KABUT
Aku lempar kulit wajahmu setelah suara-suara yang tak kukenali kau perdengarkan. Separuh dunia menyumpal kupingmu dengan pujian. Hingga malam yang menatapku begitu lapar. Aku melihat penari erotis. Menggelepar di antara gigi-taringmu. Lalu menukarkan tubuhmu pada penyanyi wanita tanpa penutup dada. Taringmu itu sungguh menyadarkan batu-batu. Meluluhkan keyakinan sungai yang mengaliri nafas langit di kotamu. Kota yang menjadi gelap dan abu-abu oleh tarian. Tarian bertaring buat hati anak-anak kita suatu saat.
Sungguh jangan mendekat kepadaku. Wahai kabut. Dan biarkan kesepian itu menjadi bukit-bukit. Seorang perempuan bersembunyi kelak di setapak jalan menuju puncaknya. Sungguh jangan menari di depanku. Wahai kabut. Tutuplah matamu agar gelap yang kupandang tak lagi beranjak. Dan hitam akan tahu kemana ia bertolak. Nun jauh di sana para pesiar berangkat memuja liukanmu. Di pucuk paling kelabu. Butìran keringatmu akan menghitamkan langkah-langkah jerami. Jerami yang kuikat lalu kubakar. Kemudian membakar rambutmu yang tergerai. Api yang menyala adalah rintihan nurani yang tanpa engkau sadari.
Engkau menari dalam lumpur hitam. Tapi sorak-sorai para penonton begitu sangat engkau inginkan. Aku tetap berdiam dalam lubang doa-doa lebam. Berharap tuhan kita adalah tuhan yang esa. Tuhanku adalah tuhan yang tiada. Dan tuhanmu (barangkali) dirimu sendiri. Kita tak dapat meminum anggur di tempat yang sama. Karena anggurmu berputar di meja judi, atau bersidekap di kamar pencuri bahkan (mungkin) bersenyawa dengan senyum mucikari. Dan musik yang engkau gandrungi makin mahir menggali ceruk nestapa di luka dunia.
Sungguh aku tak ingin menikam jantungku dengan birahi yang membara di ujung malam yang kau genggam. Aku dan engkau selalu berselisih tentang bintang, tentang purnama yang engkau miliki di matamu. Dan aku berujar matamu tak dapat memiliki purnama. Tapi tidak ada yang dapat memiliki sebiji padi pun hakikatnya. Angin merajuk pada pelukmu agar jalan hidupmu melurus. Tetapi engkau tetap merajut sebuah tarian, meraut malam menjadi kepingan kebodohan. Aku memelepas ikatan hati untuk itu. Aku takut wajahmu menulari dinding ; menempel di semua kamar anak remaja. Dan aku pun takut tarianmu mengetuk pintu sekolah, lalu merasuki hati orang-orang yang alpa. Menjauhlah dari negriku wahai kabut. Benamkam erotisme di tubuhmu.
Cirebon, 13 Oktober 2011.
…