Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Agora: Akar Kekerasan, Berawal dari Mana?

5 September 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:54 328 0
catatan bedah film Agora di komunitas Staramuda, Jombang.

Staramuda adalah komunitas anak-anak muda lintas iman di Jombang yang disuport oleh  Lakpesdam danPrasasti, komunitas Lintas Iman dan Etnis di Jombang.

Komunitas ini punya banyak dinamika. Salah satunya adalah diskusi film. Bersyukur saya berkesempatan untuk menjadi bagian dari dinamika itu dalam sebuah diskusi film Agora bersama Romo Timotheus Siga.

Dan ini adalah catatan saya dalam diskusi itu. Thanks to Romo Siga atas kelengkapannya..





Bagi saya terus terang tak cukup sekali lihat slide untuk bisa langsung mencerna isi film, ketika bukan dikonsumsi sendiri. Meski sebenarnya saya penikmat film klasik . Ada konteks sejarah yg harus dirunut beberapa abad silam. Saat dimana Eropa masih didominasi peradaban Yunani dan Romawi, bahkan Helenis. Kalau dilihat dari setting waktunya, kisah ini terjadi pasca penaklukan Alexander Agung. Raja yang menaklukkan sekaligus mengawinkan peradaban Timur yang diwakili Persia dan Mesir serta Barat yang direpresantikan oleh Yunani dan Romawi.

Seting historis ini terjadi pada akhir peradaban Yunani dan Romawi dan mulai munculnya Kristen secara dominan setelah dijadikan sebagai agama negara oleh Konstantin. Bisa jadi itulah masa akhir filsafat sebagai ideologi kaum pagan, penganut polyteis Yunani.

Yang menarik disini adalah suasana egaliter dan demokratis yang ditampakkan dalam dialog intelektual antara seorang filosof perempuan, Hypatia dan mahasiswanya yang semuanya laki-laki di sebuah forum yang kelak menjadi titel film ini, Agora.

Sepertinya paradoks. Seorang perempuan yang hidup di dunia intelektual yang didominasi laki-laki. Namun kesetiaan Hypatia pada ilmu pengetahuan, melenyapkan anggapan subordinat seorang perempuan. Hypatia sangat konsisten mendalami eksistensinya sebagai seorang filosof. Tak ada waktu, kecuali hanya mengisinya dengan pertanyaan tentang fenomena alam. Berusaha keras untuk mendapatkan jawaban dari keraguannya. Bahkan memikirkan kehidupan pribadinya saja, Hypatea tak sempat. Meski ada beberapa lelaki yang menawarkan cinta mendalam, dia menampiknya. Seperti Orestes, mahasiswanya, dan Davus, budak lelakinya. Dua-duanya punya peranan penting dalam akhir kisah hidup Hypatea dalam kemasan perasaan cinta yang mendalam.

Apa karena konsistensinya terhadap sains dan keteguhannya dalam peran filosofisnya, dia melupakan cinta? Sesuatu yang mestinya menjadi energi bagi perjuangan Hypatea, justru tak mendapat tempat dalam film ini. Dus, apakah karena ini jugakah dia mendapat penghormatan dari para laki-laki yang menjadi muridnya? Hypatea is untouchable. Tak tersentuh. Dengan demikian dia sangat rasional dan diagungkan oleh kaum patriarchal. Justru pada sebuah masa, dimana perempuan menjadi representasi keindahan secara fisically dan artifisial. Bukan isi kepalanya.

Namun seperti halnya yang dialami Copernicus, Galileo atau Ibnu Rusyd maupun Imam ibnu Hambal, kebanyakan orang yang konsisten di jalur pemikiran harus berhadapan dengan hegemoni kekuasaan. Demi teorinya, Hypatea harus berseberangan dengan doktrin gereja.Konsistensi Hypatea ditunjukkan pada penolakannya untuk dibaptis, dan tetap memilih filsafat sebagai imannya. Bisa diduga hal ini menjadi bibit perseteruan Hypatea dengan kekuasaan gereja yang merasa dirongrong kewibawannya.

Pada saat yang sama kristen mulai menyebar di kalangan masyarakat Alexandria. Beberapa orang dengan motif individu, mulai membuat pembedaan-pembedaan untuk menangkal semua yang dianggap punya representasi perlawanan. Pembedaan itu dilatari atas dasar iman maupun jenis kelamin. Mungkin karena representasi perlawanan itu adalah seorang perempuan, maka hegemoni laki-laki menjadi penting.

Dan teks suci adalah laki-laki.

Kalau biasanya konflik dibangun oleh perbedaan antara kebebasan berfikir dan doktrin agama, maka dalam Agora, konflik dibangun atas dasar yang lebih kompleks. Antara keimanan: klaim antara kebenaran agama langit dan keyakinan filsafat seorang pemikir, dan juga konflik gender. Sebagai seorang pemegang otoritas gereja, Cyrill tak bisa menerima bahwa Orestes, prefek atau gubernur Alexandria tidak mematuhinya karena lebih memilih rasionalitas Hypatia, guru sekaligus orang yang dicintainya, ketimbang dirinya, seorang pemimpin agama yang paling ditakuti.

Bahkan demi kegeraman individunya, Cyrill memanipulasi teks suci untuk mencelakakan Hypatea.

Dalam konteks sekarang, dominasi atas tafsir teks suci masih menjadi bagian dari prilaku agama. Ruang agama yang semestinya menjadi petunjuk bagi manusia untuk berhubungan sebagai masyarakat yang rahmatan lil alamin berubah menjadi teks yang berwajah garang dan diskriminatif, ketika berada di tangan orang yang punya pemikiran sempit dan individualis. Situasi paradoks dan ambigu dilihatkan dalam scene Cyrill yang mengangkat tubuh mayat korban kerusuhan. Dia seperti malaikat penolong ketika bekerja keras membantu masyarakat yang jadi korban kerusuhan yang ditimbulkannya sendiri.

Bukankah itu dekat sekali dengan kita ?

Pertanyaannya, mengapa Cyrill menciptakan kerusuhan pada masyarakat Alexandria untuk kemudian menunjukkan citra malaikatnya ? Tidak harus bikin kerusuhan untuk memunculkan seorang pahlawan bukan ?

Dont judge by the cover !

Satu scene yang bagus di akhir film ini nampak ketika sutradara, Alejandro Amenabar, menyoroti gambar lanskap elips pada kuil dimana Hypatea diakhiri dan dimutilasi oleh kaki tangan Cyrill. Teori yang selama ini selalu menggelisahkan Hypatea sudah dijawab oleh simbol-simbol pagan (jadi ingat The Da Vinci Code). Bidang elips sebagai garis edar bumi.

Seperti halnya juga tertuang dalam ayat QS al anbiya’ yang artinya :

”Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya..”(QS Al Anbiya:33)

Film yang mendapat penghargaan dalam festival film Cannes tahun 2009 di Perancis ini layak untuk ditonton.

Lakpesdam Jombang, 26 Agustus 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun