadya ingin lembur, itu alasan klasiknya. Prasojo pun memahami kesibukan istrinya sehingga tidak memaksakan kehendak. Apalagi Vivi rupanya lebih suka jika tidak ada mamanya di rumah baru itu. Sang istri mudanya ini selalu bermanja dengannya. Lucu sekali. Perut buncitnya selalu minta diraba sehingga menambah kasih dan cinta Prasojo terhadapnya.

"Si kecil kangen papanya nih ... !" ajuk Vivi agar Prasojo memanjakan.

Prasojo pun sangat bahagia saat mengelus perut buncit Vivi dan merasakan sensasi gerakan lincah baby. Mereka berdua selalu tergelak melihat ulah aktif baby itu.

"Aiii ... geliiik,  ... uuhh aah ha ha ha ... gelik, Nak...!" begitu selalu ucap si calon ibu jika baby bergerak-gerak. Prasojo sangat senang melihatnya.

Prasojo pun mengajak sang istri mendaftarkan Vivi untuk mengikuti senam hamil dan memanggil guru yang akan memandu melakukan senam dengan baik. Melalui guru senam itu Prasojo juga menyewa masing-masing sebuah gym ball dan birt ball yang bisa dimanfaatkan Vivi sebagai sarana menjaga kandungan.

***

Penantian Puluhan Tahun

Nadya jarang menghubungi Vivi meskipun Vivi rutin mengabarkan perkembangan kehamilannya. Paling-paling Nadya hanya membalas dengan emoticon peduli atau gambar daun waru merah darah.

Tiga bulan kemudian, saat menunjukkan pukul 10.20 gawai Nadya bergetar hebat. Akan tetapi, karena sedang melakukan meeting dengan staf,  Nadya tidak bisa mengangkat telepon yang sedang di-silent itu. Meeting dengan klien baru dan rekanan baru itu membuat Nadya harus terpaku di tempat duduk.

Tepat pukul 13.00 Nadya menutup rapat itu dengan hasil lumayan menggembirakan. Kembali dibukanya gawai yang sejak pagi di-silent itu. Dibukanya pesan Whatsapp yang isinya mengabarkan bahwa Vivi sudah berada di rumah sakit bersalin. Namun, Nadya belum bisa meninggalkan kantor karena sebentar lagi ada pertemuan dengan direktur utama rekanan kerja yang baru.

Dengan meminta maaf, Nadya berpesan agar Vivi tetap sabar, tidak mengeluh apalagi berteriak sehingga tidak menghabiskan energi. Nadya berjanji selepas urusan kantor akan segera meluncur ke rumah sakit. Dipesannya juga kepada Vivi agar tetap tersenyum mengingat sembilan bulan lalu saat menghadirkan buah cintanya itu Vivi juga tersenyum bahagia.

Vivi menjawab, "Saat itu Vivi juga menangis kok, Ma ... karena nyeri sekali dan berdarah-darah. Vivi pikir pasti ada luka di dalam sana sehingga berdarah dan nyeri sekali!"

Nadya tersenyum getir membaca pesan Vivi tersebut. Tiba-tiba teringat pula bagaimana Prasojo memperlakukannya dengan sangat lembut saat mereka berdua   berbulan madu di suatu tempat indah di Raja Ampat sana. Kini semua itu sudah berlalu. Tidak pernah disangka ternyata tepat sepuluh tahun kemudian Nadya memperoleh seorang rival dan sekaligus seorang madu, justru sang keponakan sendiri.

Nadya membalas pesan Vivi, "Iya, Sayang, tetapi itu suatu nikmat Allah, bukan? Tentu Papa memperlakukanmu dengan sangat hati-hati dan penuh cinta. Betul begitu, bukan? Nah, ingatlah sekarang buah cinta kalian hendak hadir sebentar lagi. Maka, Mama minta, tersenyumlah, Nak! Maaf, Mama masih melanjutkan urusan kantor dulu. Tetap semangat, Sayang ... muuuahh!" tulis Nadya dengan netra berkaca-kaca.

"Oh, iya ... Vivi mencintai Papa, kan? Nah, biarlah kebahagiaan Papa lengkap dengan kehadiran si buah hati. Selamat menikmati proses kehadiran baby, ya Cantik. Mama sayang kalian!" pungkasnya.

Betapa tidak. Seharusnya dirinyalah yang hamil dan melahirkan benih kasih Prasojo. Tak pernah terpikir olehnya kalau ia harus berbagi suami seperti saat ini. Karena itu, dibulatkanlah tekadnya hendak meninggalkan Prasojo dan membebaskan sang suami itu untuk menikahi Vivi secara resmi. Biarlah sang kemenakan menjadi istri sah satu-satunya sehingga keluarga utuh itu kian membuat sang suami bahagia. Ia tidak mau merecokinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun