Rembug Budaya kali ini menghadirkan narasumber Muhammad Syaniq Zubeir Asy-Syauqi (Gus Syaniq) yang merupakan putra ke-6 KH. Amin Budi Harjono dari Semarang (yang dijuluki sebagai Presiden Tari Sufi Nusantara) dan Mbah Minto, seorang penari sufi senior asal Desa Padangan Kecamatan Padangan sejak tahun 2019.
Mengawali penjelasannya Mbah Minto menuturkan adanya kegiatan tari sufi ini diharapkan bisa menjadi wawasan bahwa anak-anak mendapat wadah kegiatan yang positif, tidak jauh dari kyai dan agama, untuk melindunginya dari pengaruh global yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Era keterbukaan saat ini semua informasi dapat masuk meskipun anak kita berada di dalam rumah.
Menurut Mbah Minto, tari sufi itu bukan tarian, tetapi merupakan wujud lain dari pergerakan ruh atas jasad ketika seseorang tersulut api cinta kekasihnya, sebagai ekspresi kesenangan.
Adab menari sufi yang dikenalkan oleh KH. Amin Budi Harjono kepada Mbah Minto adalah tangan kiri menyilang memegang pundak kanan dan ditumpuki menyilang dengan tangan kanan memegang pundak kiri. Ini bermakna ketika engkau melihat dosa yang menjadi bebanmu dan seberapa amalmu. Ketika itu tidak seimbang maka merunduklah, rukuklah dengan menyadari betapa besar dosa lalu beristighfar, berdzikir, melantunkan shalawat Rasulullah Muhammad SAW.
"Ini menjadi tariqah, pelampiasan rasa syukur dengan menari seluruh jiwa. Prosesi awal tari sufi, setelah memegang pundak kita bertawasul. Seperti yang diajarkan Syekh Rumi, cukuplah aku menjadi debu yang menempel dibawah terompah Rasulullah Muhammad SAW," tandas Mbah Minto. Â
Sementara itu Gus Syaniq menjelaskan bahwa penari sufi memakai kostum khas berupa baju jubah besar (tenur) berwarna warni dengan bagian bawah melebar, biasanya jubah berwarna putih dipakai oleh yang senior. Dan yang khas lagi adalah memakai topi memanjang yang disebut Sikke.
"Sikke ini ada yang memaknai sebagai perlambang batu nisan agar selalu ingat bahwa kita suatu saat akan mengalami kematian. Sedangkan tenur (jubah) juga sebagai lambang kain kafan agar kita selalu mengingat kematian sehingga rajin beribadah dan beramal baik," tandasnya.
Tentang asal-usul tari sufi, Gus Syaniq menjelaskan bahwa tari sufi lahir dari buah pikiran seorang penyair asal Persia bernama Jalaluddin Rumi. Tarian itu lahir untuk mengekspresikan kesedihan Jalaluddin Rumi, karena kematian guru spriritualnya yaitu Syamsuddin Tabriz, saat ia berada di wilayah Anatolia Turki selama tiga hari tiga malam, pada abad ke-13. Rumi adalah seorang penyair yang banyak membuat puisi religius tentang cinta yang luar biasa kepada Tuhan.
Â
Saat melakukan tarian sufi seseorang dituntut harus tenang, fokus, dan meninggalkan semua beban, mata harus fokus menatap satu titik, senantiasa terbuka, dan tidak melirik. Sedangkan kepala tidak boleh bergerak, harus berada di satu titik dan tak boleh berpindah, Dengan cara ini para penari sufi tidak akan merasa pusing, tak peduli berapa lama ia menari dan berputar.
"Perumpamaan gerakan tari sufi dimana matahari sebagai poros tata surya, bumi mengelilingi matahari, di bumi ada ka'bah yang dikelilingi orang thawaf. Ketika kami menari sufi kami melihat orang-orang menari mengelilingi kami. Dan aku melihat diriku mengelilingi diriku sendiri, itu yang dirasakan," imbuh Mbah Minto.
Pada penghujung acara narasumber menyampaikan harapan agar tarian sufi (whirling dervishes) bisa diterima oleh masyarakat luas khususnya di Bojonegoro. Tari sufi ini sudah berkembang di banyak kecamatan di Bojonegoro seperti Baureno, Bojonegoro, Dander, Malo, Padangan, Ngraho, Margomulyo, Kasiman, dan Kedewan.
"Di Bojonegoro ada seribu lebih penari sufi. Mudah-mudahan melalui Rembug Budaya, tari sufi semakin berkembang dan dihadirkan pada banyak even di Bojonegoro," pungkas Mbah Minto.[nes/NN]